News

KUHP Belum Wujudkan Dekolonialisme, Teknis Penerapannya Masih Diperdebatkan

kuhp-belum-wujudkan-dekolonialisme,-teknis-penerapannya-masih-diperdebatkan

Teknis penerapan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru, masih jadi perdebatan. Aturan mengenai penghinaan terhadap presiden dan lembaga negara, dinilai masih belum mewujudkan dekolonialisme dalam sistem hukum Indonesia.

Pakar Hukum dan Tata Negara, Bivitri Susanti mengatakan formula teknis penerapan soal delik aduan pada pasal penghinaan di KUHP, perlu ada penjelasannya secara rinci.

Ia khawatir, aturan tersebut bisa dimanfaatkan oleh presiden berikutnya untuk mengkriminalisasikan siapapun yang dianggap berseberangan. Hal ini dia tegaskan sebagai bukti bahwa KUHP yang baru belum mewujudkan dekolonialisme dalam sistem hukum Indonesia.

“Karakter ini menurut saya masih ada jadi masih belum layak untuk dikatakan bahwa ini KUHP sudah sifatnya dekolonialisme,” jelasnya di Cikini Jakarta Pusat, Sabtu (10/12/2022).

Seharusnya, sambung dia, pemerintah dan DPR bukan sekadar merancang dan membuat KUHP baru, melainkan juga menghadirkan sistem hukum yang baru juga. Agar, penegakan hukum di Indonesia bisa berjalan secara mandiri tanpa bergantung pada penguasa.

“Maksud saya adalah kok kita jadi bergantung sama penegakan hukum dan presiden dan penguasa, harusnya sistem dong yang dibangun,” tambah Bivitri.

Karenanya, Bivitri ingin terus mendorong peluang judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). “Mungkin teman-teman ada rencana itu karena itu opsi konstitusional yang tersedia tapi kongkritnya siapa dan seterusnya belum direncanakan,” tandasnya.

Diketahui, DPR RI telah mengetok palu untuk mengesahkan RKUHP menjadi undang-undang dalam rapat paripurna yang dihadiri secara langsung oleh 18 anggota DPR pada Selasa (6/12/2022) lalu. Hingga kini gelombang penolakan atas KUHP baru masih deras dari berbagai elemen masyarakat, khususnya dari para pegiat Hak Asasi Manusia (HAM).

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button