Kanal

Misi Sepulang Haji

Sepulang dari berhaji, ujian yang akan dihadapi oleh kita semua adalah apakah kita dapat menjadi individu yang menambah kebaikan bagi sekeliling? Apakah ibadah haji yang telah kita lakukan memiliki dampak sosial, membuat kita menjadi agen perubahan yang membawa kebaikan bagi orang-orang di sekitar kita?

Itulah esensi dari keberhasilan haji yang diterima Allah. Ketika ibadah ritual yang bersifat personal mampu menghasilkan transformasi sosial yang nyata. Jika haji adalah puncak ibadah seorang muslim, maka apakah kita mampu menjadi manusia yang terbaik? Manusia yang, sebagaimana sabda Nabi, memberikan manfaat kepada sesama manusia. “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.”

Islam sendiri adalah agama yang berorientasi pada perubahan sosial. Nabi Muhammad merasa gelisah melihat masyarakat jahiliyah yang terpuruk dalam ketidakadilan sosial dan kehancuran moral. 14 abad yang lalu, rasa gelisah itu membawanya ke Gua Hira, sebuah gua kecil berukuran 1,75 hasta di puncak Jabal Nur yang memiliki ketinggian 642 meter, sekitar 6 km di sebelah utara Ka’bah.

Di Gua Hira, Nabi Muhammad merenung. Sesekali beliau menengok ke arah kota Mekkah melalui lubang kecil di gua itu. Mekkah yang “gelap” di tengah kemajuan peradaban, masyarakat yang terjebak dalam kegelapan jahiliyah dan tertinggal dalam hal mental dan etika. Di Gua Hira, Sang Nabi mencari pencerahan batin, di Gunung Cahaya itu, karena hanya hati yang tercerahkan yang dapat membawa kegelapan menuju cahaya.

Pada malam ke-17 bulan Ramadhan atau sekitar 6 Agustus 610 M, di sinilah Rasulullah menerima wahyu pertama dari Allah SWT yang dibawa oleh Malaikat Jibril. Bunyi ayat itu adalah, “Iqra!” yang berarti “Bacalah.” “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan.”

Perintah untuk membaca ini tidak sekadar membaca teks atau huruf-huruf di atas kertas. Lebih jauh dari itu, membaca berarti memahami, mengamati, meneliti, dan mengambil hikmah dari fenomena yang ada. Inilah sebabnya Jibril tetap berpegangan pada Muhammad yang gemetar seraya menjawab, “Apa yang harus aku baca? Aku tidak bisa membaca.” Tetapi Jibril tetap meminta Muhammad untuk membaca, “Bacalah! Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan!”

Setelah 14 abad berlalu, perintah ini masih relevan bagi kita. Apakah kita membaca realitas sosial di sekeliling kita? Apakah kita cukup peka untuk mengamati apa yang terjadi? Apakah kita merasa gelisah dan ingin melakukan perubahan seperti Nabi Muhammad yang ingin membawa masyarakatnya menuju kebaikan? “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan!” Bacalah setiap hari melalui berita dan media sosial.

Setelah menerima wahyu pertama, Rasulullah segera pergi ke rumah istrinya, Khadijah. Ibunda Khadijah melihat Sang Rasul gemetar. Namun, bukan karena ketakutan, tetapi karena sebuah perubahan besar yang baru saja terjadi pada diri Sang Nabi. Pencerahan batin yang luar biasa, ketika seluruh pengetahuan terbuka baginya. Rasulullah pertama-tama memilih masuk kamar dan merenung untuk menenangkan diri setelah mengalami goncangan spiritual yang dahsyat.

Jika kita membaca dunia sebagaimana Nabi membaca masyarakat jahiliyah, jika kita telah menerima pencerahan secara intelektual dan spiritual, maka kita pun akan merasa gemetar melihat apa yang terjadi di sekitar kita. Betapa rusaknya tatanan moral dan sosial saat ini. Betapa orang-orang mengabaikan agama. Betapa mereka meremehkan ayat-ayat Allah. Betapa durhaka kita terhadap hukum-hukum Allah dan ajaran Rasulullah. “Bacalah” setiap hari melalui berita dan media sosial.

