Market

Minyak Goreng Raib, Ekonom: Sejak Zaman Romawi Kuno Pengaturan Harga selalu Gagal

Program pengaturan harga minyak goreng dinilai tidak efektif mengatasi tingginya harga komoditas yang menyangkut hajat hidup orang banyak itu. Menurut ekonom, sejak zaman Romawi Kuno, pengaturan harga selalu gagal.

“Jadi, yang disubsidi seharusnya bukan barangnya (minyak goreng), tapi orangnya,” kata Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual kepada Inilah.com di Jakarta, Jumat (11/3/2022).

Mungkin anda suka

Menurut dia, pemerintah harus meperhatikan kenaikan harga-harga komoditas yang memenuhi hajat hidup orang banyak, seperti beras dan minyak goreng. Kenaikan tersebut terjadi lantaran kenaikan harga-harga komoditas global akibat perang Rusia-Ukraina. “Saya setuju jika subsidi itu untuk orangnya,” katanya

Menurut David, jika melihat sejarahnya, pengaturan harga bagi komoditas apapun selalu gagal sejak zaman Romawi kuno di abad ke-8. “Selalu, kalau kita bicara pengaturan harga di mana pun itu selalu gagal sejak zaman Romawi. Barang apapun,” ungkap David tandas.

Pengaturan Harga Suburkan Pasar Gelap

Ia mencontohkan pemerintah Argentina yang mengatur harga 1200 produk. Pengaturan ini justru memicu pertumbuhan pasar gelap. Sebab, barang-barang tersebut raib di pasaran. Begitu juga dengan pasar gelap minyak goreng yang terjadi di Tanah Air.

Setelah pemerintah menetapkan harga khusus minyak goreng Rp14 ribu per liter, kata David, semua orang berubah menjadi spekulan, mulai dari pembeli, pedagang, distributor hingga pengusaha.

Ia melihat banyak ibu-ibu kalangan menengah ikut mengantre minyak goreng bersubsidi untuk dijual kembali ke tetangganya. “Jadi, spekulan bukan hanya perusahaan atau toko. Kan lumayan beda Rp5-10 ribu per liter,” ujarnya.

Karena itu, jika membeli 5 liter minyak goreng bersubsidi, maka para spekulan akan meraup untung untung Rp100 ribu.

Meski begitu David tak menampik terjadinya antrean karena faktor panic buying akibat rasa takut kehabisan.

“Jadi, mereka mengantre semua secara bersamaan dengan spekulan sehingga stok minyak goreng menjadi habis seperti yang terjadi sekarang ini,” tuturnya. “Stok tidak ada di peredaran bisa juga karena subsidi dari pemerintah tidak sampai ke produsen.”

Arahkan Subsidi ke 18,8 Juta Penerima Bansos

Alhasil, program pengaturan harga menjadi tidak efektif dan kontradiktif dengan tujuannya, yakni agar harga terjangkau dan pasokan tersedia. “Lebih baik subsidi itu pemerintah arahkan ke orangnya yang 18,8 juta orang penerima Bansos dari program PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional),” papar David.

“Jadi, merekalah yang diberikan tambahan subsidi karena kenaikan harga minyak goreng ini. Karena memang ironis juga, kita penghasil CPO tapi mengalami kelangkaan minyak goreng.”

Seperti inflasi Februari 2022 kemarin, David menjelaskan, minyak goreng justru mengalami deflasi. Sebab, harganya turun karena memang harga patokan pemerintah turun. “Tapi, barangnya tidak ada di pasaran. Inflasinya ini menjadi artifisial,” ucapnya.

Dia kembali menegaskan, sejak zaman Romawi pengaturan harga selalu gagal. Kelangkaan minyak goreng akhir-akhir ini menjadi buktinya. Bahkan, kata David, begitu juga program bahan bakar minyak (BBM) dan semen satu harga. “Bagaimana kita mengatur ratusan ribu orang,” timpal dia.

Jika selisih harga terlalu lebar antara Jawa dengan luar pulau Jawa, menurutnya, orang akan terstimulasi untuk menyelundupkan barang. Ia kembali mencontohkan di Timor-Timur di harga harga selalu jauh lebih mahal daripada Nusa Tenggara Timur (NTT).

“Kalau saya spekulan, mending saya jual di Timor-Timur. Begitu juga dengan daerah-daerah perbatasan RI-Malaysia dan Singapura. Malah kita mensubsidi negara-negara tetangga jadinya melalui perbatasan,” imbuhnya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button