Hangout

Kisah Lauren Booth, Jurnalis Asal Inggris yang Masuk Islam

kisah-lauren-booth,-jurnalis-asal-inggris-yang-masuk-islam

Lauren Booth adalah seorang penyiar wanita, jurnalis, dan aktivis pro-Palestina asal Inggris. Dia merupakan adik ipar dari mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair, yang masuk Islam pada tahun 2010. Perjalanannya menjadi seorang muslim cukup menarik, karena sebelumnya dia sangat membenci Islam.

Selama menjadi seorang jurnalis, Booth telah menemukan banyak hal baru, dan mengunjungi berbagai wilayah konflik, seperti Palestina. Dalam perjalanannya di negara konflik itu, Booth justru merasakan kedamaian dari warga sipil yang menjadi korban perang.

Dalam sebuah video yang dia unggah ke YouTube, Booth bercerita pertama kali mengetahui Islam melalui serangan teroris di World Trade Center, pada (9/11) silam. Tragedi tersebut kata Booth, menjadikan Islam sebagai agama yang menakutkan. Menurutnya, Islam selalu identik sebagai perang dari Barat. Namun pada saat itu, dia memahami bahwa tragedi di WTC bukanlah ulah semua umat muslim, melainkan ulah sekelompok teroris yang kebetulan beragama islam.

Perjalanan Mengenal Islam

Dia kemudian menceritakan pengalamannya mengenal Islam pada tahun 2008 tepatnya saat bulan Ramadan, ketika dia menjadi relawan di Palestina. Di negara konflik itu, Booth justru mendapatkan perlakuan baik dan merasakan kedamaian.

“Pernah waktu itu Januari, dan aku enggak tahu kalau di Timur Tengah musim dingin. Jadi aku enggak punya jas hujan. Aku ingat waktu itu berjalan di jalan ramallah. Terus ada wanita tua berhijab melihatku dan berkata sesuatu dalam bahasa Arab, lalu dia mencengkeram lenganku,” katanya mengenang.

Dia bergumam sambil meringis dalam hati, bahkan sempat mengira jika wanita tua itu akan menculiknya.

“Aku geli sendiri, ku kira ‘oke, jadi ini penculikan nenek-nenek’? inikah yang terjadi? Terus dia ngeliatin aku dari atas sampai bawah, dan dia bawa aku ke kasurnya,  membuka lemari, mengambil jas hujan besar, lalu dipakai kan ke badanku, sambil bilang ‘ya allah’,”

Wanita tua tersebut ternyata tidak menyukai orang asing. Kemudia wanita tua itu memberikannya nomor telepon.

“Aku disuruh berjalan dengan coat ini, jadi dia ini katanya tidak tahan ada orang asing di kotanya dan kedinginan, sementara dia punya coat di lemarinya. Kau paham apa yang kumaksud?,” katanya terharu.

Tidak hanya kebaikan itu, Booth juga merasakan kedamaian selayaknya seseorang yang betul-betul beriman. Ia bahkan mengungkapkan kisahnya saat benar-benar ingin mempelajari Islam.

Puasa Jadi Pemicu untuk Masuk Islam

Kemudian pada suatu malam di bulan Ramadan, Booth sempat mengunjungi keluarga yang sangat miskin di sebuah tenda pengungsian daerah Raffa. Tenda tersebut merupakan tempat asal Faris Odeh, bocah Palestina yang ditembak mati oleh Pasukan Pertahanan Israel pada tahun 2000.

Ketika Booth masuk ke dalam rumah itu, hanya terdapat satu ruangan dengan lantai dan tembok semen dengan kondisi kosong. Di sana hanya terdapat matras lusuh, yang satu keluarga gunakan. Dia lalu bertanya kepada si ibu, mengapa dalam kondisi perang seperti ini mereka masih berpuasa.

“Kalian bilang Tuhan membuat kalian hidup tanpa makan selama 30 hari, tapi di hari 31 kalian sudah tidak punya makanan. Tuhan bikin kalian haus selama 30 hari dan pada hari 31 kalian cuma punya air keruh bahkan tidak ada sama sekali. Apa tujuannya? Kenapa kalian puasa?” tanya Booth yang merasa bingung.

Ibu itu kemudian menatapnya dan memberikan jawaban yang membuat Booth semakin tertegun. “Saya berpuasa di bulan Ramadan untuk mengingat (kesusahan) orang miskin,” jawab ibu itu.

Mendengar jawabannya si ibu, pikiran Booth menjadi semakin berputar “Aku tidak mengerti. Dia tidak punya apa-apa tapi bisa berpuasa untuk mengingat (susahnya) orang lain? Bagaimana dia mengingat kemiskinan orang lain sementara dia sendiri tidak punya apa-apa?,” katanya bertanya-tanya dalam hati.

Keputusan Ingin Mempelajari Islam

Saat itu, Booth semakin memikirkan tentang Tuhan, Islam dan menjadi Muslim. Menurutnya, justru kondisi seperti inilah yang sebenarnya kaum beragaman rasakan. Dalam kondisi seperti ini, ibu dan keluarganya masih mempercayai kasih sayang dari Tuhannya, dan mengingat sesama umat manusia.

“Kalau ini Islam, jadikan aku muslim, karena disana benar-benar ada keimanan di mana kamu percaya dengan Tuhan. Bisa tetap merasa bersyukur ketika Tuhan tidak memberikanmu apapun di hari itu . Kalau disana ada iman, di mana kamu punya mangkok berisi makanan dan memberikannya ke orang asing, wow ya Tuhan. Harusnya (beriman) kayak gitu. Subhanallah,” ungkapnya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button