Kanal

Noda Hitam Para Hakim Konstitusi

Rabu 8 November 2023, suasana di Gedung Mahkamah Konstitusi terasa tegang. Sejumlah petugas terlihat hilir mudik, sekedar menyiapkan mic ataupun menata dua kursi di balik sebuah meja hitam berornamen. Sementara di depan meja itu, belasan kamera berjejer rapih dengan sesekali terlihat pancaran blitz yang ditembakan.

Sesaat kemudian pria berjenggot tebal dengan kemeja batik berwarna hitam nampak berjalan dengan diringi sejumlah petugas. Ia sempatkan menyapa sejumlah orang sebelum akhirnya merebahkan tubuhnya ke kursi yang telah disiapkan tadi. 

Ia adalah Anwar Usman. Hari itu Majelis Kehormatan MK (MKMK) baru saja memberi sanksi etik berat. Anwar dicopot dari Ketua MK imbas terbukti terlibat konflik kepentingan dalam memutus perkara nomor  90/PUU-XXI/2023. 

Memang kini Anwar Usman menjadi orang yang paling tertuduh di republik ini. Seluruh telunjuk, utamanya para politisi sedang mengarah kepadanya. Derajat tinggi Mahkamah Konstitusi (MK) yang dibentuk sebagai penyeimbang kekuasaan kini terdegradasi ke jurang yang paling dalam dianggap akibat ulahnya. 

Istilah Mahkamah Keluarga, menjadi anekdot yang menggambarkan degradasi kepercayaan terhadap lembaga yang sejarah berdirinya diawali dengan diadopsinya Constitutional Court, dalam amandemen konstitusi oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), pada tahun 2001. 

Persoalan muncul akibat dari ia memimpin sidang gugatan uji materi yang menyoal aturan syarat usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Melalui putusan dengan nomor perkara 90/PUU-XXI/2023, sosok Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka akhirnya dapat melenggang menjadi kandidat calon wakil presiden pada Pilpres 2024 nanti bersama Prabowo Subianto sebagai calon presiden. 

Yang menjadi soal, Gibran adalah keponakannya. Anwar bertalian saudara dengan Presiden Joko Widodo. Ini yang kemudian menimbulkan kecurigaan akan adanya konflik kepentingan dalam perkara itu.

post-cover
Eks Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman, memberikan keterangan terkait hasil putusan Majelis Kehormatan MK di Gedung MK, Jakarta, Rabu (8/11/2023). (Foto: Inilah.com/Agus Priatna)

Hasil MKMK menjawab soal tuduhan itu. “Hakim terlapor (Anwar Usman) terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku Hakim Konstitusi,” ujar Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie dalam amar putusan MKMK yang dibacakan saat sidang di Gedung MK, Jakarta, Selasa (7/11) malam.

Pada amar putusannya, sikap Anwar Usman yang tidak mengundurkan diri dari proses pemeriksaan dan pengambilan Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 terbukti melanggar Sapta Karsa Hutama, Prinsip Ketakberpihakan dan Integritas.

Anwar sebagai Ketua MK ketika itu juga dianggap tidak menjalankan fungsi kepemimpinan (judicial leadership) secara optimal, sehingga melanggar Sapta Karsa Hutama, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan.

Selanjutnya, Anwar terbukti dengan sengaja membuka ruang intervensi pihak luar dalam proses pengambilan Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, sehingga melanggar Sapta Karsa Hutama, Prinsip Independensi, Penerapan angka 1, 2, dan 3.

Lebih lanjut Jimly menyampaikan ceramah Anwar mengenai kepemimpinan usia muda di Universitas Islam Sultan Agung Semarang berkaitan erat dengan substansi perkara menyangkut syarat usia Capres dan Cawapres.

“Sehingga terbukti melanggar Sapta Karsa Hutama, Prinsip Ketakberpihakan, Penerapan angka 4,” kata Jimly.

Sejatinya, pada putusan itu bukan cuma Anwar Usman yang dianggap bersalah, namun juga ke-delapan hakim konstitusi lain, khususnya soal tidak dapat menjaga keterangan atau informasi rahasia dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang bersifat tertutup. Sembilan hakim MK kompak melanggar Prinsip Kepantasan dan Kesopanan, Penerapan angka 9.

