Kanal

Pesta Relawan Jokowi: Standar Ganda, Rambut Putih dan Kuasa yang Melenceng

Memang agak sulit memisahkan peran Jokowi sebagai Presiden, Jokowi sebagai Kepala Negara atau Jokowi sebagai pribadi. Ketiganya seperti melekat, menyatu atau inheren. Itu sebabnya kerap terlihat seperti tumpang tindih dan akan menyerempet apa yang disebut penyimpangan kuasa (abuse of power).

Oleh: Wiguna Taher

Usai sudah “pesta” gabungan relawan Presiden Jokowi yang dibalut dengan acara silaturahmi nasional bertema “Nusantara Bersatu” di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta, Sabtu (26/11/2022). Sebagai catatan saja, pesta 150 ribu relawan itu berakhir dengan meninggalkan 31 ton sampah.

Saya sebut “pesta” karena acara yang dihadiri Presiden Jokowi selaku tokoh sentral relawan itu, menyuguhkan penampilan sejumlah musisi, di antaranya Inul Daratista, Tipe-X, Ruth Sahanaya, Ndarboy Genk, Farel Prayoga, Nasida Ria, hingga Godbless. Ada unsur unjuk kekuatan (show of force) sekaligus hura hura.

Ini pula yang memunculkan suara minor dari berbagai kalangan, mengingat relawan Jokowi menggelar “pesta” di tengah duka Gempa Cianjur, Jawa Barat. Ribuan orang masih mengungsi dengan tenda seadanya, dan puluhan korban meninggal masih belum berhasil dievakuasi.

Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin menilai para relawan seolah menutup mata terhadap bencana gempa di Cianjur. Mereka seakan mati rasa dan nirempati.

“Ya itu lah, tidak ada urusan bagi mereka janggal tidak janggal. Karena itu mereka anggap politik ya jalan saja,” kata Ujang kepada Inilah.com, Sabtu (26/11/2022)

Memang pesta relawan katanya akan diisi dengan doa bersama dan penggalangan dana untuk korban gempa Cianjur, tetapi tetap saja itu dianggap sebagai gimmick dan memancing cibiran terutama dari kubu yang tak suka dengan adanya atraksi dan unjuk kekuatan politik di tengah bencana.

Standar Ganda

Dari pesta relawan itu, paling tidak ada tiga hal yang menarik perhatian publik. Pertama, tentang Gelora Bung Karno (GBK) yang dijadikan tempat pesta. Soal ini mencuat ke lini massa mengingat sebelumnya Menpora Zainudin Amali menyampaikan, GBK tak boleh digunakan untuk kegiatan apapun enam bulan sebelum Piala Dunia U-20 2023. Timnas Indonesia pun sampai dilarang tampil di GBK. Beberapa konser juga batal dihelat di GBK.

“Jadi semua stadiun yang sudah terdaftar di FIFA dan disetujui FIFA, November ini akan di renovasi. Yang sudah selesai (renovasi), stadionnya tidak diizinkan lagi untuk kegiatan kegiatan lain,” kata Zainudi Amali (2/11/2022) lalu.

Pada 10 November lalu, setelah pengelola GBK datang ke kantornya, Amali mengatakan GBK tak boleh digunakan untuk kegiatan apapun sebelum Piala Dunia. Jika tetap digunakan ia akan lepas tangan.

“Iya (tergantung FIFA untuk Piala AFF dan lainnya) Kalau ditanya ke saya, karena saya menjamin itu, maka tidak. Jika FIFA mengatakan oh, iya silakan, tetapi saya tidak menjamin lagi,” kata Amali.

Frasa soal GBK pun trending di twitter Sabtu (22/11/2022) pukul 11.45 WIB. Ini sebagai sindiran warganet atas penggunaan GBK untuk kegiatan politik atau selain olahraga.

“Katanya GBK gak boleh di pake sampe AFF sama Piala Dunia U-20 gimana nih,” ucap seorang netizen.

“Katanya GBK gak boleh dipake. Buat aturan sendiri, langgar sendiri. Sehat selalu warga Indonesia,” ucap warganet lainnya.

“Konon katanya, Stadion GBK tidak boleh digunakan untuk apapun hingga Piala Dunia U-20 2023,” ucap seorang netizen di Twitter.

Kapasitas Kehadiran Jokowi

Kedua, dalam kapasitas apa Jokowi hadir di pesta gabungan relawan itu? Sebagai presiden, sebagai kepala negara atau sebagai pribadi?

Supaya tak menimbulkan dugaan yang tidak tidak, ada baiknya kita lihat saja fakta selama kegiatan berlangsung.

Pantauan inilah.com menunjukkan, Jokowi yang tiba di Stadion GBK sekitar pukul 8.15 WIB dengan menggunakan mobil kepresidenan mercy berplat nomor RI 1 lengkap dengan pengawalan Paspamres. Dia mengenakan kemeja putih lengan panjang dengan PIN di dada kiri dan celana panjang berwarna hitam.

