News

Khairuddin ‘Barbarossa’, Bajak Perkasa Penjaga Laut Utsmani

John Perkins, dalam bukunya,”The Secret History of The American Empire” menjelaskan citra pelaut-pelaut Bugis di mata orang­-orang Eropa. Ketika pergi ke Sulawesi, ia menjelaskan bahwa pulau ini merupakan “Rumah bagi suku Bugis yang keji… mereka  dianggap sebagai bajak laut paling kejam, paling haus darah di dunia. Di kampung halaman, orang-orang Eropa… mengancam anak-anak mereka yang tidak patuh bahwa jika  mereka tidak bersikap manis, orang Bugis akan menculik kalian.”

Di dunia Barat, namanya tercatat sebagai bajak laut kejam berjenggot merah yang menguasai lautan luas. Tapi dalam sejarah Islam, namanya harum sebagai laksamana penjaga wilayah Khilafah Utsmani Turki yang perkasa.

Khairuddin ‘Barbarossa’ lahir 1475, di Paleokipos, Yunani. Nama Barbarossa adalah sebutan dari para pelaut Barat karena janggutnya yang merah. Orang besar yang berjanggut merah dalam sejarah dunia ada tiga, yaitu kaisar Frederick I Romawi (1123-1190) dan kakak beradik Oruc dan Khairuddin dari Turki.

John Perkins, dalam bukunya,”The Secret History of The American Empire” menjelaskan citra pelaut-pelaut Bugis di mata orang­-orang Eropa. Ketika pergi ke Sulawesi, ia menjelaskan bahwa pulau ini merupakan “Rumah bagi suku Bugis yang keji… mereka  dianggap sebagai bajak laut paling kejam, paling haus darah di dunia. Di kampung halaman, orang-orang Eropa… mengancam anak-anak mereka yang tidak patuh bahwa jika  mereka tidak bersikap manis, orang Bugis akan menculik kalian.”

Terlepas dari bayang-bayang kekejaman bajak laut Bugis di masa lalu itu, sudut pandang Perkins mulai berubah ketika ia berkawan dengan seorang Bugis selama tinggal di Sulawesi. Teman Bugisnya ini tidak memandang diri mereka sebagai bajak laut. Kenyataannya, mereka hanya mempertahankan Tanah Air mereka dari para pengacau dan  penjarah Eropa. Kisah singkat ini memperlihatkan sebuah contoh bagaimana suatu sudut pandang bisa mengubah sebuah penilaian secara diametrikal, dari bajak laut  menjadi pembela negara, atau sebaliknya dari pahlawan menjadi penjahat.

Era kolonial, sejak awal hingga akhir, memperlihatkan ironi-ironi semacam ini. Orang-orang Eropa menaklukkan dan menjajah negeri-negeri Muslim dan mendefinisikan  lawan menurut sudut pandang dan kepentingan mereka. Label­-label negatif akan segera dilekatkan pada pihak-pihak yang menentang serta pihak yang dijajah secara umum.  Jika perlawanan itu terjadi di laut, maka nama yang biasa mereka berikan kepada para pembela tanah air itu adalah bajak laut.

Hal yang sama juga pernah terjadi di awal kebangkitan Eropa dan petualangan mereka menaklukkan berbagai belahan dunia. Tak lama setelah berhasil mengusir orang-orang Islam dari pijakan terakhimya di Granada, Spanyol, pada tahun 1492, orang-orang Portugis dan Spanyol, para conquistador yang haus kekayaan ini segera menyerbu pantai­-pantai Afrika Utara. Raja-Raja Maghrib, Tunisia, dan sekitarya yang lemah tak punya cukup kemampuan dan kemauan untuk mengusir orang-orang Kristen yang penuh semangat ini dari tanah-­tanah mereka. Orang-orang Spanyol merebut tempat-tempat strategis, seperti Ceuta di Maroko dan Aljir di Aljazair, dan membangun benteng yang menyulitkan penguasa-penguasa Muslim setempat untuk merebut kembali tempat-tempat itu.

Pada masa-masa ketidakberdayaan penguasa Muslim setempat inilah muncul para ‘pejuang swasta’ yang dimotori Barbarossa bersaudara di perairan Mediterania. Mereka tampil menghadapi ancaman penjajah Kristen Eropa. Dan sebagaimana terhadap orang-orang  Bugis di Indonesia, orang-orang Eropa pun menamai Barbarossa dan kelompoknya sebagai bajak laut.

