Kanal

Setelah Anwar Usman Menandatangani ‘Kematiannya’ Sendiri

“Sarifuddin Sudding  dari Fraksi PAN meminta Anwar mundur dari posisinya yang masih duduk sebagai hakim MK. Ia beralasan, secara moral sikap kenegarawanan, integritas dan profesionalisme Anwar sudah tercederai. “Kepercayaan publik (kepada MK) akan tergerus kalau yang bersangkutan masih (duduk) sebagai hakim MK.” Imbauan Sarifuddin tersebut sejalan dengan hadits Nabi Muhammad SAW dalam kitab kumpulan hadits,“Kanz Al-Ummal”. “Jika engkau tak malu,”sabda Nabi,”Lakukan apa pun sekehendak hatimu.” 

Tak jelas, apakah mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Anwar Usman, mengalami kedutan di mata kanannya saat ia menandatangani surat keputusan pembentukan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dan menetapkan hakim-hakimnya, yakni Jimly Asshiddiqie, Bintan R. Saragih dan Wahiduddin Adams, beberapa hari sebelum pelantikan majelis itu pada Selasa (24/10/2023) lalu? Primbon Jawa mengatakan, itu pertanda seseorang akan mengalami kesusahan dan tangis kesedihan.  Namun kini kita semua tahu, pada detik “D”, jam “J” dan hari “H” Surat Keputusan itu dia tandatangani, Anwar Usman seolah tengah memutuskan secara resmi waktu ‘kematiannya’ sendiri. 

Setidaknya kematian sebagai ketua MK, lembaga yang pertama kali dikenal dunia pada 1919, saat Hans Kelsen, seorang pakar hukum Austria, memperkenalkan konsepnya. Kelsen berargumen, untuk menjaga pelaksanaan konstitusional tentang legislasi, diperlukan sebuah organ independen yang bertugas menguji produk hukum konstitusional. Di Indonesia, meski baru berdiri setelah era ‘Reformasi’, idenya sudah mengemuka bahkan sebelum Indonesia Merdeka. Mohammad Yamin, pada sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), mengusulkan agar Balai Agung (atau Mahkamah Agung) diberi wewenang untuk “membanding undang-undang,” yang pada dasarnya adalah kewenangan judicial review. Sayang, usulan itu batal diadopsi dalam UUD 1945.

Tetapi memang penandatanganan SK itu pun sejatinya tak menyiratkan ketinggian budi Anwar. Terkesan, ia hanya terdesak aturan. Bila merujuk pernyataan Juru Bicara MK, Enny Nurbaningsih, dalam konferensi pers MK Senin (23/10), hingga saat itu saja sudah ada tujuh laporan pengaduan masuk MK, seputar dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim konstitusi. Belakangan, jumlah laporan membengkak menjadi 18 laporan, yang umumnya mengadukan dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi Anwar Usman. Mereka mempersoalkan konflik kepentingan Anwar dalam menangani uji materi perkara nomor 90/PUU XX0/2023, tentang usia calon presiden dan wakil presiden.

Mengapa dipersoalkan? Karena beberapa kenyataan yang mencuat sekitar itu telah memantik pertanyaan kritis publik. Tidak hanya karena sang ketua MK (saat itu), Anwar, adalah paman dari Gibran, tokoh yang sedang membutuhkan legalitas buat pencalonannya. Penggugat Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilihan Umum, yang mengharuskan seorang calon presiden atau wakil presiden berusia minimal 40 tahun itu, adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta, Almas Tsaqibbirru. Mengaku pengagum Gibran, Almas sejatinya anak Boyamin Saiman, teman Presiden Joko Widodo, ayah Gibran, sejak lama. Oh ya, sebelum lupa, ada temuan lain: Almas ternyata tak menandatangani surat gugatan judicial review yang terkirim ke MK itu.  

Makanya, meski masuk akal dan ada juga kalangan publik yang memperkirakan sebelumnya, putusan yang dijatuhkan MKMK tak urung cukup mengagetkan warga. Soalnya, tak sedikit yang sudah skeptis bahwa putusan MKMK pun akhirnya hanya mengikuti logika linear dunia hukum kita yang sudah banyak dianggap “sakit” itu.     

