News

Sandera Israel Berterima Kasih kepada Hamas, Alami Stockholm Syndrome?

Ramai di media sosial membahas sikap sandera warga Israel yang dibebaskan mengucapkan terimakasih kepada Hamas. Para sandera yang dibebaskan ini disebut warganet mengalami Stockholm Syndrome. Apa sebenarnya Stockholm Syndrome?

Sebuah surat berisi ucapan terima kasih dari seorang warga Israel kepada kelompok Hamas viral di media sosial. Sayap bersenjata Hamas, Brigade Al Qassam, merilis surat di Telegram pada Senin (27/11/2023) yang diklaim ditulis oleh salah satu sandera yang dibebaskan Hamas pada 24 November. Pembebasan ini sebagai bagian dari kesepakatan gencatan senjata dengan Israel.

Dalam sebuah surat kepada pejuang Hamas, seorang ibu Israel, Danielle Aloni menyampaikan rasa terima kasihnya yang tulus atas perlakuan mereka terhadap putrinya yang berusia lima tahun, Emilia, selama 49 hari ditawan di Gaza yang terkepung. Danielle mengungkapkan Hamas telah merawat putrinya dengan sangat baik.

Para sandera Hamas yang didominasi warga Israel, dalam foto-foto yang muncul, terlihat bahagia dan sempat melambaikan tangan selama berada dalam penyanderaan. Mereka juga sempat berfoto bersama dengan pasukan Hamas. 

post-cover
Seorang anggota Brigade Al-Qassam Hamas membantu seorang sandera keluar dari mobil sebelum menyerahkannya kepada pejabat Komite Palang Merah Internasional di Gaza (Foto: Alex MITA /Hamas Media Office/AFP)

Apa Sebenarnya Stockholm Syndrome?

Stockholm syndrome sebenarnya sering dikaitkan dengan respons psikologis dalam kasus penculikan atau penyanderaan. Ini merupakan sebuah fenomena psikologis ketika seorang tawanan mulai mengidentifikasi diri secara dekat dengan para penculiknya, termasuk dengan agenda dan tuntutan mereka.

Nama sindrom ini berasal dari perampokan bank yang gagal di Stockholm, Swedia. Pada Agustus 1973 empat karyawan Sveriges Kreditbank disandera di brankas bank selama enam hari. Selama kebuntuan proses negosiasi, terjali ikatan batin antara tawanan dan penyanderanya. 

Seorang sandera, selama panggilan telepon dengan Perdana Menteri Swedia Olof Palme, menyatakan bahwa dia sepenuhnya mempercayai para penculiknya tetapi takut dia akan mati dalam serangan polisi di gedung itu. Setelah para sandera dibebaskan, mereka menolak untuk bersaksi melawan para penculiknya bahkan mulai mengumpulkan uang untuk melakukan pembelaan kepada mereka.

Setelah itu, para psikolog dan pakar kesehatan mental menetapkan istilah Stockholm syndrome untuk kondisi yang terjadi ketika para sandera mengembangkan hubungan emosional atau psikologis dengan orang-orang yang menahannya.

Jauh sebelum kasus Stockholm syndrome di Swedia, sindrom ini pernah terjadi pada Mary McElroy pada 1933. Seorang perempuan bernama Mary McElroy diculik dan meminta tebusan sebanyak US$30.000. Meskipun Mary McElroy tidak menolak para penculiknya untuk diberi hukuman, tetapi dia kemudian bersimpati dan mengunjungi penculiknya yang ditahan di balik jeruji besi.

Contoh paling terkenal dari Stockholm syndrome melibatkan pewaris surat kabar yang sempat mengalami penculikan yakni Patricia Hearst, 19 tahun. Pada 1974, sekitar 10 minggu setelah disandera oleh Tentara Pembebasan Symbionese (SLA), Hearst malah membantu para penculiknya merampok bank California. 

FBI menangkap Hearst pada 18 September 1975, atau 18 bulan setelah penculikannya. Hearst menerima hukuman penjara 7 tahun. Presiden AS Jimmy Carter kemudian meringankan hukumannya pada tahun 1979, dan dia akhirnya menerima pengampunan.

