Market

Manuver Gaduh Bos Perhubungan di Akhir Tahun

Menjelang akhir 2022, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi bikin heboh dengan manuver barunya. Kali ini Bos Perhubungan itu mengeluarkan rencana untuk membedakan tarif KRL bagi orang miskin dan kaya. Sontak saja rencana ini memantik kritik dari kalangan pengguna KRL hingga anggota parlemen.

Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mengungkapkan tarif KRL memang tidak akan naik di 2023, tetapi bakal ada penyesuaian bagi kelompok masyarakat mampu, artinya orang kaya bakal membayar tarif KRL tanpa subsidi alias lebih mahal. Data pembeda kelas ekonomi antara si kaya dan si miskin ini salah satunya bisa diketahui dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).

Menhub Budi Karya mengatakan, apabila tanpa disubsidi, tarif KRL sejatinya berada di kisaran Rp10.000 sampai dengan Rp15.000 sekali jalan per penumpang. “Saya memberikan ilustrasi di semua sektor kalau semua subsidi itu didapat kepada masyarakat,” kata Budi Karya dikutip dari Kompas TV, Jumat (30/12/2022).

Selama ini lantaran ada subsidi dari pemerintah, katanya, penumpang KRL bisa menikmati tarif murah sebesar Rp3.000 untuk 25 kilometer pertama. Kemudian tarifnya sebesar Rp1.000 untuk 10 km berikutnya sebagaimana yang berlaku saat ini. Tarif KRL masih disubsidi negara lewat skema public service obligation (PSO).

Menhub Budi Karya menyampaikan, rencana tarif khusus ini sudah ia laporkan kepada Presiden Joko Widodo. Termasuk mekanisme untuk membedakan penumpang yang mampu dan yang tidak mampu. Sehingga, masyarakat yang memiliki kemampuan finansial lebih baik akan membayar lebih besar dari tarif normal KRL.

“Jadi mereka yang tidak berhak harus membayar lebih besar dengan membuat kartu mereka yang bisa membayar karena kalau itu berhasil subsidi itu bisa kita berikan kepada sektor yang lain,” ujar Budi Karya. Para penumpang yang kaya ini akan diberikan kartu khusus. Tujuan kartu khusus itu agar subsidi tarif KRL tepat guna untuk masyarakat yang kurang mampu.

Memantik kegaduhan

Sontak saja rencana ini memunculkan kegaduhan baru di masyarakat terutama dari pengguna KRL. Komunitas Pengguna KRL Jabodetabek (KRL Mania) menyebutkan, praktik pembedaan tarif akan menyebabkan kerumitan.

Selain kriteria yang tidak jelas, dapat terjadi kekacauan karena ada yang merasa berhak untuk duduk atau perlakuan lebih lainnya.

“Akan ada keributan antara kaya dan miskin, yang diakibatkan kebijakan tersebut,” ujar KRL Mania, dalam keterangan tertulisnya.

Komunitas KRL Mania menilai pengguna angkutan umum selama ini adalah pahlawan transportasi, anggaran, dan iklim. Hal ini karena rela menggunakan transportasi massal untuk memperlancar jalan di Jabodetabek. Sebagian pengguna, bahkan memilih meninggalkan kenyamanan kendaraan pribadi, dan berdesakan di KRL.

Bukan itu saja, penggunaan transportasi massal seperti KRL juga membantu mengurangi melonjaknya BBM Subsidi dan kompensasi yang tahun ini saja, dianggarkan lebih Rp260 triliun. Masyarakat yang memilih menggunakan KRL juga ikut mendukung program pemerintah untuk menekan emisi karbon.

“KRL Mania menyerukan kepada Presiden Jokowi untuk menegur Menhub karena usulan kontroversial ini,” katanya.

Kalangan DPR juga ikut merespons negatif rencana ini. Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar atau biasa disapa Cak Imin, meminta Menhub Budi Karya meninjau ulang wacana pembedaan tarif KRL.

