News

Pemerintahan Jokowi Dinilai Terjangkit Otoritarianisme: Tekuk Lawan Politik Lewat Instrumen Hukum


Gejala otoritarianisme dinilai menjangkiti pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Jejak gejala ini sejatinya mulai terlihat pada periode kedua pemerintahan yang mencuat dari sejumlah indikator selama sembilan tahun terakhir Presiden Jokowi berkuasa di Indonesia.

Mungkin anda suka

“Jadi sejak sembilan tahun terakhir itu diawali dari produksi narasi yang berdampak pada pembelahan, seperti isu tentang intoleransi, radikalisme, dan sebagainya,” kata Guru Besar Universitas Paramadina, Didin S. Damanhuri dalam sebuah diskusi virtual yang digelar Universitas Paramadina, Kamis (14/12/2023).

Dia menjelaskan, indikator lainnya mencuat dari instrumen hukum dijadikan senjata untuk melumpuhkan lawan politik.

“Saya melihat gejala itu secara empiris bahkan didukung oleh beberapa riset. Jadi akan kelihatan sekali nanti bagaimana KPK, bisa juga Kejaksaan Agung dipakai sebagai instrumen untuk meruntuhkan lawan politik dan menyelamatkan kawan aliansi,” kata Didin memaparkan.

Ia pun mencontohkan kasus korupsi yang melibatkan Harun Masiku. Sejatinya, ujar Didin, Harun bisa ditangkap kapan saja, tapi hal itu tak kunjung dilakukan. Namun, ujar dia lagi, situasi berbeda jika hal serupa terjadi pada lawan politik. Maka lawan politik itu dengan cepat diproses hukum hingga diseret ke pengadilan.

“Lalu ketiga, penggunaan buzzer dan influencer yang dibiayai oleh APBN untuk membunuh suara civil society, politisi yang di luar pemerintahan dan sebagainya. Dan itu konsisten dilakukan bahwa sebelum periode kedua,” kata Didin menegaskan.

Lebih jauh, ia menyinggung bagaimana suara kritis yang coba disampaikan orang-orang yang berada di luar pemerintahan, justru dibungkam dengan Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi dan Elektronik (ITE).

“Kemudian yang keempat adalah matinya fungsi check and balances, dengan membangun koalisi gemuk antara 81-85 persen di DPR, kemudian juga terlibatnya kira-kira enam parpol ya di pemerintahan,” ucap Didin.

“Dan itu sangat efektif memang untuk mengamankan kursi pemerintah, utamanya waktu itu adalah membangun infrastruktur besar-besaran, termasuk kereta cepat,” lanjutnya.

Didin pun menceritakan soal yang memenangkan proyek untuk kereta cepat adalah Jepang. Namun, salah seorang pejabat tinggi kemudian memutuskan bahwa pemenangnya adalah China.

“Ini kan tidak ada kritik di DPR, dan tidak audit. Kemudian lagi berlanjut ketika ada kereta cepat yang begitu saja diterima, dan bersidang kemudian setuju bahwa itu yang awalnya B2B dengan BUMN, kemudian ditanggung oleh APBN,” kata Didin.

“Dan sekarang Indonesia terjebak untuk menyicilnya dalam 30 tahun, padahal sebenarnya plus cost of run yang tidak diumumkan itu,” sambungnya.

Gejala terakhir, yakni bagaimana upaya mengamankan yang mungkin saja sebenarnya adalah niat baik Jokowi, yang ingin meninggalkan tiga warisan, yaitu pembangunan infrastruktur besar-besaran, hilirisasi, dan Ibu Kota Nusantara (IKN).
    
 

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button