Kedatangan Jokowi disambut langsung Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono. Dia kemudian berjalan menuju panggung dengan didampingi Staf Khusus Presiden Aminuddin Ma’ruf selaku Ketua Panitia kegiatan Nusantara Bersatu dan Ketua Umum Kadin Indonesia Arsjad Rasjid selaku Ketua Steering Committee (SC) kegiatan Nusantara Bersatu.

Di luar stadion penjagaan ketat diterapkan oleh petugas gabungan TNI, Polri dan Paspampres. Relawan yang akan masuk ke GBK melalui beberapa tahap pengecekan. Barang bawaan relawan dicek. Pemantik api, parfum, hingga barang berbahaya lainnya diamankan.

Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Endra Zulpan menyebut, pihaknya mengerahkan 2.543 personel untuk mengamankan GBK.

Terlihat pula di lokasi Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran dan Pangdam Jaya Mayor Jenderal TNI Untung Budiharto. Singkat kata, kekuatan penuh dikerahkan untuk pengamanan kegiatan gabungan relawan Jokowi.

Fakta fakta ini setidaknya bisa menggambarkan, dalam kapasitas apa kehadiran Jokowi dalam kegiatan itu.

Memang agak sulit memisahkan peran Jokowi sebagai Presiden, Jokowi sebagai Kepala Negara atau Jokowi sebagai pribadi. Ketiganya seperti melekat, menyatu dan inheren. Itu sebabnya kerap terlihat seperti tumpang tindih dan akan menyerempet apa yang disebut penyimpangan kuasa (abuse of power).

Upaya Jaga Kekuasaan

Ketiga, apakah kegiatan ini murni hajatan relawan atau ada kaitannya dengan Pilpres 2024? Jawabannya, anak TK pun tahu. Hajatan besar ini 100 persen terkait dengan pilpres mendatang.

Narasi yang digunakan Jokowi jelas dan terang terangan mengacu ke arah itu. “Perlu saya sampaikan. Perlu saya sampaikan, pemimpin, pemimpin yang mikirin rakyat itu kelihatan dari mukanya,” kata Jokowi. “Ada juga yang mikirin rakyat sampai rambutnya putih semua ada. Ada itu.”

“Saya ulang. Jadi, pemimpin yang mikirin rakyat itu kelihatan dari penampilannya, dari kerutan di wajahnya. Kalau wajahnya cling, bersih, tidak ada kerutan di wajahnya hati-hati. Lihat juga, lihat rambutnya kalau putih semua wah mikir rakyat ini,” papar Jokowi.

Soal narasi rambut putih gara gara memikirkan rakyat ini juga tak sepenuhnya betul. Faktanya, uban tumbuh bukan hanya karena faktor stress, tetapi juga karena usia menua, faktor genetik, kekurangan Vitamin B12, akibat mengkonsumsi obat-obatan dan merokok.

Tetapi awam pun mengerti mengapa Jokowi menggunakan diksi “rambut putih” yang kemudian ramai diperbincangkan publik. Jokowi kembali meng-endorse “jagoannya” dalam piplres nanti, siapa lagi kalau bukan Ganjar Pranowo.

Sebagai Kepala Negara, Jokowi seharusnya netral, tidak perlu mengarahkan untuk memilih calon tertentu.

“Jokowi sebagai presiden tidak boleh mengarahkan atau mendukung salah satu calon presiden. Mendukung semuanya saja enggak boleh, nanti iri-irian,” kata pengamat politik Hendri Satrio, kepada Inilah.com.

“Sebagai kepala negara seharusnya tidak menjadi king maker, dihormati demokrasinya, supaya sehat,” tambah sosok yang akrab disapa Hensat ini.

Hensat mengingatkan Jokowi untuk menghentikan pernyataan-pernyataan kontroversial yang bisa menunjukkan dirinya  tidak netral. Apalagi, Jokowi kerap meminta agar kondisi politik tidak panas, walaupun hangat, cepat dingin kembali sebagaimana yang disampaikan dalam Munas HIPMI belum lama ini.

Elit PDIP pun meradang. Politikus PDIP Deddy Sitorus menilai manuver relawan Jokowi memuat agenda terselubung. Bahkan berupaya menjebak Jokowi untuk mendukung kandidat capres tertentu.

“Saya minta jangan menjebak Pak Jokowi. Beliau (Jokowi) presiden RI dan bukan presiden relawan. Jangan demi ambisi, kekuasaan, dan materi, para relawan melakukan manuver-manuver yang di luar ruang lingkupnya, sehingga malah merugikan kewibawaan Pak Jokowi,” kata Deddy, dalam keterangannya, di Jakarta, Minggu (27/11/2022).

Suara penolakan juga datang dari Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. Menurut Hasto, pemimpin tidak ditentukan oleh warna rambut dan kerutan wajah.

“Apa yang disampaikan Pak Jokowi hanya gimmick politik. Bagi PDI Perjuangan, pemimpin yang mumpuni itu lahir dari gemblengan kaderisasi partai, memahami hakekat persoalan rakyat dengan jawaban kebijakan yang akan diperjuangkanya,” kata Hasto kepada Inilah.com, Minggu (27/11/2022).

