News

PDIP Bantah Ada Kontrak Politik Antara Megawati dengan Ganjar Pranowo

Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) PDIP Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul membantah adanya kontrak antara Ketum Megawati Soekarnoputri dengan Calon Presiden (Capres) Ganjar Pranowo.

“Soal pilpres dan capres cawapres, murni sesuai dengan putusan kongres kami, (ada) ditangan bu ketum,” jelas Pacul di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (30/5/2023).

Mungkin anda suka

Ia menegaskan, Ganjar adalah kader dari PDIP, sehingga ditugaskan oleh Ketum untuk menjadi Capres di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.

“Ada kontrak atau tidak ada kontrak, Ganjar itu kader PDIP. Kok ada kontrak, gimana kan kalimatnya ditugaskan,” kata dia.

Sebelumnya, Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri telah resmi mencapreskan Ganjar Pranowo untuk bertarung di kontestasi Pilpres 2024. Namun beredar sinyalemen bahwa keputusan tersebut tidak lahir sebagai genuine keputusan Megawati, melainkan karena keadaan yang dipaksakan.

Jauh sebelum Megawati resmi menjadikan Ganjar sebagai capres PDIP, sudah mencuat rumor yang menyebut dugaan adanya kontrak politik antara pemerintah dengan sejumlah lembaga survei untuk menyukseskan langkah Ganjar menuju gelanggang Pilpres 2024. Isu tersebut mencuat sejak Januari lalu.

“Itu isu yang sudah beredar lama dan diyakini banyak orang. Seperti lembaga survei yang dikontrak jangka panjang, misalnya satu tahun. Mereka mengadakan survei berkali-kali dan survei itu kadang-kadang menggiring opini,” ujar pengamat politik Refly Harun, saat dihubungi Inilah.com di Jakarta, Selasa (25/4/2023) malam.

Refly sendiri mengaku meyakini kebenaran adanya kontrak politik antara pemerintah dengan sejumlah lembaga survei untuk menggenjot elektabilitas Ganjar tersebut. Sebab, menurut dia, jika melihat tren Google selama ini, Ganjar senantiasa berada di urutan paling buncit bila dibandingkan dengan Anies Baswedan dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

“Ini analisis saya ya. Ternyata banyak lembaga survei yang memang ‘bekerja sama’ dengan Ganjar. Entah melalui siapa, mungkin orang (oligarki) yang kuat dalam pendanaan di belakang layar, dan sebagainya,” jelas Refly.

Jadi, menurut pakar hukum tata negara tersebut, di satu sisi lembaga-lembaga itu melakukan survei, sementara di sisi lain mereka juga melakukan penggalangan dan kampanye bagi kemenangan pihak tertentu. “Jadi kalau istilahnya mereka sudah dibeli, di-hire. Apa yang boleh keluar atau nggak itu sudah ditentukan,” kata Refly.

Ia mengaku pernah melihat big data dari salah satu tokoh politik, yang di-update big data itu ya Ganjar nomor tiga saja, Anies dan Agus Harimurti Yudhoyono waktu itu nomor satu. Refly meyakini, jauh di lubuk hati Megawati, yang ingin ia capreskan sejatinya adalah Puan Maharani.

Hal itu masuk akal untuk melanjutkan kepemimpinan PDIP di bawah trah Soekarno. Namun karena pemerintah tidak yakin Puan akan mampu menghadapi Anies Baswedan, rival terberat yang potensial dalam Pilpres 2024, dibuatlah upaya untuk mencari lawan sepadan. Ganjar dianggap cocok sebagai rival Anies, karena kader PDIP itu, dinilai sebagai ‘little Jokowi’.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button