Kanal

Legacy Jokowi Bisa Buruk di Akhir Periode Gara-gara Cawe-cawe Capres

Beberapa aktivitas Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhir-akhir ini dinilai cawe-cawe urusan calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres). Banyak pihak sudah mengingatkan. Jangan sampai Jokowi meninggalkan warisan atau legacy yang buruk di akhir masa jabatannya.

Tudingan cawe-cawe Jokowi terhadap urusan Capres muncul akhir-akhir ini. Dari mulai tuduhan meng-endorse calon presiden tertentu, menggelar pertemuan dengan para ketua partai di Istana hingga terakhir adalah kehadirannya pada Musyawarah Rakyat (Musra) Relawan Jokowi.

Terkait Musra Relawan ini, politikus PDI Perjuangan Adian Napitupulu mengingatkan status Jokowi saat ini masih menjabat sebagai presiden sehingga para relawan jangan terus memaksanya memberi arahan terkait calon presiden yang harus didukung.

“Jika para relawan terus memaksa Jokowi memberi arahan terkait calon presiden yang harus didukung, bisa menjerumuskan Jokowi untuk keluar dari batasannya sebagai presiden,” kata Adian saat acara ‘Political Show’ yang disiarkan melalui stasiun televisi CNN Indonesia, Senin (15/5/2023) malam.

Adian meyakini Jokowi tak akan memberikan arahan terkait capres kepada para relawannya sampai kapan pun. Adian menyebut Jokowi sadar akan posisinya sebagai presiden. Wakil ketua koordinator relawan Ganjar itu menilai Jokowi mempunyai pilihan Capres sebagai warga negara dan petugas partai. Namun, Jokowi hanya bisa mengekspresikan pilihannya itu di tempat pemungutan suara (TPS). “Sebagai petugas partai dia bisa berpihak, di TPS. Tapi, sebagai presiden dia tidak bisa,” ujarnya.

Sebelumnya dalam Musra Relawan Jokowi terungkap telah menjaring nama-nama usulan Capres yang akan didukung. Ketiga nama tersebut, yakni Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Airlangga Hartarto.

Presiden Jokowi mengatakan, akan memberikan bisikan kuat kepada partai politik untuk mengusung Capres yang tepat yang diinginkan rakyat. Meskipun begitu, Jokowi mengaku belum memutuskan terkait tiga nama Capres hasil musyawarah nasional (munas) yang disampaikan kepadanya.

“Menurut konstitusi itu yang bisa mencalonkan itu adalah partai atau gabungan partai. Sehingga itu bagian saya untuk memberikan bisikan kuat kepada partai-partai yang sekarang ini juga koalisinya belum selesai,” ujar Jokowi dalam arahannya di Musra yang digelar di Istora Senayan, Jakarta, Minggu (14/5/2023).

Jokowi juga mengaku akan memberi kesempatan kepada partai-partai menyelesaikan proses koalisi Pilpres 2024 sebelum ia mengumumkan satu nama capres hasil Musra relawan Jokowi. “Jadi saya terus terang ini harus kita berikan waktu kepada partai atau gabungan partai untuk menyelesaikan urusan Capres dan Cawapres seperti apa,” kata Jokowi.

Demokrat paling kencang

Tudingan cawe-cawe Jokowi terhadap Capres sebelumnya paling getol disuarakan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Misalnya saat AHY berkunjung ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menyerahkan berkas nama bakal calon legislatif Partai Demokrat pada Minggu (14/5/2023). Kemudian saat berkunjung ke rumah mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) pada Senin (15/5/2023).

AHY ketika itu menanggapi Presiden Jokowi yang mengusulkan nama bakal Capres dan Cawapres ke partai politik. AHY mengatakan presiden memang memiliki hak sebagai warga negara untuk memilih calon. Namun, ia meminta agar presiden tetap fokus pada masalah kebangsaan. Sebab, kata dia, masih banyak isu yang belum terselesaikan, mulai dari masalah ekonomi, kesejahteraan, daya beli masyarakat, kemiskinan, pengangguran, lapangan pekerjaan, termasuk demokrasi dan keadilan.

“Silakan kalau beliau punya pilihan-pilihan, tapi mohon kita semua mengawal demokrasi ini menjadi ruang buat semua. Jangan sampai ada yang didukung, ada yang di-endorse, tapi ada juga yang enggak boleh maju, enggak boleh berlayar, enggak boleh bersatu. Ini sesuatu yang tidak sehat dan tentunya demokrasi kita akan mundur ke belakang,” kata AHY di Gedung KPU RI.

Sementara ketika usai mengunjungi JK, AHY juga mengeluarkan komentar tentang hal yang sama. “Jangan sampai seolah-olah ada yang diberikan dukungan langsung maupun tidak langsung, tapi ada yang dihalang-halangi, atau tidak diharapkan untuk bisa maju, untuk tidak bisa membangun koalisi,” katanya.

