News

Ekspor Pasir Laut dan Rakusnya Kebutuhan Dana Pemilu

Terbitnya kebijakan ekspor pasir laut di tahun politik jelang Pemilu 2024, bikin dahi berkerut. Bukan mustahil kebijakan ini memang sengaja dibuat untuk bagi-bagi ‘cuan’.

Tahun 2023 adalah fase perjuangan terberat bagi para kontestan politik, mengingat kurang dari setahun lagi pertarungan memperebutkan kursi dimulai. Tentu untuk bisa memenangkan kontestasi Pemilu 2024, membutuhkan modal yang tidak sedikit. Popularitas saja tidak cukup, harus diimbangi keuangan yang mumpuni.

Menukil pernyataan politikus Partai Gelora, Fahri Hamzah dalam sebuah wawancara di stasiun tv beberapa waktu lalu, terungkap bahwa untuk seorang calon anggota legislatif di tingkat DPR RI, setidaknya harus memiliki modal sekitar Rp5 miliar hingga Rp15 miliar, untuk bisa duduk di kursi empuk anggota dewan.

Lantas berapa banyak partai politik harus menggelontorkan dana untuk bisa lolos ke Senayan? Mari kita hitung sama-sama. Untuk bisa lolos, partai politik harus mampu memenuhi ambang batas parlemen 4 persen. Setidaknya untuk memenuhi persentase itu, setiap partai politik harus bisa meraih 24 kursi. Jumlah ini diambil dari total 580 kursi yang ada di DPR RI saat ini.

Bila membutuhkan 24 kursi artinya, partai politik harus menggelontorkan setidaknya Rp180 miliar, dengan estimasi setiap satu kursi memakan biaya Rp7,5 miliar. Tentu agar aman partai politik harus menargetkan lebih, setidaknya 50 kursi, maka modal yang dikeluarkan juga bertambah, sekitar Rp375 miliar.

Ironisnya, nilai tersebut masih belum termasuk ongkos untuk memenangkan pertarungan di Pilkada atau Pilpres. “Tapi kalau Pilpres lebih gila menurut saya. Di Indonesia ini kalau orang tidak punya uang Rp5 triliun, enggak bisa nyapres dia. Sadar atau tidak,” kata Fahri.

Pertanyaan lanjutannya, dari mana sumber dana miliaran bahkan triliunan itu didapat? Jawabannya, diduga kuat, dari penyelewengan anggaran negara. Sebagaimana yang diutarakan Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan, Abdul Halim kepada Inilah.com.

“Cara yang paling mudah (dengan) menerbitkan peraturan-peraturan yang mempermudah untuk mendapatkan uang baik yang bersumber dari APBN, anggaran negara, maupun yang bersumber dari pemanfaatan sumber daya alam melalui penerbitan-penerbitan izin,” terang dia di Jakarta, dikutip Minggu (11/6/2023).

Maka jangan heran bila di tahun politik jelang pemilu suka muncul kebijakan ‘nyeleneh’ yang disinyalir menjadi bancakan. Baru-baru ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memberi lampu hijau bagi ekspor pasir laut. Sontak kebijakan ini menjadi sorotan dan menuai polemik, mengingat sudah 20 tahun kebijakan ini dibekukan pemerintah, dengan alasan dampak buruk terhadap lingkungan.

Kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut ini, dinilai Abdul Halim sarat dengan kepentingan politik jangka pendek oknum di pemerintahan, terutama Kementerian Kelautan dan Perikanan, untuk mendapatkan rente.

“Menurut saya hanya akal-akalan saja dengan target utama adalah bagaimana pemerintah mendapatkan printilan, boleh dikatakan seperti itu, dengan menerbitkan izin pemanfaatan pasir laut tadi,” ungkapnya.

Melihat momentum terbitnya kebijakan ekspor pasir laut ini, membuat kita flashback sejenak ke kebijakan bailout Bank Century tahun 2008 silam, beleid penyelamatan bank ini terjadi menjelang Pemilu 2009. Belakangan terbukti penyelamatan ini malah berakhir dengan kerugian negara sebesar Rp7,4 triliun, menurut laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Peneliti Ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda mengatakan bukan hal mustahil beleid ekspor pasir laut juga akan bernasib sama, berpotensi jadi ‘mainan’ bagi pihak-pihak yang berkepentingan, mengingat nilai ekspornya di seluruh dunia memang menggiurkan. Menurut perhitungannya, sekitar 1,71 miliar dollar Amerika Serikat atau Rp24,460 triliun.