“KRL itu sudah jadi alat transportasi yang sangat digemari masyarakat, semua kalangan karena cepat, murah dan tentu efisien. Jadi janganlah dibeda-bedakan tarifnya (bagi pelanggan), kalau ini terus dilakukan malah bisa berkurang nanti peminatnya (KRL),” kata Cak Imin, Jumat (30/12/2022).

Alih-alih membedakan kelas penumpang, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini mengungkapkan, Kemenhub mestinya berterima kasih pada masyarakat kelas menengah yang mau meninggalkan kendaraan pribadi demi beralih menggunakan transportasi umum.

Pasalnya, para pengguna KRL telah berkontribusi mengurangi kemacetan, polusi dan risiko kecelakaan lalu lintas yang masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah.

“Dilihat dari antusias warga pakai KRL setiap hari yang nyaris nggak pernah sepi, itu menunjukkan bahwa subsidi tarif KRL tepat sasaran,” tuturnya.

Cak Imin pun mendorong Kemenhub untuk meningkatkan fasilitas KRL daripada sibuk mengoreksi tarif. Misalnya gerbong ditambah biar nggak terlalu berdesak, juga misalnya menambah palang pintu di perlintasan KRL yang belum terpasang.

Anggota Komisi V DPR RI Suryadi Jaya Purnama juga sependapat, sejatinya transportasi massal termasuk KRL ditujukan untuk semua kalangan, baik itu orang yang kaya maupun tidak. Pasalnya KRL bermanfaat memberikan bantuan transportasi kepada masyarakat yang tidak mampu dan di sisi lain membantu mengurangi kemacetan jika orang-orang yang mampu beralih ke moda transportasi massal.

Ia menolak rencana tersebut lantaran subsidi Rp3,2 triliun untuk pengguna kereta api pada 2022 masih sangat minim. Sehingga subsidi transportasi massal seperti KRL sebaiknya diperbesar agar makin banyak yang meninggalkan kendaraan pribadi dan berpindah ke transportasi massal.

“Apalagi secara teknis KRL Commuter Line masih mengalami over load di jam-jam sibuk, sehingga pengguna belum bisa merasakan kenyamanan sepenuhnya,” tambahnya.

Picu kecemburuan sosial

Wacana penerapan tarif KRL yang berbeda untuk penumpang kurang mampu dan ‘orang kaya’ ini juga dinilai akan memicu konflik dan kecemburuan sosial. Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran) Deddy Herlambang, mengatakan rencana tersebut aneh dan ironi. Sebab, negara-negara lain seperti Hong Kong, Jepang, hingga Eropa pun menerapkan tarif KRL yang sama.

“Jadi tidak ada perbedaan tarif untuk orang kaya, miskin, tidak mampu, hingga setengah mampu. Semuanya diberlakukan tarif yang sama,” ujarnya mengutip Bisnis.

Menurut Deddy, wacana ini bisa saja menimbulkan kecemburuan bahkan konflik sosial. Misalnya, orang yang mampu atau orang yang kaya merasa mereka perlu mendapat layanan istimewa karena tidak disubsidi dan membayar mahal.

Sementara itu, sambungnya, di dalam KRL mereka tetap berbaur dengan orang-orang biasa yang tarifnya disubsidi.

“Belum lagi nanti ada konflik sosial, misalnya karena mereka merasa [tarif] lebih mahal dan tidak disubsidi mereka harus duduk misalnya,” ujar Deddy.

Lebih lanjut, dia tak bisa membayangkan jika nanti ada warga negara asing (WNA) atau masyarakat di luar Jabodetabek yang datang ke Ibu Kota dan naik KRL malah ditanya data kekayaan, laporan pajak, hingga nomor pokok wajib pajak (NPWP).

“Kan menjadi aneh sebenarnya. Jadi menurut saya justru itu tidak tepat,” ungkapnya.

Manuver sebelumnya

Manuver Bos Perhubungan bukan kali ini saja. Sepanjang 2022, ada beberapa kebijakan yang memantik kegaduhan publik. Lihat saja kebijakan sebelumnya terhadap tarif kedua jenis transportasi umum. Yakni tarif baru ojek online yang sempat diundur pelaksanaannya, serta kenaikan tarif penerbangan pesawat.

