Hangout

Pertemuan Dua Wali Sufi, Abu Yazid Al-Busthami dan Yahya bin Mu’adz, di Sorga

Abu Yazid berkata,“Dua belas tahun lamanya aku menjadi pandai besi diriku sendiri. Kulemparkan diriku sendiri ke dalam tungku disiplin sampai merah membara dan dalam nyala ikhtiar yang keras. Kemudian kutaruh diriku ke atas alas penyesalan. Lalu kupukul dengan martil pengutukan diri sendiri, sehingga akhirnya dapatlah kutempa sebuah cermin diriku sendiri,  dan cermin itu senantiasa kupoles dengan segala macam kebaktian dan kepatuhan kepada Allah.”

Setelah Abu Yazid Al-Busthami mengunjungi kota Madinah, datang sebuah perintah yang menyuruhnya pulang untuk merawat ibunya. Ditemani serombongan orang, ia pun berangkat kembali ke Bustham.

Berita kedatangan Abu Yazid segera tersebar di kota Bustham dan para penduduk kota datang untuk menyongsongnya. Pasti Abu Yazid akan sibuk melayani mereka dan membuatnya terhalang untuk menyegerakan perintah Allah itu. Karena itu ketika penduduk kota telah hampir sampai, dari lengan bajunya ia mengeluarkan sepotong roti, sedang saat itu adalah bulan Ramadhan, tetapi dengan tenang Abu Yazid memakan roti tersebut. Begitu penduduk Bustham menyaksikan perbuatan Abu Yazid, mereka lalu berpaling darinya.

“Tidakkah kalian saksikan,” kata Abu Yazid kepada sahabat-sahabatnya, “Betapa aku mematuhi sebuah perintah dari hukum suci, tapi semua orang berpaling dariku.”

Dengan sabar Abu Yazid menunggu sampai malam tiba. Tengah malam barulah ia memasuki kota Bustham. Ketika sampai di depan rumah ibunya, untuk beberapa lama ia berdiri mendengarkan ibunya yang sedang bersuci lalu shalat.

“Ya Allah, peliharalah dia yang terbuang,”terdengar ibunya berdoa. “Cenderungkanlah hati para syeikh kepada dirinya dan berikanlah petunjuk kepadanya untuk melakukan hal-hal yang baik.”

Mendengar doa ibunya itu Abu Yazid menangis. Kemudian ia mengetuk pintu.

“Siapakah itu?” tanya ibunya dari dalam.

“Anakmu yang terbuang,” sahut Abu Yazid.

Dengan menangis si ibu membukakan pintu. Ternyata penglihatan ibunya sudah kabur.

“Thaifur,” si ibu berkata kepada puteranya. “Tahukah engkau mengapa mataku menjadi kabur seperti ini? Karena aku telah sedemikian banyaknya meneteskan air mata sejak berpisah denganmu. Dan punggungku telah bongkok karena beban duka yang kutanggungkan itu.”

**

Yahya bin Mu’adz menulis surat kepada Abu Yazid Al-Busthami,“Apa menurutmu mengenai seseorang yang biasa mereguk secawan arak dan mabuk tiada henti-hentinya?”

“Aku tidak tahu,” jawab Abu Yazid. “Yang kuketahui hanyalah bahwa di sini ada seseorang yang sehari semalam telah mereguk samudera luas yang tiada bertepi, namun masih merasa haus dan dahaga.”

Yahya bin Mu’adz menyurati lagi, “Ada sebuah rahasia yang hendak kukatakan kepadamu tetapi tempat pertemuan kita adalah di dalam surga. Di sana, di bawah naungan pohon Tuba akan kukatakan rahasia itu kepadamu.”

Bersamaan surat itu dia kirimkan sepotong roti dengan pesan,” Anda harus memakan roti ini karena aku telah membuatnya dari air zamzam.”

Di dalam jawabannya, Abu Yazid berkata mengenai rahasia yang hendak disampaikan Yahya bin Mu’adz itu. “Mengenai tempat pertemuan yang engkau katakan, dengan hanya mengingat-Nya, pada saat ini juga aku dapat menikmati surga dan pohon Tuba. Tetapi roti yang engkau kirimkan itu tidak dapat kunikmati. Engkau memang mengatakan air apa yang telah engkau pergunakan, tetapi engkau tidak mengatakan bibit gandum apa yang telah engkau taburkan.”

