News

Pernyataan Sri Mulyani soal 185 Laporan TPPU Dinilai Janggal

Pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati terkait 185 laporan dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) atas permintaan Kemenkeu sendiri kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), terdengar sangat janggal.

Penilaian tersebut datang dari Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS). “Atas dasar apa, Kementerian Keuangan boleh minta transaksi keuangan pegawainya kepada PPATK? Apakah Kementerian Keuangan sudah tahu ada indikasi pencucian uang? Tahu dari mana?” kata Anthony di Jakarta, Rabu (29/3/2023).

Menurut dia, kalau tidak ada indikasi pencucian uang alias money loundering, Menkeu tidak berhak meminta transaksi keuangan setiap orang, termasuk pegawainya. Sebab, nasabah bank dilindungi UU Kerahasiaan Bank (UU No 10 Tahun 1998).

“Kecuali, untuk keperluan tertentu, misalnya peradilan, atau terkait pencucian uang,” timpal Anthony.

Kemudian, sambung dia, PPATK seharusnya tidak mempunyai data setiap transaksi keuangan dari setiap orang. Sebab, PPATK hanya menerima transaksi mencurigakan atau transaksi keuangan paling sedikit Rp500 juta dalam satu kali transaksi atau beberapa kali transaksi dalam satu hari kerja.

Hal itu, sambung Anthony, sesuai Pasal 23 ayat (1) UU No 8 Tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan TPPU. “Jadi, pernyataan Sri Mulyani ini sangat janggal,” unngkap dia.

Jika tidak ada aral melintang, Komisi III DPR pada Rabu (29/3/2023) pukul 15.00 WIB, dijadwalkan menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, Kepala PPATK Ivan Yustiavandana dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati untuk membongkar megaskandal dugaan korupsi dan TPPU senilai Rp349 triliun di Kemenkeu.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button