Untuk kenaikan tarif penerbangan, Kemenhub memberikan relaksasi bagi maskapai untuk menetapkan biaya tambahan sebesar 15-25 persen dari tarif batas atas harga tiket pesawat. Alasan yang mendasari langkah ini adalah untuk meredam dampak dari fluktuasi harga avtur yang menjadi komponen biaya operasional dengan proporsi terbesar bagi maskapai.

Kenaikan ini tertuang dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 142 tahun 2022 tentang Besaran Biaya Tambahan (Surcharge) Yang Disebabkan Adanya Fluktuasi Bahan Bakar (Fuel Surcharge) Tarif Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri. Aturan tersebut berlaku mulai tanggal 4 Agustus 2022.

Pada April 2022, Kemenhub sebenarnya sudah menaikkan biaya tambahan dari ketentuan yakni lewat Keputusan Menteri Perhubungan No. 68/2022 pada 18 April 2022. Waktu itu, biaya tambahan yang dikenakan hanya 10 persen dari tarif batas atas untuk pesawat jet dan 20 persen untuk pesawat propeler.

Keputusan Menhub ini sontak aja mendapat reaksi dari pengguna angkutan udara dan pengamat penerbangan.

“Ini apa-apaan ya? Ini bukti kalau pemerintah regulator dalam hal ini Kementerian Perhubungan kalah dengan operator (maskapai) terutama yang swasta,” ujar Gatot Raharjo Pengamat Bisnis Penerbangan.

Keputusan Menhub ini pun mendapat atensi dari Presiden Joko Widodo. Presiden sempat menegur dua pembantunya, yakni Menhub Budi Karya dan Menteri BUMN Erick Thohir dan meminta keduanya mengatasi masalah tersebut.

Kenaikan tarif ojol

Menhub juga mengeluarkan ketentuan baru soal tarif ojek online (ojol). Kenaikan tarif ini diatur melalui Keputusan Menteri (KM) Perhubungan Nomor KP 564 Tahun 2022 Tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat yang Dilakukan dengan Aplikasi.

Keputusan tarif ojol baru ini terbit pada tanggal yang sama dengan tarif tambahan pesawat yakni pada 4 Agustus 2022. Penerbitan regulasi ini menggantikan KM Nomor KP 348 Tahun 2019 dan akan menjadi pedoman sementara bagi penetapan tarif atas dan tarif bawah ojol.

Berdasarkan aturan baru tersebut, Kemenhub melakukan evaluasi terhadap biaya jasa minimal dengan kenaikan di kisaran 30 persen atau sekitar Rp2.000 sampai dengan Rp5.000.

Adapun tarif ojol dibagi menjadi tiga zonasi yakni Zona I meliputi: Sumatra, Jawa (selain Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi), dan Bali. Zona II meliputi: Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Terakhir Zona III meliputi: Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara dan sekitarnya, Maluku dan Papua.

Namun pada perkembangannya, Kemenhub sendiri sempat menunda pemberlakuan tarif baru ojol dari seharusnya 15 Agustus 2022 menjadi 30 Agustus 2022. Kemenhub mengatakan, tarif ojol baru akan berlaku 25 hari sejak Keputusan Menteri Perhubungan (KM) Nomor KP 564 Tahun 2022 ditetapkan 4 Agustus 2022.

Niat untuk mensejahterakan para driver ojol terkait tarif baru ojol ini memunculkan pertanyaan. Hal ini mengingat kenaikan tarif ini juga bisa menyusahkan para pengemudi ojek online. Kebijakan menaikkan tarif ini pun sempat mendapat sorotan karena dinilai tidak tepat di tengah tekanan inflasi tinggi seiring kenaikan harga BBM jenis Pertalite.

Belum diketahui kepastian kebijakan diskriminasi tarif KRL apakah akan segera berlaku? Apakah respons dan koar-koar pengguna kereta, pengamat dan wakil rakyat ini hanya dianggap angin lalu seperti kebijakan-kebijakan Menhub sebelumnya? Kita lihat saja.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button