Kanal

Rekonsiliasi dan Ancaman Erosi Demokrasi


Kekuatan oposisi yang seimbang menyehatkan demokrasi, membuat pemerintah yang berkuasa jadi ‘eling’.

Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka unggul di berbagai hasil hitung cepat lembaga survei dan real count sementara KPU, raihannya di kisaran 57-58 persen. Kemenangan telak bukan jaminan program-program kerja mereka akan berjalan lancar. Niscaya, para lawan yang masih sakit hati dengan kontestasi akan melanjutkan perlawanan di parlemen.

Prabowo menyadari betul potensi ini. Meniru gaya Presiden Joko Widodo (Jokowi), Prabowo bertekad segera melakukan rekonsiliasi, merangkul lawan-lawan politiknya. Langkah ini diperlukan, agar segala program kerjanya di masa depan tidak mendapatkan resistensi. “Kami akan merangkul semua unsur dan semua kekuatan. Kami akan menjadi presiden, wakil presiden, dan pemerintah untuk seluruh rakyat Indonesia,” kata dia dalam pidato kemenangannya di Istora Senayan, Jakarta, Rabu (14/2/2024) malam.

Ajakan ini ditolak Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sekaligus Deputi Pemenangan Timnas AMIN, Mardani Ali Sera. Ia menegaskan, rekonsiliasi bisa dimaknai dengan cara berbeda, tidak mesti membuat kubu paslon nomor urut 1 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan paslon nomor urut 3 Ganjar Pranowo-Mahfud Md, masuk dalam barisan koalisi pemerintahan Prabowo-Gibran kelak. “Membangun oposisi yang sehat, itu juga bagian dari rekonsiliasi,” tutur Mardani kepada Inilah.com.

Penolakan juga disuarakan oleh Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. Ia mengatakan, partainya siap berjuang sebagai oposisi di luar pemerintahan untuk menjalankan tugas check and balance. Hasto bilang, kekuasaan yang terpusat memunculkan kemampuan untuk melakukan manipulasi, sehingga dibutuhkan check and balance, agar erosi demokrasi tak terjadi lagi seperti di periode kedua kepemimpinan Jokowi.

post-cover
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto di Gedung High End, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (15/2/2024). (foto Inilah.com/Vonita)

“Ketika PDI Perjuangan berada di luar pemerintahan tahun 2004 dan 2009, kami banyak diapresiasi karena peran serta meningkatkan kualitas demokrasi. Bahkan, tugas di luar pemerintahan, suatu tugas yang patriotik bagi pembelaan kepentingan rakyat itu sendiri,” ucap Hasto.

Apa yang diutarakan Hasto bukan semata karena tendensi ingin menyerang Jokowi. Vanessa Williamson, seorang peneliti senior kebijakan publik di Brookings Institution, juga menyuarakan hal yang sama terkait ancaman erosi demokrasi, melalui laporan riset bertajuk ‘Understanding democratic decline in the United States’. “Pemimpin yang dipilih secara sah pun dapat melemahkan demokrasi jika mereka mengonsolidasikan kekuasaan atau menggunakan sumber daya pemerintah untuk melemahkan oposisi politik mereka,” bunyi laporan yang dipublikasikan pada Oktober 2023.

Kencangnya penolakan, tak bikin kubu Prabowo patah arang. Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani mengaku, pihaknya akan melakukan pendekatan terhadap kubu lawan melalui hubungan baik para kader-kader partai yang tergabung di Koalisi Indonesia Maju (KIM), agar pintu komunikasi bisa terbuka. “Kami dengan partai-partai di luar koalisi sudah mulai terjalin komunikasinya meskipun baru tahap awal dan komunikasi itu Insya Allah akan terus kita lakukan dengan teman-teman yang ada di pihak 01 dan 03,” katanya.

Sikap ngotot kubu Prabowo cukup beralasan, karena kekuatan suara dari akumulasi parpol pendukung berdasarkan hitung cepat, berada di kisaran 42-43 persen, yang berasal dari Gerindra, Golkar, Demokrat dan Partai Amanat Nasional (PAN). Prabowo mesti bisa mengulang kesuksesan Jokowi yang mampu mengantongi dukungan tujuh dari sembilan partai politik di DPR, sekitar 81 persen komposisi partai di parlemen. Agar pemerintahan Prabowo-Gibran bisa mengamankan kekuatan politik sekaligus mereduksi potensi resistensi di parlemen.

