Kanal

Pemilu 2024 di Tengah Longsornya Keadilan dan Sikap Jujur

Koordinator penyelenggara, Muhammad Asri Anas,  ogah mengakui pertemuan tersebut sebagai deklarasi dukungan kepada Prabowo-Gibran. Ia sendiri sadar, ada regulasi yang membatasi perangkat desa. “Misalnya ada UU Nomor 6 (tahun 2014) yang menyebut kami tidak bisa menyebut deklarasi,”kata Asri Anas. Namun ia juga tak membantah soal adanya dukungan. “Ya (dukungan tersirat). Kira-kira seperti itulah.”

Entah karena terlalu asyik, atau sebaliknya begitu kerepotan mengurus persoalan hidup sendiri, kebanyakan dari warga Indonesia sepertinya lupa bahwa Pemilu 2024 yang tengah berproses ini diawali sekian banyak hal ganjil dan aneh. Setidaknya tidak lazim, alias “mahiwal” dalam bahasa ‘urang Sunda’.  

Kontestasi tentu memerlukan wasit yang jujur, adil dan tidak berpihak pada siapa pun peserta kompetisi. Dengan begitu, pada saat krusial dan dibutuhkan, wasit akan punya marwah sebagai penengah. Tetapi lihatlah, pemerintah yang seharusnya menjadi wasit yang adil, tampaknya integritasnya telah banyak diragukan masyarakat.

Dimulai dari pernyataan ganjil bin sableng yang tiba-tiba saja datang dari Presiden Joko Widodo di Istana Keprsidenan, Senin, 29 Mei 2023. Pada sebuah pertemuan dengan para pimpinan media nasional dan sejumlah podcaster itu Jokowi mengakui bahwa dirinya cawe-cawe dalam urusan Pemilu 2024. 

Jokowi mendaku sikap tersebut diambilnya demi kepentingan bangsa dan negara. Frasa itu sendiri, kita tahu, telah menjadi ‘garing’ dan klise karena kebanyakan dipakai para politisi, sementara realitas yang dilihat rakyat kebanyakan berlawanan diametral dengan “kepentingan bangsa dan negara” itu. Lho, wasit kok cawe-cawe?

Belum lagi guliran waktu menyodorkan fakta Gibran Rakabuming, salah satu calon wakil presiden dari kubu Koalisi Indonesia Maju (KIM), adalah putra Presiden Jokowi. Wajar bila menurut mantan Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Hamid Awaludin, dalam sebuah artikelnya baru-baru ini, banyak orang meragukan kejujuran pelaksanaan Pemilu 2024. 

“Calon wakil presiden tersebut adalah putra dari presiden yang tengah memegang kendali kekuasaan. Maka, persangkaan dan pat gulipat pun berkecambah secara liar,” tulis Hamid. 

Dari situlah, hulu sikap pesimisme dan purbasangka mengenai ketidakjujuran dan ketidakadilan Pemilu berawal.

post-cover
Cawapres nomor urut 2, Gibran Rakabuming di kantor KPU, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu. (Foto: Antara).

Belum lagi manakala penegasan Presiden tentang apa yang ia maksud sebagai ‘cawe-cawe untuk kepentingan bangsa dan negara’ itu bertabrakan dengan realitas yang terjadi kemudian.  Misalnya, berubah total dari sebelumnya, melalui Peraturan Mendagri No 4 Tahun 2023, terjadi perubahan mekanisme pengangkatan penjabat bupati/wali kota. 

Akibatnya, di antara lebih seratus penjabat bupati dan wali kota saat ini, kebanyakan didrop dari Jakarta, yakni eselon II dari Kemendagri dan beberapa instansi pemerintah lainnya. “Padahal semua tahu, penjabat bupati/wali kota itu adalah instrumen penting untuk melakukan mobilisasi: memilih atau memboikot seseorang,”kembali, itu kutipan dari tulisan Hamid Awaludin.

