Kanal

Pemilu 2024, Ujian Keajegan Dinasti Politik Jokowi

Terpilihnya Joko Widodo (Jokowi) sebagai presiden pada 2014 dinilai sebagai tonggak sejarah. Jokowi menjadi presiden pertama pasca-Reformasi yang bukan berasal dari lembaga politik, militer, atau organisasi Islam. Setelah satu masa jabatan, ia pun segera meletakan fondasi untuk keluarganya berpolitik.

Saat putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, terpilih sebagai Wali Kota Surakarta pada 2021, Jokowi bergabung dengan dua presiden Indonesia lainnya yang masih hidup, Megawati Sukarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai pimpinan dinasti politik. Anak-anak mereka saat ini menduduki jabatan di pemerintahan daerah dan pusat, serta partai politik nasional.

Mungkin anda suka

Mantan presiden Megawati Sukarnoputri, putri presiden pendiri Indonesia Sukarno, adalah ibu pemimpin dinasti yang kini berusia tiga generasi yang mengendalikan partai politik terbesar di Indonesia, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).

Sementara Agus Harimurti Yudhoyono memimpin partai yang didirikan ayahnya, Partai Demokrat, dan tampaknya akan digadang-gadang partainya menjadi calon wakil presiden bersama Anies Baswedan dalam pemilihan presiden 2024.

Jemma Purdey, Adjunct Fellow di Australia-Indonesia Centre, Monash University, Australia menilai, politik dinasti dalam demokrasi modern Indonesia telah mengakar dengan kuat, membentuk landasan beberapa partai politik terkemuka. “Perbedaan terbesar dalam pembangunan dinasti Jokowi adalah bahwa keluarga belum memiliki kendaraan politik eksklusif berupa partainya sendiri. Saat ini, Jokowi bergantung pada keputusan yang dibuat oleh eksekutif PDI-P, yaitu, Megawati,” kata Dr Jemma Purdey, mengutip East Asia Forum.

Ia menambahkan, Keluarga Jokowi saat ini sedang mengendarai gelombang momentum yang tak tertandingi yang datang dengan popularitasnya yang luar biasa dan, setidaknya untuk saat ini, dukungan PDI-P. Namun perjalanan dinasti ini masih belum pasti, termasuk apakah dukungan PDI-P akan bertahan melampaui masa kepresidenan Jokowi dan apakah PDI-P mampu mendukung beberapa anggota keluarga dinasti ini secara bersamaan.

Tantangan berat dinasti ini

Tidak seperti dinasti politik multigenerasi di Indonesia, yang berumur panjang dan otonominya memungkinkan mereka memiliki ketahanan, tantangan pertama bagi keluarga Jokowi adalah untuk ‘mengamankan’ generasi penerusnya. Yang menjadi perhatian segera adalah mengamankan jabatan anggota keluarga yang saat ini berpolitik. Selain Gibran, menantu Jokowi, Bobby Nasution, juga baru pertama kali menjabat Wali Kota Medan.

“Terpilihnya kembali atau naiknya Gibran dan Bobby ke posisi baru pada pemilu 2024 akan sangat menentukan dinasti ini,” timpal ilmuwan yang banyak melakukan studi tentang politik di Indonesia.

Bagi Gibran maupun Bobby, keduanya tampaknya berminat mencalonkan diri sebagai Gubernur – Jawa Tengah atau Jakarta untuk Gibran, dan Sumatera Utara untuk Bobby. Sampai saat ini, pengurus PDI-P belum menentukan dukungannya terhadap langkah-langkah tersebut. Tawaran dan dukungan justru sudah datang dari partai atau ormas lainnya.

Pada Januari 2023, anak bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep, seorang pengusaha, YouTuber, dan pemilik klub sepak bola, mengisyaratkan bahwa ia juga bersiap untuk terjun ke dunia politik, meski belum jelas apakah akan mencalonkan diri dengan tiket PDI-P atau bersama partai lain. Ia pun digadang-gadang akan mengikuti kontestasi kepala daerah di Solo, menggantikan sang kakak dan terakhir disebut-sebut cocok dicalonkan untuk Wali Kota Depok, Jawa Barat.

Dr Jemma menambahkan, bagi generasi kedua dinasti Jokowi, keputusan tentang di mana dan dengan siapa mereka menetapkan target elektoral menjadi sangat penting. Satu kesalahan langkah strategis bisa berakhir dengan bencana. Keluarga Jokowi saat ini tidak memiliki kemewahan untuk mengandalkan mesin pendorongnya yakni partai politik.

Tanpa bantuan sang ayah

Pada semua tahap dalam proses pembangunan dinasti, Jokowi membela keputusan keluarganya untuk terjun ke dunia politik. Dia menolak anggapan bahwa keluarganya menjadi dinasti politik, dengan alasan bahwa ini selama ini semua proses dari mulai pendaftaran hingga pemilihan sudah dijalankan secara alami tanpa dukungannya.

Jokowi berpendapat bahwa anak-anaknya tidak menerima bantuan darinya. Mengingat bahwa Jokowi tidak memiliki kekuatan yang menentukan dalam partai politik mana pun untuk memilih kandidat, ini bukanlah klaim yang tidak masuk akal.

Menurut Dr Jemma, kecenderungan umum dalam persepsi politik dinasti juga penting, seperti halnya bagaimana keluarga mengelola citra publik saat berusaha untuk berkembang. Anak-anak Jokowi, yang telah menerima pendidikan dengan keistimewaan yang sama, pendidikan internasional, dan akses ke tingkat elit masyarakat Indonesia, menghadirkan prospek yang berbeda bagi para pemilih.

“Tantangan umum bagi keluarga dinasti yang berasal dari keluarga sederhana adalah bagaimana mengubah citra keluarga ke fase baru dan membawa pemilih bersama mereka,” jelasnya.

Kebangkitan dinasti Jokowi merupakan gejala budaya politik di Indonesia yang semakin terbuka pada ‘keluarga’ sebagai kategori aktor politik lain selain oligarki dan partai. Ini juga merupakan fenomena masyarakat yang pelik di mana korupsi, konflik kepentingan, dan nepotisme masih terjadi dan sulit diberantas  karena masih lemahnya penegakan hukum.

Masih harus dilihat apakah masyarakat telah menjadi cukup peka terhadap ‘politik seperti biasa’ di mana nepotisme dianggap biasa-biasa saja dan mendukungnya di kotak suara. Jika tidak, maka bagi keluarga Jokowi, sebuah dinasti politik yang muncul tanpa kendaraan partainya sendiri, perjalanan 12 bulan ke depan sangat penting. Tetapi jika bisa melaluinya secara normal, maka dinasti Jokowi sedang dalam perjalanan menuju keajegan dan kesuksesan.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button