Sembilan hakim MK ini pun awal tahun ini sempat pula dilaporkan ke Polda Metro Jaya atas tuduhan pemalsuan surat dalam substansi putusan perkara nomor: 103/PUU-XX/2022 soal uji materi undang-undang yang membahas pencopotan Hakim konstitusi Aswanto.  

Aswanto merupakan hakim MK yang diajukan DPR. Aswanto dicopot lewat hasil rapat paripurna DPR. Musababnya, karena kerap menganulir UU buatan DPR. 

post-cover
Mantan Ketua MK, Anwar Usman (tengah) bersama Ketua MK Suhartoyo (kedua kiri), Hakim MK Saldi Isra (kiri), Wahiduddin Adams (dua kanan) dan Manahan M.P. Sitompul (kanan) berfoto bersama usai memberikan keterangan pers di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (9/11/2023). (Foto: Inilah.com/Agus Priatna)

Sembilan hakim plus satu panitera yang dilaporkan itu yakni;

1. Anwar Usman (Hakim Konstitusi)

2. Arief Hidayat (Hakim Konstitusi)

3. Wahiduddin Adams (Hakim Konstitusi)

4. Suhartoyo (Hakim Konstitusi)

5. Manahan MP Sitompul (Hakim Konstitusi)

6. Saldi Isra (Hakim Konstitusi)

7. Enny Nurbaningsih (Hakim Konstitusi)

8. Daniel Yusmic Pancastaki Foekh (Hakim Konstitusi)

9. M. Guntur Hamzah (Hakim Konstitusi)

10. Muhidin (Panitera Perkara No 103/PUU-XX/2022)

11. Nurlidya Stephanny Hikmah (Panitera Pengganti Perkara No 103/PUU-XX/2022).

Pada 22 maret 2023 perkara itu dilimpahkan Polda Metro ke Bareskrim. Terhitung mulai saat itu, tak jelas bagaimana perkara itu kini.

Berkaca pada hal tersebut, Anwar Usman memang bukan satu-satunya hakim konstitusi yang bermasalah. Sejak berdiri lewat UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003, sejumlah perkara yang melibatkan Hakim MK sempat mendera.

Kasus Akil Mochtar

Seperti pada 2013, Ketua MK Akil Mochtar terkena operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, menjatuhkan pidana penjara selama seumur hidup karena dianggap terbukti telah menerima suap pengurusan 10 sengketa pemilihan kepala daerah. 

Dalam amar putusannya, Akil terbukti menerima suap terkait penanganan sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas (Rp 3 miliar), Kalimantan Tengah (Rp 3 miliar), Pilkada Lebak di Banten (Rp 1 miliar), Pilkada Empat Lawang (Rp 10 miliar dan 500.000 dollar AS), dan Pilkada Kota Palembang (sekitar Rp 3 miliar). 

Hakim juga menyatakan bahwa Akil terbukti menerima suap terkait sengketa Pilkada Kabupaten Buton (Rp 1 miliar), Kabupaten Pulau Morotai (Rp 2,989 miliar), Kabupaten Tapanuli Tengah (Rp 1,8 miliar), dan menerima janji pemberian terkait keberatan hasil Pilkada Provinsi Jawa Timur (Rp 10 miliar). 

Selain itu, Akil juga terbukti menerima Rp 125 juta dari Wakil Gubernur Papua periode tahun 2006-2011, Alex Hesegem. Pemberian uang itu terkait sengketa Pilkada Kabupaten Merauke, Kabupaten Asmat, Kabupaten Boven Digoel, Kota Jayapura, dan Kabupaten Nduga. 

Kasus Patrialis Akbar

Selain Akil, ada juga hakim konstitusi Patrialis Akbar, yang juga kena OTT KPK. Mantan Menteri Hukum dan HAM itu ditangkap karena suap pengurusan kuota impor daging sapi. Awalnya Patrialis Akbar dihukum 8 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta. Tapi hukumannya disunat setahun menjadi 7 tahun oleh MA.

post-cover
Dua mantan Hakim MK Patrialis Akbar (Kiri) dan Akil Mohctar (kanan). Keduanya terjerat OTT KPK dan kini mendekam di penjara. (Foto:Antara)

“Menjatuhkan pidana kepada Pemohon PK/Terpidana dengan pidana penjara selama 7 tahun dan pidana denda sebesar Rp 300 juta subsider pidana kurungan selama 3 bulan,” kata Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro dalam keterangan tertulis, Jumat (30/8/2019).