“(Anwar Usman) Terbukti melakukan pelanggaran berat prinsip ketidakberpi-hakan, integritas, kecakapan dan kesetaraan, independensi, dan prinsip kepantasan dan kesopanan,”kata Ketua MKMK, Jimly Asshidiqie, kala membacakan putusan Majelis di Gedung I MK, Selasa (7/11) lalu. Menurut Jimly, Anwar Usman terbukti melanggar prinsip-prinsip Sapta Karsa Hutama tersebut. Atas pelanggaran berat itu, MKMK memberikan sanksi dan memberhentikan Anwar dari ketua MK.

Selain itu, MKMK juga memutuskan Anwar tidak lagi berhak untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pimpinan MK sampai masa jabatannya sebagai hakim konstitusi berakhir. Anwar juga tidak diperbolehkan terlibat atau melibatkan diri dalam pemeriksaan perkara perselisihan hasil Pemilihan Umum mendatang. 

Yang menarik, putusan Majelis Kehormatan tersebut mengandung perbedaan pendapat (dissenting opinion) dari anggota MKMK, Bintan R. Saragih. Bukan menolak pemberhentian Anwar, Bintan malah menyatakan seharusnya Anwar tak sekadar digulingkan dari kursi ketua MK. Anwar, dalam opini hukum Bintan, seharusnya juga dipecat secara tidak hormat. Menurut Bintan, sebagaimana diatur pada Pasal 41 huruf c dan Pasal 47 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2023 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, sanksi terhadap pelanggaran berat hanyalah pemberhentian tidak dengan hormat. “Tidak ada sanksi selain itu,”kata Bintan. 

Karena itu wajar, selain banyaknya kalangan publik yang mengelu-elukan putusan MKMK dan ketuanya, Jimly, tak kurang pula yang memandang putusan itu dengan skeptis. Guru besar Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Prof. Ni’matul Huda, merupakan salah satu di antara mereka. Menurut Prof. Ni’matul, sepanjang terkait posisi ketua MK putusan itu tergolong kompromistis. Itu bukan tanpa alasan. Pertama, MKMK tidaklah mungkin mengubah putusan perkara no. 90/2023 yang sudah final dan mengikat. “Jalan kompromi putusan MKMK itu juga tampak dimaksudkan untuk mengurangi tensi penolakan publik terhadap putusan MK yang menguntungkan Gibran untuk bisa menjadi cawapres Prabowo Subianto,”kata Prof. Ni’matul. 

post-cover
Anggota MKMK Bintan R Saragih mengajukan disenting opinion atas dugaan pelanggaran etik terhadap hakim Mahkamah Konstitusi (MK). Pada kesimpulannya, Bintan meminta Anwar Usman diberhentikan sebagai hakim MK. (Foto: Inilah.com/Agus Priatna)

Kolega Ni’matul, sesama akademisi dari Universitas Mataram, Widodo Dwi Putro, cukup sinis menanggapi langkah Anwar Usman. Menurut pengampu mata kuliah Filsafat Hukum tersebut, secara universal biasanya hakim secara otomatis akan langsung mengundurkan diri jika ada kepentingan dalam menangani sebuah perkara. “Dalam kasus ini, tampak Anwar telah mendayagunakan hukum sebagai sarana untuk menjustifikasi kejahatan yang sempurna,” ujar Widodo. Akan halnya terhadap putusan MKMK, ia menilai Majelis Kehormatan MK memiliki kewenangan untuk menyatakan bahwa putusan yang cacat moral tidak perlu dilaksanakan. “Karena apabila diimplementasikan akan membahayakan supremasi hukum itu sendiri,”kata dia. 

Dari Senayan, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Sarifuddin Sudding, seolah meminta Anwar Usman untuk ‘tahu diri’. Sarifuddin meminta Anwar mundur dari posisinya yang masih duduk sebagai hakim MK. “Sebaiknya yang bersangkutan mengundurkan diri, atau lembaga pengusulnya menarik yang bersangkutan sebagai hakim MK,”kata Sarifuddin kepada wartawan, Rabu (8/11/2023) lalu. Ia beralasan, secara moral sikap kenegarawanan, integritas dan profesionalisme Anwar sudah tercederai. “Kepercayaan publik (kepada MK) akan tergerus kalau yang bersangkutan masih (duduk) sebagai hakim MK.”