Yang lain lagi tak pelak soal keputusan Mahkamah Konstitusi soal batas usia capres-cawapres yang kontroversial itu. Hamid menyebutnya “drama amoral dan inkonstitusional yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK)”. 

Sementara karena prosesnya yang terkesan tricky itu, Majalah TEMPO dalam editorial edisi 13-19 November 2023 menyatakan,”Prabowo-Gibran, dengan demikian, menjadi kandidat paling buruk dalam sejarah Indonesia modern: produk gagal reformasi bersanding dengan anak haram konstitusi.” Majalah itu termasuk mereka yang berada di garda depan dalam menolak Gibran dengan mengatakan Gibran tak berhak mengikuti kontestasi Pemilu 2024 karena masuk gelanggang dengan aturan main yang telah diakali bapak dan pamannya.”

Jangan bosan kalau masih ada contoh telanjang lain dalam soal ini. Meski gagal, Hamid menunjuk momen para kepala desa yang dimobilisasi datang ke Jakarta untuk melakukan deklarasi kebulatan tekad mendukung Presiden Jokowi menjadi presiden untuk kali ketiga, beberapa waktu lalu, sebagai contoh. 

Hal yang sama kita lihat kembali terjadi. Bukan buat Jokowi, tentu. Tidak juga lantang terdengar buat Prabowo-Gibran, saat Gibran hadir pada Acara Silaturahmi Nasional Desa 2023 yang digelar Minggu (19/11/2023) lalu.

Acara yang  diduga mengandung unsur pelanggaran itu kini tengah diusut Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Koordinator Aliansi Masyarakat Peduli Pemilu Jurdil, Sierra Prayuna, yang mendampingi pelapor masalah tersebut, mengatakan bahwa temuan menunjukkan pertemuan tersebut diduga merupakan bagian untuk mengarahkan dukungan dari perangkat desa kepada pasangan capres dan cawapres tertentu. 

Padahal, perangkat desa termasuk pihak yang harus netral dan dilarang memobilisasi dukungan ke peserta pemilu, baik sebelum, selama, maupun sesudah masa kampanye.

post-cover
Acara Desa Bersatu, di GBK Jakarta Pusat, Minggu (19/11/2023) disinyalir memberikan dukungan pada salah satu paslon. (Foto: arsip Inilah.com).

Bawaslu sendiri mengakui tengah menelusuri dugaan pelanggaran tersebut. “Ini lagi ditelusuri, Teman-teman,”kata Ketua Bawaslu, Rahmat Bagja, saat ditanya wartawan, Sabtu (25/11/2023) lalu. 

“Kami lagi mendorong teman-teman (maksud dia internal Bawaslu) untuk melakukan penelusuran dengan cepat, sebelum masa kampanye berlangsung.” Rahmat menjelaskan, soal tersebut sebenarnya jelas diatur, bahkan pula di Undang-undang Desa.

“Di UU Desa jelas, ada larangannya. Bukan hanya kampanyenya, tapi melakukan tindakan yang diindikasikan akan merugikan atau menguntungkan kepada peserta pemilu. Jadi, mungkin tidak di UU Pemilu , tapi ‘kena’ di Undang-undang Pemerintahan Desa,” kata Rahmat.

Koordinator penyelenggara acara kumpul-kumpul tersebut, Muhammad Asri Anas,  ogah mengakui pertemuan tersebut sebagai deklarasi dukungan kepada Prabowo-Gibran. Ia sendiri sadar, ada regulasi yang membatasi perangkat desa. 

“Ada batasannya. Misalnya ada UU Nomor 6 (tahun 2014—red), yang menyebut kami tidak bisa menyebut deklarasi,” kata Asri Anas. Namun ia juga tak membantah soal adanya dukungan. “Ya (dukungan tersirat). Kira-kira seperti itulah.”

