Kanal

Keindahan dan Keseimbangan Hidup


Nelson Mandela, “Jangan menakarku dengan keberhasilanku, takarlah aku dengan melihat berapa kali aku terjatuh dan sanggup bangkit kembali.”

Mungkin anda suka

Oleh: Yudi Latif

“Hidup indah itu hidup yang bertabur cahaya,” katamu. Tapi, bagaimana kita kenali cahaya tanpa gelap? Bila awan gelap menyergapmu, kau tak bisa melihat sisi terang dari hidup. Di sepanjang perlintasan waktu, kau terus berburu kesempurnaan, untuk mengabadikan ujung tahun dengan kisah kecewa.

Sekarang, lihatlah dunia dengan sudut pandang berbeda. Bukankah selalu ada pendar cahaya di balik gelap awan? Keindahan hidup justru terletak pada pergulatan menemukan terang (yang) dalam gelap, dan mengenali potensi gelap (yin) dalam terang.

Sungguh perjalanan hidup bagaikan pergerakan sinar mentari yang timbul-tenggalam di cakrawala. Kemunculan lembayung indah di ujung hari didahului kehadiran awan kelabu. Dan setiap mentari tenggelam, betapapun gelap malam segera menyergap, masih ada harapan bagi para petarung dalam waktu: fajar baru tak lama lagi akan menyingsing.

Apa pun yang mengujimu akan meninggikanmu. Cobaan adalah tempaan untuk meningkatkan daya lenting hidupmu.

Apa yang melukaimu akan merahmatimu. Kepedihan adalah obat pahit penawar penyakitmu.

Apa yang meletihkanmu akan menggembirakanmu. Keringat adalah pembakaran obesitas yang meringkihkanmu.

Cobaan dan tragedi itu ibarat larutan asam yang kuat. Ia akan meluluhkan semua hal, kecuali (menyisakan) emas kebenaran sejati. Dengan tragedi kita bisa mengenali borok-borok dan kualitas kita yang sesungguhnya.

Sungguh pedih atas kegagalan dan kehilangan. Namun, lebih pedih lagi jika hidup dalam kematian harapan. Daun-daun yang gugur semoga jadi pupuk kehidupan. Kelalaian dan kebodohan harus diberi pelajaran untuk perbaikan.

Betapapun menyakitkan, tragedi dan kegagalan bisa jadi sarana untuk mengukur daya lenting kita. Seperti kata Nelson Mandela, “Jangan menakarku dengan keberhasilanku, takarlah aku dengan melihat berapa kali aku terjatuh dan sanggup bangkit kembali.”

Dengan cara pandang berbeda, gumpalan awan di langit biru tak selalu membersitkan kabar buruk. Awan kelabu yang berarak itu adalah ufuk impian kita. Saat angin bertiup menghempas awan jadi butir hujan, impian itu pun jatuh ke bumi, halau kemarau jadi hujan kebahagiaan.

Prof Yudi Latif, Pemerhati Masalah Kebangsaan

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button