Pada pertimbangannya, majelis hakim PK menilai Patrialis terbukti menerima uang sejumlah 10.000 dollar AS dari seorang pengusaha bernama Basuki Hariman. 

Uang tersebut diberikan agar Patrialis membantu memenangkan putusan perkara Nomor 129/PUU-XIII/2015 terkait uji materi atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Selain itu, Patrialis bersama orang dekatnya bernama Kamaluddin juga terbukti menerima uang sebesar Rp4.043.195 untuk bermain golf.

Perkara Arsyad Sanusi

Bukan cuma Akil dan Patrialis saja, di zaman Ketua MK Mahfud Md, skandal pemalsuan juga muncul. Pemalsuan surat itu terkait sengketa pemilihan anggota DPR Andi Nurpati. Gara-gara skandal itu, hakim MK Arsyad Sanusi buru-buru mengundurkan diri. Kasus itu hanya menyeret pegawai honorer MK, Masyhuri Hasan, dan dihukum 1 tahun penjara.

Perkara ini bermula saat digelar pileg 2009. Saat itu MK mengadili perselisihan hasil suara Dewie Yasin Limpo. Dalam perkara ini, Dewie dituduh main mata dengan hakim konstitusi Arsyad Sanusi. 

Dalam perjalanannya, muncul surat palsu MK nomor 112 tertanggal 14 Agustus 2009 soal jawaban MK terkait perolehan suara untuk Caleg Dapil I Sulawesi Selatan. Surat itu dipalsukan sehingga menambah perolehan suara bagi Dewie Yasin Limpo, caleg partai Hanura. Belakangan, surat itu dianulir MK.

Selain itu, Arsyad terjerat kasus etik pada tahun 2011. Majelis Kehormatan Hakim Mahkamah Konstitusi menilai Arsyad bersalah melanggar kode etik karena membiarkan anggota keluarganya berhubungan dengan pihak berperkara.

post-cover
Mantan Hakim MK Arsyad Sanusi. (Foto:Dok Inilah.com)

Kasus itu bermula dari pengakuan Dirwan Mahmud, calon bupati Bengkulu Selatan yang didiskualifikasi MK. Ia mengaku diperas oleh Neshawaty Arsyad (anak hakim Arsyad) dan Zaimar (adik ipar Arsyad). Dirwan mengaku pernah menyambangi apartemen Arsyad untuk bertemu Nesha, kemudian menggelar beberapa pertemuan untuk membicarakan kemungkinan memenangi perkaranya di MK.

Pertemuan itu diduga membahas soal pemenangan gugatan Dirwan. Meski tidak terbukti terlibat secara langsung, namun Arsyad tetap dinilai bertanggung jawab. Ia pun kemudian dijatuhi hukuman berupa teguran tertulis.

Konflik Kepentingan Terjadi di Era Mahfud dan Jimly

Kembali ke soal Anwar Usman, saat jumpa pers 8 November 2023, ia secara terang-terangan menyebut bahwa konflik kepentingan dalam memutus perkara di MK juga sempat terjadi di era Mahfud MD, Jimly Asshiddiqie, Hamdan Zoelva, hingga Arief Hidayat.

Anwar membeberkan sejumlah putusan beraroma konflik kepentingan pada era Jimly yakni Putusan Nomor 004/PUU-I/2003, Putusan 066/PUU-II/2004, dan Putusan Nomor 5/PUU- IV/2006 yang membatalkan Pengawasan KY Terhadap Hakim Konstitusi.

Kemudian pada putusan Nomor 48/PUU-IX/2011, Putusan Nomor 49/PUU- IX/2011 di era Mahfud MD.

Selanjutnya Putusan Nomor 97/PUU- XI/2013, Putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2014 yang membatalkan Perppu MK di era Kepemimpinan Hamdan Zoelva, dan putusan Perkara 53/PUU- XIV/2016, Putusan Nomor 53/PUU-XIV/2016 di era kepemimpinan Arief Hidayat.

“Jadi sejak zaman Prof Jimly, mulai tahun 2003 sudah ada pengertian dan penjelasan mengenai conflict of interest. Ternyata mulai dari tahun 2003 di era kepemimpinan Pak Jimly sudah ada, dan itu ada beberapa keputusan,” kata Anwar di Gedung MK, Rabu (8/11).

(Nebby/Clara/Rizki)

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button