Karena Yahya bin Mu’adz ingin sekali mengunjungi Abu Yazid, ia datang pada waktu shalat ‘Isa. Yahya bin Mu’adz berkisah sebagai berikut :

“Aku tidak mau mengganggu Syeikh Abu Yazid. Tetapi aku pun tidak dapat bersabar hingga pagi. Maka pergilah aku ke suatu tempat di padang pasir di mana aku dapat menemuinya pada saat itu seperti yang dikatakan orang-orang kepadaku. Sesampainya di tempat itu terlihat olehku Abu Yazid sedang shalat Isa.”

“Kemudian ia berdiri di atas jari-jari kakinya sampai keesokan harinya. Aku tegak terpana menyaksikan hal ini. Sepanjang malam kudengar Abu Yazid berdoa. Ketika fajar tiba, kudengar Abu Yazid berkata di dalam doanya : “Aku berlindung kepadamu dari segala hasratku untuk menerima kehormatan-kehormatan ini.”

Setelah sadar , Yahya mengucapkan salam kepada Abu Yazid dan bertanya apakah yang telah dialaminya pada malam tadi. Abu Yazid menjawab,“Lebih dari dua puluh kehormatan telah ditawarkan kepadaku. Tetapi tak satu pun yang kuinginkan karena semuanya adalah kehormatan-kehormatan yang membutakan mata.”

“Guru mengapakah engkau tidak meminta pengetahuan mistik, karena bukankah Dia Raja di Antara Sekalian Raja dan pernah berkata,”Mintalah kepada-Ku segala sesuatu yang engkau kehendaki?”

“Diamlah,” Abu Yazid menyela. “Aku cemburu kepada diriku sendiri yang telah mengenal-Nya, karena aku ingin tiada sesuatu pun kecuali Dia yang mengenal diri-Nya. Mengenai pengetahuan-Nya, apakah peduliku? Sesungguhnya seperti itulah kehendak-Nya, Yahya. Hanya Dia, dan bukan siapa-siapa yang akan mengenal diri-Nya.”

“Demi keagungan Allah,”kata Yahya memohon,“Berikanlah kepadaku sebagian dari karunia-karunia yang telah ditawarkan kepadamu malam tadi.”

“Seandainya engkau memperoleh kemuliaan Adam, kesucian Jibril, kelapangan hati Ibrahim, kedambaan Musa kepada Allah, kekudusan Isa, dan kecintaan Muhammad SAW, niscaya engkau masih merasa belum puas. Engkau akan mengharapkan hal-hal lain yang melampaui segala sesuatu,”jawab Abu Yazid. “Tetaplah merenung Yang Maha Tinggi dan jangan rendahkan pandanganmu, karena apabila engkau merendahkan pandanganmu kepada sesuatu hal, maka hal itu yang akan membutakan matamu.”

**

Abu Yazid berkata,“Dua belas tahun lamanya aku menjadi pandai besi diriku sendiri. Kulemparkan diriku sendiri ke dalam tungku disiplin sampai merah membara dan dalam nyala ikhtiar yang keras. Kemudian kutaruh diriku ke atas alas penyesalan. Lalu kupukul dengan martil pengutukan diri sendiri, sehingga akhirnya dapatlah kutempa sebuah cermin diriku sendiri,  dan cermin itu senantiasa kupoles dengan segala macam kebaktian dan kepatuhan kepada Allah.”

“Setelah itu setahun lamanya aku menatapi bayanganku sendiri di dalam cermin itu,  dan terlihatlah olehku betapa di pinggangku melilit sabuk kesesatan, kegenitan dan pemujaan diri sendiri yang hanya dimiliki oleh orang-orang kafir. Hal itu karena aku membanggakan kepatuhan-kepatuhanku dan memuji perbuatan-perbuatanku tersebut.”

“Lima tahun lamanya aku bersusah payah sehingga sabuk itu terlepas dari pinggangku, dan jadilah aku seorang Muslim yang baru. Aku memandang semua hamba Allah dan tampaklah olehku bahwa mereka semua mati. Empat kali kuucapkan “Allahu Akbar” di atas jasad-jasad mereka, dan setelah dengan pertolongan Allah aku menguburkan mereka tanpa menyeretnyeret tubuh mereka, berjumpalah aku dengan Allah.” [  ]

Sumber   :  “Tadzkiratul ‘Auliya” karya Fariduddin Aththar                  

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button