Namun, kita tidak boleh berhenti hanya pada tahap “gemetar” karena pencerahan yang telah kita dapatkan. Di surat Al-Mudatsir ayat 1-7 yang turun setelah ayat-ayat pertama surat al-Alaq, Allah meminta kita untuk “Bangun dan memberi peringatan!”

“Wahai orang yang berselimut! Bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan agungkanlah Tuhanmu. Dan bersihkanlah pakaianmu. Dan tinggalkanlah segala perbuatan yang keji. Dan janganlah engkau memberi dengan maksud memperoleh balasan yang lebih banyak. Dan karena Tuhanmu, bersabarlah.”

Merenungkan perjalanan Nabi ke Gua Hira, membaca ayat yang turun setelah pencerahan pertama, saya merasa bahwa tujuh ayat pertama surat al-Mudatsir dapat menjadi panduan bagi kita setelah kembali ke tanah air setelah menunaikan haji.

358546357 816743916482275 4433792942938234477 N - inilah.com
 

Keluarlah dari selimut, jangan terperangkap dalam kenikmatan pengetahuan dan spiritual yang telah kita dapatkan selama berada di tanah suci, karena semuanya ini bukan untuk kepentingan diri sendiri. Bangunlah, lalu berilah peringatan kepada orang-orang di sekitar kita, beri tahu, ajarkan, ajak, dan gerakkan orang-orang di sekitar kita menuju kebaikan.

Bersihkanlah akhlak dan budi pekerti kita, karena akhlak adalah pakaian kita. Tanpa akhlak yang baik, kita seperti orang yang telanjang di tengah keramaian. Tinggalkanlah perbuatan keji, berhentilah melakukan kerusakan dan kejahatan.

Janganlah berbuat baik semata-mata untuk mendapatkan balasan, jangan memberi dengan motivasi untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar, dan jangan bersedekah dengan tujuan egois ingin diakui. Berbuat baiklah karena itulah tugas kita, tugas yang diwariskan Nabi bagi mereka yang ingin melanjutkan ajarannya.

Terakhir, bersabarlah terhadap rencana dan ketetapan Allah. Berserahlah dengan ikhlas hanya kepada Allah. Bergantunglah hanya kepada-Nya. Bangunlah dengan teguh dalam keimanan, seperti huruf “alif” yang tegak.

Dari puncak Jabal Nur, di Gua Hira, kita seharusnya membawa sesuatu pulang. Bukan sekadar kenangan atau foto-foto. Bayangkan 14 abad yang lalu, seorang laki-laki melarikan diri dari komunitasnya untuk memulai sebuah misi transformasi. Dari sinilah seharusnya kita mulai menetapkan misi yang sama untuk memperbaiki tatanan masyarakat di sekitar kita. Misi untuk menebus keberhasilan haji yang telah kita lakukan.

Hari ini, jika kita ingin mencapai gua perenungan (Gua Hira) di puncak Gunung Cahaya (Jabal Nur), kita harus mendaki 1.420 anak tangga, menjaga keseimbangan di antara batu-batu tajam dan terjal dengan kemiringan 60-70 derajat. Semuanya terasa mudah karena adanya kendaraan dan banyak orang. Bayangkan, pada masa itu Rasulullah melakukannya sendirian, tanpa bantuan fasilitas yang kita miliki saat ini.

358564203 816743886482278 2590253871489544381 N - inilah.com

Dari kejauhan, Mekkah terlihat bercahaya. Bahkan, mungkin menjadi titik paling terang di muka bumi. Namun, dari sini, kita harus melihat tanah air, tempat kelahiran, dan tempat tinggal kita masing-masing. Sudahkah ada cahaya di sana? Bagaimana kita bisa membawa cahaya ke sana?

Semoga setelah semua ini, kita benar-benar menjadi haji yang diterima Allah. Bukan hanya ingin dipanggil “haji” karena gengsi, bukan pulang ke tanah air hanya untuk memamerkan dan membanggakan diri.

“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan!”

Mekkah, 12 Juli 2023

FAHD PAHDEPIE

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button