Setidaknya, sambung dia, Indonesia bisa meraup minimal lima persen dari nilai total ekspor itu, sekitar 85,5 juta dollar AS atau Rp1,273 triliun. Meski realitanya, Indonesia punya potensi untuk meraup lebih dari itu, mengingat pasarnya tidak banyak diambil negara lain. Belum lagi, permintaan pasir laut cukup tinggi. Tercatat Amerika Serikat, Belanda, Jerman, Belgia, Malaysia, Singapura, dan beberapa negara lainnya memiliki permintaan yang sangat besar.

“Pemerintah saat ini mau membagi cuan ke pengusaha agar bisa ambil untung sebelum berganti pemerintahan. Kebijakan ini hanya akan tambah memperparah kerusakan lingkungan dan oligarki di istana. Jadi kebijakan ini tidak ada positifnya sama sekali. Harus dilawan,” tegas Nailul kepada Inilah.com, saat dihubungi di Jakarta, dikutip Minggu (11/6/2023).

Menurutnya keuntungan yang didapatkan negara dari ekspor laut ini tidak sebanding dengan dampak kerusakan lingkungannya. Malah sebaliknya, Nailul berpandangan keuntungan dari kebijakan ini bersifat semu, karena ujung-ujungnya hanya akan menurunkan perekonomian Indonesia. “Tapi apalah dampak ekonomi yang tinggi tapi merusak lingkungan. Bahkan di jangka menengah dan panjang bisa menurunkan perekonomian secara umum,” jelas Nailul.

Pemerintah berdalih

Pemerintah melalui mulut Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono pada 31 Mei lalu, menjelaskan bahwa peraturan tersebut terbit karena adanya permintaan reklamasi dalam negeri yang tinggi. Pemerintah juga mengklaim, beleid tersebut bisa mengantisipasi pengerukan pasir laut yang bisa berdampak terhadap kerusakan lingkungan.

Trenggono mengatakan, proyek reklamasi bisa dilakukan asal menggunakan hasil sendimentasi laut. Penentuan sendimentasi yang bisa digunakan pun harus berdasarkan tim kajian yang dibentuk oleh pemerintah.

Sendimentasi di laut, menurut dia, merupakan material alami yang terbentuk oleh proses pelapukan dan erosi yang terdistribusi oleh dinamika oseanografi dan terendapkan yang dapat diambil untuk mencegah terjadinya gangguan ekosistem dan pelayaran.

Dalih ini mengundang gelak tawa Direktur Eksekutif Centre for Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi. Menurutnya, alasan pemerintah membuka kembali aturan tersebut tidak masuk akal. “Ini kok alasannya untuk supaya laut jadi dalam hahaha. Yang pasir dikeruk itu bukan di laut dalam, tapi di tepi pantai-pantai yang ada pulau-pulaunya, itu yang diambil pasir itu,” jelas Uchok kepada Inilah.com, di Jakarta, dikutip Minggu (11/6/2023).

Selain merugikan masyarakat dan nelayan di pesisir, Uchok menegaskan, tindakan ini sama saja seperti menjual kedaulatan bangsa secara murah ke negara lain. Ia pun mengaku punya data pendukung. Menurut Singapore Land Authority (SLA), tutur Uchok, luas daratan wilayahnya semakin bertambah sejak merdeka mulai dari 581,5 km persegi menjadi 687,1 km persegi di tahun 2002. Jika ekspor ini diberlakukan lagi, maka memperbesar peluang Singapura menambah luas wilayahnya, tentu penambahan ini akan mengancam batas negara tetangganya, yakni Indonesia.

“Tanah dan pasir itu kan harga kedaulatan bangsa, itu yang jual. Jadi dengan dibukanya kebijakan ini itu artinya menjual kedaulatan bangsa secara murah ke Singapura hanya untuk mencari duit yang nggak seberapa,” tegas Uchok.

Melihat banyaknya kerugian daripada keuntungan dari kebijakan ini, Uchok beranggapan, tidak berlebihan jika kebijakan ini disebut sebagai kebijakan yang korup. Pemerintah diminta bijak dan mau mendengarkan kritikan masyarakat, jika tidak tentu bisa memancing kemarahan publik. [Reza/Vonita]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button