Sindrom ini juga kembali menjadi perbincangan pada 1985 saat pembajakan pesawat TWA dengan nomor penerbangan 847. Meskipun penumpangnya mengalami cobaan penyanderaan yang berlangsung lebih dari dua minggu, setelah dibebaskan beberapa secara terbuka bersimpati dengan tuntutan penculiknya. 

Mengapa Bisa Terjadi?

Meski sudah terkenal, bagaimanapun, Stockholm syndrome tidak diakui oleh edisi baru Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders. Buku ini digunakan oleh para ahli kesehatan mental dan spesialis lain sebagai pedoman untuk mendiagnosis gangguan kesehatan mental.

Banyak peneliti, psikolog, dan kriminolog tidak sepenuhnya memahami sindrom Stockholm, dan beberapa terus memperdebatkan apakah sindrom ini ada. Namun psikolog yang telah mempelajari sindrom ini percaya bahwa ikatan awalnya dibuat ketika seorang penculik mengancam kehidupan tawanan, berunding, dan kemudian memilih untuk tidak membunuh tawanan. Kelegaan tawanan atas penghapusan ancaman kematian diubah menjadi perasaan terima kasih kepada penculik karena telah menyelamatkan nyawanya. 

Selain itu, tawanan dan penculik memiliki interaksi tatap muka yang signifikan, yang memberikan peluang untuk terikat satu sama lain. Sandera juga merasa bahwa aparat penegak hukum tidak melakukan pekerjaan mereka dengan cukup baik.

Pada abad ke-21, psikolog telah memperluas pemahaman mereka tentang Stockholm syndrome dari sandera ke kelompok lain, termasuk korban KDRT, anggota sekte, tawanan perang, pelacur yang dibeli, dan anak-anak yang dilecehkan. 

Bagaimana Gejalanya? 

Mengutip laman Medicalnewstoday, ada berapa gejala yang timbul ketika korban mengalami Stockholm syndrome. Misalnya ketika para korbannya merasakan kebaikan atau kasih sayang dari penculik atau pelakunya. Selain itu juga mengalami perasaan positif terhadap individu atau kelompok individu yang menahan mereka atau melecehkan mereka.

Ada pula yang mengadopsi tujuan, pandangan, dan ideologi yang sama dengan para penculik atau pelaku kekerasan. Beberapa korban juga merasa kasihan terhadap para penculik atau pelaku kekerasan. Bahkan ada yang menolak untuk meninggalkan penculiknya, meskipun diberi kesempatan untuk melarikan diri.

Gejala lainnya adalah adalah biasanya para korbannya memiliki persepsi negatif terhadap polisi, keluarga, teman, dan siapa pun yang mungkin mencoba membantu mereka melarikan diri dari situasi itu. Termasuk juga menolak untuk membantu polisi dan otoritas pemerintah dalam menuntut pelaku pelecehan atau penculikan.

Sementara mengutip WebMD, tidak semua orang yang berada dalam situasi penculikan dan penyanderaan mengalami stockholm syndrome. Meski tak jelas penyebabnya, namun sindrom ini dianggap sebagai cara bertahan hidup. Seseorang mungkin menciptakan ikatan ini sebagai cara untuk mengatasi situasi ekstrem dan menakutkan.

Beberapa hal penting tampaknya meningkatkan kemungkinan terjadinya stockholm syndrome, di antaranya berada dalam situasi yang penuh emosi untuk waktu yang lama. Juga berada di ruang bersama dengan penyandera dengan kondisi yang buruk (misalnya tidak cukup makanan, ruang yang secara fisik tidak nyaman)

Selain itu sandera bergantung pada penyandera untuk kebutuhan dasar dan tidak mengeluarkan ancaman untuk membunuhnya serta memberikan jaminan keamanan. Jika pelakunya baik hati, mereka mungkin akan menganggap hal ini sebagai mekanisme bertahan hidup. Korban penyanderaan seperti sandera Hamas yang mengalami stockholm syndrome ini mungkin bersimpati terhadap mereka atas kebaikan ini.

Yang unik, setelah dibebaskan, seseorang dengan Stockholm syndrome mungkin terus memiliki perasaan positif terhadap penculiknya. Namun, mereka mungkin juga mengalami kilas balik, depresi, kecemasan, dan gangguan stres pascatrauma (PTSD).

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button