Sedangkan Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis Agung Baskoro menilai, Jokowi mulai memposisikan dirinya sebagai king maker. Jokowi secara eksplisit merestui calon pemimpin di 2024 yang ciri-cirinya dia anggap lebih memikirkan rakyat, seperti kerutan wajah dan rambut putih.

“Artinya, dari ketiga kandidat capres terkuat yang kini bertengger di peringkat teratas, yakni Ganjar, Prabowo, dan Anies, hanya Ganjar-lah yang memiliki penampakan rambut putih mencolok,” kata Agung menanggapi pesan Jokowi tersebut, Sabtu (26/11/2022).

Lalu seberapa besar pengaruh dukungan Jokowi terhadap keterpilihan calon yang di-endorse? Ternyata tidak terlalu berpengaruh.

Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA merilis hasil survei yang mereka lakukan pada 10-19 Oktober 2022. Hasilnya, tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Jokowi mencapai 74,2 persen. Kendati demikian, kepuasan terhadap Jokowi ini tidak mempengaruhi pilihan calon presiden (capres) di Pilpres 2024. Angkanya di bawah 2 persen.

“Publik juga merasa ekonomi memiliki daya tahan karena peran Jokowi. Tapi pilihan publik pada pasangan capres tak banyak dipengaruhi oleh Jokowi,” kata peneliti LSI Denny JA Adjie Alfaraby dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Rabu (23/11/2022).

Dia pun menjelaskan mengapa dukungan Jokowi mempengaruhi elektabilitas pasangan capres hanya di bawah 2 persen, padahal publik puas dengan kinerja Jokowi. Hal itu, kata Adjie, pilihan publik kepada calon pasangan capres nisbi otonom, tidak banyak dipengaruhi oleh endorsement (dukungan) tokoh manapun.

Sahih atau tidaknya hasil survei LSI tersebut sangat mungkin diperdebatkan. Tetapi langkah Jokowi yang terang terangan menyebut “rambut putih” dipandang upaya memuluskan langkah Ganjar untuk maju sebagai Capres 2024.

Jokowi sepertinya ingin sekali menjadi king maker bahkan menimbulkan kesan seolah Jokowi seperti sosok raja yang sedang ingin mewariskan jabatannya. Ada gejala sindrom kekuasaan setelah 10 tahun berkuasa.

Soal yang satu ini, pengamat politik Universitas Andalas Andri Rusta mengingatkan, Indonesia bukan negara monarki, meski tak bisa dipungkiri bahwa Jokowi pasti punya keinginan tertentu sebagai sosok presiden.

“Artinya sah-sah saja Jokowi mengintervensi dan kemudian mengusulkan atau mencoba menyiapkan calon yang sesuai menurut Jokowi, demi memimpin trah atau melanjutkan trah kekuasaannya, tapi juga tentu masyarakat punya mekanisme, parpol juga punya mekanisme untuk mendukung dan memberikan calon-calon yang terbaik untuk Indonesia di 2024,” kata Andri Rusta.

Presiden Bebek Lumpuh 

Saya ingin menyitir kembali tulisan saya terdahulu soal kutukan dua periode dan presiden bebek lumpuh, sekaligus mengingatkan Jokowi untuk fokus mengurusi berbagai pekerjaan rumah yang tersisa diujung masa pemerintahannya. Mengapa seperti itu?

Burhanuddin Muhtadi dalam bukunya “Populisme, Politik Identitas, dan Dinamika Elektoral: Mengurai Jalan Panjang Demokrasi Prosedural” menyebut, koalisi partai politik di Indonesia bersifat pragmatis karena berbasis pada office seeking, bukan policy seeking.

Itu sebabnya, koalisi dan postur Kabinet Indonesia Maju yang dibentuk semata-mata demi meraih dan mempertahankan kursi kekuasaan, di akhir masa jabatan presiden sangat rawan dan patut dipertanyakan efektivitasnya.

Petinggi parpol yang menjadi menteri sejauh ini mengikuti maunya istana, bukan dilakukan atas dasar ketundukan, melainkan untuk mengamankan kursi kekuasaan mereka.

Jika mengacu pada fenomena second-term curse (kutukan periode kedua) dan lame duck president (presiden bebek lumpuh), pengaruh dan kontrol Jokowi terhadap partai koalisi dipastikan akan menurun dan melemah. Termasuk kontrol terhadap para relawan. Kalaupun sekarang relawan terlihat sepertinya solid, itu karena ada tangan tangan tak terlihat (invisible hands) yang mendukung mereka.

Para menteri yang berasal dari partai politik pasti akan fokus pada aktivitas kepartaian. Bahkan mereka akan memanfaatkan kekuasaannya untuk kepentingan partai dan kelompoknya. Satu persatu menteri akan “meninggalkan” Jokowi.

Fenomena ini pernah terjadi pada SBY di akhir periode keduanya. Sebagai Presiden yang masih berkuasa, serta memiliki partai yang memperoleh suara terbesar di Pemilu 2009, SBY tidak mampu menjadi king maker ataupun diminta political endorsement-nya. Lebih memprihatinkan lagi, peroleh suara Partai Demokrat menurun dan kini menjadi pemain papan tengah.

Wiguna Taher-Pemimpin Redaksi Inilah.com

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button