Oh ya, pembaca, kalau belum jenuh dengan segala kedegilan itu, bolehlah kami contohkan potensi lain yang bisa merangsang orang untuk berbuat curang. Bantuan Langsung Tunai (BLT). Hanya dua bulan menjelang Pemilu, Senin (6/11/2023) lalu Jokowi memutuskan memperpanjang penyaluran bantuan sosial (bansos) beras hingga Juni 2024. Kepastian akan hal tersebut ditegaskan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan, usai rapat hari itu juga. 

“Tadi sudah diputuskan, harusnya bantuan sosial beras itu sampai September, Oktober, November, diperpanjang sampai Desember. Kemudian Januari, Februari, lanjut sampai kuartal II/2024, yaitu Maret, April, Mei, Juni,” kata Zulhas. Tidak hanya itu, konon akan ada pula bantuan pemberian penanak beras (rice cooker) kepada warga.  

Besar juga biaya dan cakupan warga yang kelimpahan BLT tersebut. Untuk BLT beras, tercatat ada 21,3 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang akan menerima 10 kg beras per bulan itu. Sampai Desember, biayanya tak kurang dari Rp7,9 triliun. Sementara untuk BLT dana tunai, ada 18,8 juta KPM yang akan menerima dana Rp200 ribu per bulan pada November dan Desember. Besarnya, kalikan sajalah.

Sementara, urusan BLT dan Pemilu itu sudah lama dikritik pengamat dan aktivis Rocky Gerung. Yang mutakhir, hal itu kembali diangkat Rcky dalam sebuah acara yang didokumentasikan melalui jaringan media sosial YouTube, 1 Agustus 2023. 

Dalam video yang juga diangkat akun YouTube Tribun-video.com itu Rocky menyebut  Bantuan Langsung Tunai (BLT) tersebut menghina rakyat Indonesia. “Karena setiap ada Pemilu, BLT ditambah, supaya rakyat diam,” kata Rocky. Dalam video itu pula, Rocky mengajak masyarakat untuk membongkar apa yang disebutnya ‘kemaksiatan politik’.

post-cover
Ilustrasi BLT. (Foto: Antara).

Bantuan sosial, seperti BLT itu misalnya, sudah lama dicurigai menjadi alat kecurangan politik. Biasanya, karena terkait pemerintah, partai atau pasangan yang disokong pemerintahlah yang dicurigai main-main dengan uang yang sejatinya sudah jadi hak rakyat itu, apa pun pilihan politik mereka.  Menurut Lembaga Penyelidikan Masyarakat dan Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), menjelang Pemilu belanja bantuan sosial biasanya meningkat. Ini terlihat misalnya pada 2004, 2009, 2014, dan 2019. Karena meningkat menjelang Pemilu, aroma ‘menyuap’ rakyat demi meraup suara di “Pesta Demokrasi” pun tercium sangit.

“Perilaku oportunistik para pemimpin dapat menyebabkan kebijakan fiskal yang ekspansif pada tahun Pemilu, terutama bagi pemimpin petahana. Selama periode ini, pemerintah diduga mengeluarkan lebih banyak dana untuk proyek-proyek yang mempunyai visibilitas tinggi dan meningkatkan belanja diskresi untuk meyakinkan para pemilih bahwa mereka melakukan pekerjaan dengan baik dan menjamin terpilih kembali,” tulis riset LPEM FEB UI tersebut.

Selama Pemilu tahun 2004 dan 2009 pun, kata LPEM, belanja subsidi terhadap PDB lebih tinggi pada tahun Pemilu, dibandingkan dengan tahun sebelum dan sesudahnya. “Motivasi politik para pemimpin untuk memenangkan pemilu atau bertindak demi kepentingan pemilih dapat menjadi alasan atas tren ini.”

Serenceng fenomena itulah, tampaknya, yang membuat banyak kalangan warga terdidik gelisah. Sebagian tokoh bangsa tergerak menyuarakannya. Misalnya melalui Maklumat Juanda yang ditandatangani 200-an orang tokoh, 16 Oktober lalu. 