Menurut dia, setiap warga punya hak, baik untuk memilih maupun hak untuk dipilih. “Kami sepakat, bahwa sebaiknya dan sepatutnya menghadapi Pemilu 2024, dibuka ruang bagi setiap individu setiap warga negara yang sama dan adil,” ujarnya.

Jadi preseden buruk

Sebenarnya jauh-jauh hari termasuk sebelum deklarasi Ganjar Pranowo sebagai Capres dari PDI Perjuangan, Jokowi pun kerap melemparkan sinyal mendukung calon tertentu. Jokowi seperti meng-endorse beberapa tokoh seperti Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo.

Beberapa pengamat sudah memperingatkan tentang netralitas Jokowi pada para Capres. Guru Besar Hukum Tata Negara Denny Indrayana menyebut, Presiden Jokowi terlihat ikut andil dalam penentuan koalisi untuk Capres Cawapres jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Presiden sempat menggelar pertemuan dengan sejumlah ketua umum partai politik (parpol) di Istana Negara pada Selasa (2/5/2023) malam. Agenda yang diperuntukkan menjadi acara silaturahmi Lebaran itu, diperkirakan tak lepas dari bahasan terkait Pemilu 2024.

Denny mengatakan, Jokowi telah ingkar dengan perkataannya yang selama ini selalu menyatakan bahwa dirinya tidak ikut andil dalam menentukan Capres-Cawapres dan menyerahkan keputusan tersebut kepada masing-masing ketua umum partai politik (Parpol). “Ini lagi-lagi membuktikan bahwa presiden sudah bermain kata-kata tidak jujur kepada publik karena berkali-kali (Jokowi) telah mengatakan soal Capres itu urusan Ketum-ketum partai. Tapi terbukti semakin kelihatan, semakin telanjang bahwa beliau ikut menjadi penentu dalam koalisi Capres bahkan pasangan calon,” ucap Denny dalam keterangannya.

Hal senada juga diungkapkan Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah yang memperhatikan tindakan Jokowi kurang etis. Menurutnya, seorang perangkat negara tidak berhak terlibat aktif dalam penyelenggaraan pemilu saat masih menjabat. Ia khawatir kerja pejabat penyelenggara pemilu bisa terpengaruh dengan kepentingan Jokowi.

“Situasi ini mengkhawatirkan, karena perangkat negara yang terlibat langsung pada penyelenggaraan pemilu dapat terpengaruh dengan cara menjalankan kinerja menyesuaikan kepentingan Jokowi. Untuk itu, aktivitas Jokowi terkait keputusan politik praktis ini harus dikritik keras,” kata Dedi.

Dedi pun mengkritik parpol yang justru diam saja melihat praktik tersebut. Menurut dia, elite parpol semestinya tersinggung dengan cawe-cawe Jokowi. “Karena satu sisi presiden kehilangan wibawa sebagai kepala negara. Dan sebaliknya, ketua umum partai pun kehilangan wibawa di hadapan Presiden,” kata Dedi. “Untuk itu, partai di luar PDIP dan PPP, sudah seharusnya mengambil sikap sendiri,” ujarnya.

Sementara Dosen Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) Aditya Perdana menilai, secara politik fenomena tersebut bisa dipahami, dia menilai ada beberapa hal yang dapat dicermati terkait agenda itu. “Pertama, presiden memiliki kepentingan untuk menjaga keberlanjutan program kerjanya kepada calon atau bahkan parpol yang memiliki pandangan dan satu visi dengan presiden,” tutur Aditya.

Kedua, pada saat ini presiden juga perlu memastikan koalisi pemerintahan berjalan efektif di kala dinamika pencapresan semakin menguat. Ia mengakui, sangat sulit bagi Jokowi untuk bersikap sepenuhnya netral. “Presiden sebagai institusi politik tidak bisa sepenuhnya netral dalam kontestasi karena memang pemilu sarat kepentingan, termasuk kepentingan presiden sebagai individu,” jelasnya.

Jokowi tampaknya sedang berusaha menjadi the real king maker di Pemilu nanti dan menciptakan ‘All Jokowi’s Men’ di Pilpres 2024. Tak hanya mengkonsolidasikan para elite partai, tapi juga para relawannya untuk mendukung calon presiden yang ia persiapkan.

Bila Presiden Jokowi betul-betul terbukti ikut campur dalam penentuan capres-cawapres, hal ini tentu sangat menodai prinsip dasar pemilu yakni langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Bahkan bukan tidak mungkin kepercayaan publik atas terselenggaranya pemilu yang jujur dan adil bisa hilang.

Patut juga diingat, tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Presiden Jokowi pada April 2023 tengah berada di puncaknya yakni 82 persen menurut Lembaga Survei Indonesia (LSI). Jokowi juga dinilai berhasil dalam beberapa sektor pembangunan. Aksi cawe-cawe di akhir masa jabatannya tentu saja bisa menodai kepuasan masyarakat. Jangan sampai Jokowi memberikan legacy yang buruk di akhir periode gara-gara cawe-cawe soal Pilpres ini.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button