Market

Lewat RUU PPSK, BI dan OJK Ingin Rebut Pengawasan Aset Kripto dari Bappebti

Selasa, 11 Okt 2022 – 19:53 WIB

Perdagangan aset kripto menggiurkan banyak pihak. (Foto: MediaIndonesia).

Dalam waktu cepat, perdagangan aset kripto berkembang pesat di tanah air. Alhasil, banyak lembaga berebut menjadi regulatornya. Termasuk Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tergiur merebutnya dari Bappebti.

Direktur Eksekutif Celios (Center of Economic and Law Studies), Bhima Yudhistira mempertanyakan masuknya perdagangan aset kripto dalam RUU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK). Kondisi ini, dikhawatirkan menimbulkan kegaduhan baru. Selama ini, aturan main termasuk pengawasan perdagangan aset kripto di tangan Bappebti, malah ingin ‘dicaplok’ BI dan OJK.

Bhima Yudhistira mengatakan, konsekuensi masuknya aset kripto sebagai bagian dari RUU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK), artinya pengawasan dan regulasi aset kripto berada di bawah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI),

Padahal, selama ini, perdagangan aset kripto diatur Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Kementerian Perdagangan. “Menariknya, kalau pengawasan diatur OJK, padahal aset kripto bukan didefinisikan sebagai cryptocurrency atau mata uang, melainkan komoditi, maka akan terdapat dualisme pengawasan. Tentu ini membuat banyak pihak bertanya, bagaimana aset kripto didefinisikan ke depannya. Apakah sebagai mata uang atau komoditi,” tandas Bhima kepada Inilah.com, Jakarta, Selasa (11/10/2022).

Dalam pasal 205 RUU PPSK, pihak yang menyelenggarakan Inovasi Teknologi Sektor Keuangan (ITSK), wajib menyampaikan data dan informasi ke BI dan OJK, sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing.

“Pasal 205 ayat 1, BI dan OJK melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan ITSK sesuai dengan ruang lingkup kewenangannya. Kewenangan BI dan OJK diperkuat dalam ayat 4 pasal tersebut, menyatakan ketentuan lebih lanjut mengenai pengaturan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) Pasal 205 diatur dalam Peraturan OJK dan Peraturan Bank Indonesia sesuai dengan kewenangannya,” imbuh Bhima.

Konsekuensi dari pasal-pasal tersebut, menurut Bhima, bertolak belakang dengan regulasi sebelumnya yang menjadikan Bappebti sebagai otoritas satu-satunya yang mengatur dan mengawasi aktivitas aset kripto di Indonesia.

“Dijadikannya BI dan OJK sebagai pihak yang menjadi otoritas atas aktivitas aset kripto juga menjadi pertanyaan mengingat selama ini, BI dan OJK tidak memiliki tugas, fungsi, ataupun infrastruktur untuk mengatur perdagangan komoditi yang selama ini berada dalam ranah otoritas Bappebti.” Jelas Bhima.

Data Bappebti menyebutkan, investor kripto tembus 16,1 juta pelanggan per Agustus 2022. Rata-rata kenaikan jumlah investor kripto terdaftar sebesar 725 ribu pelanggan per bulan. Di sisi lain, pertumbuhan industri kripto pada tahun ini, memang turun. Namun tetap saja jumbo. Pada 2021, total transaksi perdagangan aset kripto mencapai Rp859,5 triliun. Sedangkan, total transaksi Januari-Agustus 2022 sebesar Rp 249,3 triliun. Turun 56,35 persen ketimbang periode sama pada tahun lalu. Masih tetap besar, sehingga banyak pihak yang tergiur untuk masuk.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button