Yang mutakhir, pada Minggu (12/11/2023) lalu, para tokoh bangsa yang berkumpul dalam Majelis Permusyawaratan Rembang (MPR), menyuarakan pernyataan agar pesta demokrasi mendatang bebas dari perilaku dan jalan kotor hanya demi memuaskan hasrat kekuasaan.

MPR juga menyatakan mereka prihatin atas longsornya nilai-nilai dan etika yang terjadi di lingkaran elite, hanya demi mengamankan kepentingan untuk berkuasa. Di antara para tokoh yang terdiri dari aktivis antikorupsi, budayawan, wartawan senior, hingga tokoh lintas agama tersebut, selain tuan rumah KH Ahmad Mustofa Bisri, juga tergabung  Goenawan Mohamad, Lukman Hakim Saifuddin, Antonius Benny Susetyo, Omi Komaria Madjid, Sulistyowati Irianto, dan Erry Riyana.

Dalam konferensi pers, Goenawan Mohamad mengaku cemas dengan dinamika politik menjelang Pemilu 2024. Wartawan cum budayawan itu mengaku menyaksikan aturan bersama yang dulu dihormati, mulai dibongkar-bongkar. “Semua sekarang bisa dibeli, kesetiaan bisa dibeli, suara bisa dibeli, kedudukan bisa dibeli. Kalau sebuah masyarakat kehilangan saling percaya, ya selesai,” ujar Goenawan. 

Ia menambahkan, banyak kebohongan yang diucapkan penguasa menjelang Pemilu 2024. Yang paling membuatnya sedih, kata dia, nilai ikhlas dalam berpolitik sudah mengalami erosi berat. “Belum lagi nanti, saya dengar pemaksaan penutupan saluran suara dan sebagainya. Kalau itu terjadi, Pilpres yang akan datang bisa tegang,” kata dia.

Sementara Omi Komaria Madjid, istri mendiang Nurcholish Madjid, mengaminkan keresahan Goenawan. Ia juga melihat bahwa saat ini praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) kembali merajalela. KKN, kata Omi, justru semakin menggurita dalam penyelenggaraan negara saat ini. Sudah terjadi penyelewengan yang dilakukan tanpa rasa malu. 

“Nepotisme kekuasaan, Anda lihat sendiri, dipertontonkan secara terbuka tanpa rasa malu dan salah sama sekali,” kata Omi.

Bagi Romo Antonius Benny Susetyo, krisis kepemimpinan yang terjadi saat ini banyak disebabkan moralitas publik dan etika politik yang tidak lagi dikedepankan para elite. Politik saat ini, kata Romo Benny, telah kehilangan keadaban.

“Ketika keserakahan dan ketamakan menjadi ideologi kita, di situlah karakter kebudayaan tidak lagi dijadikan cara berpikir dan bertindak,”kata dia.

Tampaknya memang ada yang dilupakan banyak orang di saat berkuasa. Padahal, ribuan tahun lalu para nab dan kaum bijak telah mewanti-wanti. “Jika Engkau tak malu,”sabda Nabi Muhammad SAW dalam kitab kumpulan hadits ”Kanz Al Ummal”,  ”Lakukan apa pun sekehendak hatimu.”   

Dalam kitab “Wasiyatul Mustofa” yang ditulis Imam Asy Syarani, Rasulullah juga pernah mengingatkan Ali bin Abi Thalib agar selalu jujur dalam hidup, meski dengan kejujuran itu membawa risiko bahaya. “Wahai Ali jujurlah Engkau, walaupun karena kejujuran itu membahayakan dirimu di dunia, sesungguhnya jujur itu bermanfaat untukmu di akhirat….”

Soal rakus, bahkan orang Yunani kuno yang terkenal kemaruk pun punya nasihat untuk diri mereka. “Gula plures interemit quam gladius. Rakus itu menghancurkan lebih lahap dari sebatang pedang.” [dsy/diana rizky oktaviani/clara ana scholastika/vonita betalia/ reyhaanah asyaroniyyah]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button