Barbarossa atau si Janggut Merah, lama-kelamaan berkembang menjadi sosok yang menakutkan orang-orang Eropa. Kendati pada awalnya hanya berjuang dengan satu kapal dan  tak mendapat dukungan dari pemerintahan Muslim mana pun, mereka mampu mengembangkan armada mereka menjadi sebuah kekuatan yang harus diperhitungkan di Mediterania,  Laut Tengah.

Negeri-negeri di Selatan Eropa, seperti Spanyol, Italia dan Yunani, membangun benteng-benteng pertahanan di wilayah pesisir mereka untuk mengantisipasi  serangan Barbarossa. Orang-orang Italia menamai Barbarossa dengan sebutan “Il Diablo” atau “Si Setan”. Para ibu di Eropa menakut-nakuti anak mereka yang nakal dan sulit  diatur dengan menyebut nama Barbarossa. Dan seorang penyair menggelarinya sebagai ‘pemilik segala kejahatan’ dan ‘perompak yang tak ada bandingannya di dunia’.

Kenyataannya, Barbarossa bersaudara adalah pejuang-pejuang Muslim yang tidak menyerang kecuali kapal-kapal Eropa yang memerangi negeri-negeri Islam. Tulisan ini akan  menguraikan figur pejuang yang sangat tangguh ini lebih jauh.

Barbarossa bersaudara adalah dua orang kakak beradik bernama Aruj dan Khidr. Keduanya dilahirkan di Pulau Lesbos (Mytilene/Madlali), di wilayah Turki, dari seorang  ayah yang merupakan veteran perang pada masa kekuasaan Sultan Muhammad al-Fatih dan seorang ibu penduduk asli pulau itu. Ayah mereka, Ya’kub bin Yusuf, menetap di  Lesbos tak lama setelah penaklukkan pulau itu oleh pasukan al-Fatih di tahun 1462.

Ia mengisi masa pensiunnya dengan membuka sebuah kedai dan membina keluarga. Dari  pernikahannya lahir empat orang putra, Ishak, Aruj, Khidr, dan Ilyas. Keempat anak ini, khususnya Aruj dan Khidr, tumbuh dalam budaya pesisir dan kelak muncul sebagai  pelaut-pelaut yang tangguh.

Putra-putra Ya’kub ini tumbuh pada salah satu era paling menentukan dalam sejarah umat manusia. Mereka hidup di tengah benturan peradaban yang keras di wilayah  Mediterania. Benturan peradaban antara Timur dan Barat, antara Islam dan Kristen.

Hanya sekitar satu atau dua dekade sebelum kelahiran anak­anak ini, peradaban Islam  terpenting saat itu, Turki Utsmani, di bawah pimpinan Muhammad al-Fatih pada tahun 1453, telah berhasil menaklukkan kota Konstantinopel. Kejatuhan kota yang merupakan  ibukota Romawi Timur, Byzantium, sekaligus pusat Kristen Ortodoks itu menimbulkan jeritan putus asa dan kemarahan di belahan Eropa lainnya. Sebaliknya, hal itu  meningkatkan semangat jihad dan kebanggaan di belahan dunia Islam,  mengingat Nabi Muhammad saw sendiri telah meramalkan kejatuhan kota itu dalam hadits beliau.

Aruj, Khidr, dan saudara-saudaranya tentunya juga ikut merasakan semangat dan gejolak kebanggaan ini, karena ayah mereka merupakan salah satu anggota pasukan Sultan  al-Fatih, Sang Penakluk. Hanya saja di pengujung abad itu wila yah Mediterania juga menyaksikan pembalasan orang-orang Eropa Kristen pada kaum Muslimin.

Pada tahun 1492, Raja Ferdinand dan Ratu Isabella dari Spanyol menaklukkan Granada, benteng terakhir kaum Muslimin yang kaya raya di ujung Selatan Andalusia. Namun, berbeda dengan al-Fatih yang bersikap toleran dan membuka pintu Konstantinopel pasca penaklukkan bagi orang-orang non­-Muslim, penguasa baru Kristen di Andalusia segera  membatalkan perjanjian yang mengharuskan mereka memelihara toleransi.

