Hangout

P2G Khawatir RUU Sisdiknas Jadi RUU Roro Jonggrang

Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menilai masuknya RUU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas perubahan 2022 ke Baleg DPR RI bukan merupakan solusi nyata dalam persoalan pendidikan dan Guru.

Dewan Pakar P2G Rakhmat Hidayat menyebutkan sedikitnya ada enam catatan kritis untuk merekomendasi P2G. Karena menurutnya RUU Sisdiknas masih jauh dari partisipatif dan belum menyerap aspirasi publik.

Mungkin anda suka

“Uji publik oleh Kemdikbudristek terkesan pelengkap syarat formal saja. Kami pun belum mendapatkan penjelasan atau jawaban dari Kemdikbudristek atas pendapat yang telah kami berikan,” katanya.

Adapun enam catatan rekomendasi P2G di antaranya:

Pertama, P2G menilai RUU Sisdiknas masih minim dalam melibatkan stakeholders pendidikan. Uji publik yang pernah dilakukan Februari 2022 lalu terkesan formalitas saja, sebab organisasi yang diundang hanya diberi waktu 5 menit menyampaikan komentar dan masukan. Aspek partisipasi publik masih rendah.

Ia menilai Kemdikbudristek mestinya memahami Keputusan Mahkamah Konstitusi Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020, dalam putusannya menekankan bahwa partisipasi publik yang dilakukan dalam pembentukan undang-undang adalah partisipasi yang bermakna (meaningful participation).

Partisipasi yang bermakna memiliki tiga prasyarat. Pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard). Kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered). Ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang telah diberikan (right to be explained).

Berharap kepada Kemdikbudristek dan Baleg DPR RI agar memenuhi “Asas Keterbukaan” yaitu dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka.

“Mas Nadiem (Mendikbud) perlu merenungkan kembali, bahwa pendidikan adalah milik kita semua. Kita sebagai warga negara berkepentingan terhadap pendidikan berkualitas dengan akses yang terbuka dan murah. Gotong-rotong dalam pendidikan mestinya tercermin dalam pembahasan RUU Sisdiknas,” jelasnya.

Kedua, P2G menilai RUU Sisdiknas bersifat Omnibus Law. RUU Sisdiknas akan menggantikan 3 UU sekaligus yaitu: UU Guru dan Dosen, UU Sisdiknas, dan UU Pendidikan Tinggi.

Menanggapi hal ini, Koordinator Nasional P2G Satriwan Salim menjelaskan dalam konsideran RUU Sisdiknas poin menimbang huruf c dan d, dijelaskan bahwa, pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional.

“Jika Kemdikbudristek ingin membentuk satu sistem pendidikan nasional, kenapa hanya memasukkan 3 UU pendidikan saja dalam RUU Sisdiknas, padahal masih banyak lagi UU pendidikan seperti UU Pesantren, UU Pendidikan Kedokteran. Apakah Pesantren bukan bagian dari satu sistem pendidikan nasional? Ini namanya omnibus law setengah hati,” tanyanya.

Ketiga, P2G khawatir pembahasan RUU Sisdiknas ini akan bernasib sama dengan UU IKN dan UU Ciptakerja. Pemerintah dan DPR terbukti mengebut pembahasan sampai pengesahannya.

“Kami khawatir, pembahasan RUU Sisdiknas dipaksakan, pembahasannya dikebut untuk cepat disahkan. RUU Sisdiknas akan menjadi RUU Roro Jongrang istilahnya, sistem kebut semalam langsung jadi, begitu kira-kira analoginya,” jelasnya.

P2G berharap kepada pemerintah dan DPR jangan terburu-buru membahas RUU ini. Padahal UU ini akan menentukan kualitas sumber daya manusia Indonesia serta masa depan bangsa dan negara.

Keempat, sebelum membuat RUU Sisdiknas, Kemdikbudristek hendaknya membuat terlebih dulu Peta Jalan Pendidikan Nasional (PJPN) sebagai gambaran rancangan besar pendidikan yang direncanakan.

Seperti yang dijelaskan Kepala Bidang Advokasi P2G Iman Zanatul Haeri. “Jika ada PJPN sebagai disain besar bagaimana pendidikan Indonesia dibuat, kita sudah punya pemetaan, darimana kita berangkat, kemana tujuan kita, apa saja kendala dalam menempuh tujuan, dan melalui jalan mana tujuan dapat dicapai,” katanya.

Kelima, masih banyak persoalan pendidikan dan guru yang mestinya segera dibenahi Kemdibudristek ketimbang membuat UU Omnibus. Pemulihan pembelajaran pasca pandemi masih menjadi PR besar, bahkan Learning loss sudah terjadi kini.

Hasil Asesmen Kompetensi Minimum (2021) menunjukkan 50 persen siswa Indonesia belum mencapai kompetensi minimum dalam literasi. 2 dari 3 siswa belum mencapai kompetensi minimum dalam numerasi. Bahkan berdasarkan survei Bank Dunia (2020) pengetahuan guru dalam bahasa Indonesia dan matematika hasilnya rendah, sedangkan untuk pedagogi hasilnya sangat rendah. Hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) juga masih konsisten di bawah angka 60.

Keenam, Iman melanjutkan, RUU Sisdiknas belum memberi solusi kongkrit terhadap persoalan guru honorer, guru swasta, dan guru PPPK (pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja). Indonesia tengah menghadapi darurat kekurangan guru Aparatur Sipil Negara (ASN) secara nasional, hingga 2024 kita membutuhkan 1,3 juta guru ASN di sekolah negeri.

“Selama ini jalannya proses pembelajaran di sekolah sebenarnya sangat ditopang oleh para guru honorer yang diupah ala kadarnya, bahkan tidak manusiawi. Para guru honorer ini pun berlomba-lomba ikut seleksi Guru PPPK.

Namun rekrutmen Guru PPPK sejak 2021 banyak masalah, Pemerintah pun baru mampu menyerap 293 ribu guru PPPK,” tambah Iman.

P2G juga sangat menyayangkan, keberadaan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) sebagai kampus pencetak tenaga guru dan tenaga kependidikan hilang dari RUU Sisdiknas. Padahal keberadaan LPTK dimuat dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang masih berlaku.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button