“Ada dua kemungkinan, sapu bersih rangkul semua rival atau koalisi terbatas sesusai kebutuhan. Prabowo cukup menambah kekuatan parlemen di kisaran 10 persen, artinya hanya butuh satu atau dua partai politik untuk mengamankan kepentingannya,” tutur Direktur Parameter Politik Indonesia (PPI) Adi Prayitno di Jakarta, Sabtu (17/2/2024).

post-cover
Direktur Parameter Politik Indonesia (PPI), Adi Prayitno. (Foto: Arsip/Inilah.com)

Menurut Adi, potensi partai politik yang tergoda untuk bergabung adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan NasDem. Alasannya sederhana, partai-partai ini tidak cukup punya pengalaman menjadi oposisi. “Saya tidak bisa membayangkan kalau PKB dan NasDem itu siap beroposisi. Atau PPP,” kata Adi.

Seperti prediksi Adi, Wakil Ketua Umum Partai NasDem Ahmad Ali cukup terbuka dengan ajakan Prabowo. Ali menyebut, Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh membuka peluang untuk berdiskusi dengan siapapun termasuk Prabowo. “Menurut saya, diskusi bukan hanya dengan Ibu Mega, dengan Pak Prabowo yang siapa saja menurut saya akan terbuka,” ujar Ali di Jakarta.

Urusan rekonsiliasi ini dinilai pengamat kepemiluan dari Formappi, Lucius Karus, terlalu dini. Menurutnya, masa transisi masih cukup panjang hingga saat pelantikan presiden dan wakil presiden pada Oktober 2024, sehingga tidak ada urgensi yang memaksa untuk terburu-buru menentukan siapa yang menjadi lawan dan kawan dalam kabinet. “Jika dilakukan cepat-cepat bisa menganggu kenyamanan pemerintahan Jokowi di masa-masa akhir,” ucap dia kepada Inilah.com.

Kewenangan Wapres Ditambah demi Gibran?

Boleh saja isu komposisi oposisi dan koalisi dianggap terlalu dini untuk dibahas, namun tidak demikian soal wacana penambahan kewenangan wakil presiden (wapres). Saat ini Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) sedang bergulir di parlemen. Dalam RUU terselip usulan soal mengatur pembentukan kawasan aglomerasi. Penataan kawasan aglomerasi menjadi kewenangan Dewan Aglomerasi yang dipimpin oleh wapres.

Disinyalir RUU ini sengaja dirancang oleh pemerintahan Jokowi agar bisa memberikan kewenangan lebih bagi Gibran, yang besar kemungkinan akan menjadi wapres. Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio menolak keras, alasannya usulan RUU itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45). 

Menurut ketentuan Pasal 4 ayat 2 UUD 45, wapres berkedudukan sebagai pembantu presiden dalam menjalankan pemerintahan. Meski sama-sama pembantu presiden, jabatan wapres tidak dapat disejajarkan dengan menteri dalam kabinet. Sekalipun memiliki kewenangan yang pasif, wapres berkedudukan lebih tinggi daripada menteri karena ia merupakan cadangan presiden alias ban serep.

post-cover
Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio. (Foto: Antara).

Kewajiban wapres memang tidak diatur dengan terang dalam UUD 45. Namun, merujuk praktik sistem presidensial, wapres tidak memiliki “pekerjaan lain” selain tugas-tugas yang bersifat seremonial. Itu sebabnya, dalam Bab III Kekuasaan Pemerintahan Negara UUD 45, tidak terdapat satu pun pasal yang mengatur kewenangan wapres. “Aturannya apa? Ada aturannya tidak? Kalau ada aturannya dibolehkan, kan tidak ada. Wakil presiden kan serepnya. Nah sekarang mau dipisah-pisah itu dasarnya apa?” ucapnya kepada Inilah.com.

Pakar kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah kepada Inilah.com mengaku ragu Gibran mampu mengemban tugas ini. Selain bertentangan pada UUD 45, Trubus meyakini nantinya akan ada bentrok visi misi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang masing-masing memiliki otonomi. 

Ia menyarankan dibentuk badan baru yang tugasnya mengkoordinasi antara kepentingan daerah dan pusat di wilayah algomerasi DKJ. “Kalau perlu sebenarnya dibentuk kementerian sendiri saja. Dulu (ada) usulan, bentuk menteri megapolitan misalnya, untuk mengurus wilayah aglomerasi itu,” katanya menjelaskan. 

Nasib RUU DKJ ada di tangan DPR. Namun, melihat komposisi dukungan 81 persen parpol di parlemen terhadap Jokowi, kecil kemungkinan RUU ini dibatalkan. Memang, semakin banyak parpol yang dirangkul semakin mulus jalan pemerintah dalam mengambil berbagai kebijakan. Ketiadaan oposisi jelas bakal memupuk tumbuhnya sifat penguasa yang selalu merasa benar, karena tidak ada pihak yang mampu dan berani tampil mengoreksi. [Rez/Diana/Clara/Vonita]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button