Kaum Muslimin Andalus pun menjadi korban pemurtadan massal yang diiringi dengan penyiksaan inkuisisi serta pengusiran besar-besaran. Setelah penaklukkan Granada, kapal-kapal Spanyol dan Portugis segera meneror perairan Mediterania dan pesisir Afrika Utara.

Ketegangan di Mediterania dan terancamnya pelaut-pelaut Muslim oleh gangguan kapal-kapal Kristen, serta ketidakberdayaan penguasa-penguasa Afrika Utara dalam  memberikan perlindungan, tak urung melahirkan perlawanan sipil yang belakangan dituding pihak Eropa Kristen sebagai aksi-aksi bajak laut.

Aruj, putra Ya’kub, pernah  merasakan pengalaman buruk dengan pelaut-pelaut Kristen Eropa. Kapal dagang Aruj pernah dibajak oleh ordo militer Saint John dan ia sendiri tertawan oleh mereka. Namun, ia berhasil meloloskan diri. Peristiwa ini menguatkan tekadnya untuk bangkit melawan orang-orang Eropa itu.

Ia mengajak adiknya, Khidr (yang belakangan  berganti nama menjadi Khairuddin), untuk ikut serta dalam perjuangan itu. Aruj dan Khidr (Khairuddin) memulai ‘karir’ jihad mereka dengan sebuah kapal dan  persenjataan terbatas. Namun, keterampilan keduanya menjadikan kekuatan mereka tumbuh semakin kuat dan muncul sebagai armada yang ditakuti di perairan Mediterania. Jenggot mereka yang berwarna merah kemudian membuat mereka lebih dikenal dengan nama yang menggetarkan: “Barbarossa, Si Janggut Merah”.

Kedua pejuang ini terus mengkonsolidasikan kekuatan mereka dan mulai menjalin hubungan dengan beberapa penguasa setempat. Mereka menjadikan beberapa pulau yang  strategis di perairan Mediterania sebagai pangkalan rahasia mereka, di antaranya Pulau Jarbah di Teluk Gabes yang diberikan oleh Sultan Tunis dengan imbalan Kerajaan  Tunis akan menerima seperlima dari rampasan perang Barbarossa bersaudara.

Pulau Giglio di Barat Laut kota Roma juga disebut-sebut sebagai salah satu markas angkatan  laut Barbarossa. Dari basis-basis pertahanan rahasia tersebut kedua bersaudara dan para anak buahnya berhasil mengacaukan pelayaran kapal-kapal Kristen di Mediterania serta menyerang wilayah-wilayah Afrika Utara yang mereka duduki.

Sepanjang tahun 1510-an, armada di Janggut Merah berhasil membebaskan beberapa kota penting di  pesisir Aljazair, seperti Aljir, Bajayah, dan Jaijil. Pada masa-masa ini mereka juga berhasil membantu orang-orang Andalus yang melarikan diri dari kekejaman orang- orang Spanyol. Tidak sedikit dari kaum pelarian ini yang kemudian bergabung dengan armada Barbarossa bersaudara.

Hubungan kedua bersaudara ini dengan para sultan Afrika Utara yang wilayahnya mereka bantu bebaskan tidak sepenuhnya mulus. Sebagian dari para sultan ini rupanya merasa terancam dengan kekuatan Barbarossa yang semakin lama semakin besar.

Sultan Salim al-Toumy, penguasa Aljazair, mulai merasa terganggu dengan aktivitas Aruj dan Khairuddin dalam membebaskan Aljir dan beberapa kota pantai Aljazair lainnya. Sang Sultan kemudian mengusir Aruj dan anak buahnya dari Aljazair pada tahun 1516.

Pengusiran tersebut menyebabkan Aruj mengambil sebuah keputusan penting. Ia menganggap Aljazair terlalu penting sebagai basis perjuangan melawan Spanyol dan para sekutunya, sementara sultan negeri itu tidak memiliki komitmen yang jelas terhadap kaum Muslimin. Maka ia pun menggulingkan Sultan al-Toumy dan bertindak sebagai  penguasa Aljazair. Tahun ini menandai era baru perjuangan Barbarossa bersaudara, dari perjuangan yang sepenuhnya bersifat militer, kini mulai merambah wilayah politik  dan kenegaraan. [Sumber  : Alwi Alatas “Khairuddin Barbarossa: Bajak Laut atau Mujahid?”]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button