Imbauan Sarifuddin tersebut sejalan dengan hadits Nabi Muhammad SAW dalam kitab kumpulan hadits,“Kanz Al-Ummal”. “Jika engkau tak malu,”sabda Nabi,”Lakukan apa pun sekehendak hatimu.”

Serangan balik Anwar

Sebaliknya, alih-alih memindahkan persneling sikapnya ke gigi satu, keluarnya putusan yang mendongkel dirinya dari kursi ketua MK  itu justru membuat Anwar terkesan gusar. Mungkin juga panik, meski dalam pernyataan pers yang ia rilis menyatakan sebaliknya. 

Melalui konferensi pers yang digelarnya di Gedung MK, Rabu (8/11/2023) lalu, tak hanya berapologi, Anwar juga tangkas menyerang balik. Seraya menyebut dirinya telah dirajam dengan fitnah keji, dalam pernyataan panjang yang terurai dalam 17 butir pembelaan, ia juga menganggap putusan MKMK tersebut telah melanggar aturan.  “Saat ini, harkat, derajat, martabat saya sebagai hakim karir selama hampir 40 tahun, dilumatkan oleh fitnah yang keji,”kata Anwar dalam pernyataannya. ”…Sudah hampir 40  tahun saya menjalani profesi hakim, baik sebagai hakim karir di bawah Mahkamah Agung maupun hakim di Mahkamah Konstitusi sejak tahun 2011, … telah saya jalani tanpa melakukan suatu perbuatan tercela. Saya tidak pernah berurusan dengan Komisi Yudisial atau Badan Pengawas Mahkamah Agung, juga tidak pernah melanggar etik sebagai hakim konstitusi sejak diberi amanah pada tahun 2011,”tulis Anwar.

Sebagai counter attack Anwar juga mengungkit beberapa perkara lama MK yang dia anggap mengandung konflik kepentingan dari para hakim MK yang memutus perkara-perkara tersebut. Secara tersurat, beberapa hakim MK yang dimaksud Anwar itu adalah Jimly Asshiddiqie, Mahfud MD, Saldi Isra, Hamdan Zoelva dan Prof Arief Hidayat.

“Terkait dengan konflik kepentingan, conflict of interest, sejak era kepemimpinan Profesor Jimly Asshiddiqie dalam Putusan Nomor 004/PUU-I/2003, kemudian Putusan Nomor 066/PUU-II/2004, kemudian Putusan Nomor 5/PUU-IV/2006 yang membatalkan pengawasan Komisi Yudisial terhadap hakim konstitusi, maupun Putusan Nomor 48/PUU-IX/2011, Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011 di era Kepemimpinan Prof. Mahfud MD. Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013, Putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2014 yang membatalkan Perppu MK di era Kepemimpinan Bapak Hamdan Zoelva, Putusan Perkara 53/PUU-XIV/2016, Putusan Nomor 53/PUU-XIV/2016 di era Kepemimpinan Prof. Arief Hidayat. Selanjutnya Putusan Perkara Nomor 96/PUU-XVIII/2020. Dalam putusan tersebut, terhadap pengujian Pasal 87A karena norma tersebut menyangkut jabatan ketua dan wakil ketua, dan ketika itu saya adalah ketua MK, meskipun menyangkut persoalan diri saya langsung, namun saya tetap melakukan dissenting opinion, termasuk kepentingan langsung Prof. Saldi Isra dalam pasal 87b terkait usia yang belum memenuhi syarat,”tulis Anwar dalam butir ke-12 ‘apologia’-nya. 

Anwar juga menyayangkan proses peradilan etik yang seharusnya tertutup, sesuai Peraturan MK, yang justru dilakukan secara terbuka. “…meski dengan dalih melakukan terobosan hukum, dengan tujuan mengembalikan citra MK di mata publik, hal tersebut tetap merupakan pelanggaran norma, terhadap ketentuan yang berlaku. Namun, sebagai ketua MK saat itu, saya tetap tidak berupaya mencegah atau intervensi terhadap proses, atau jalannya persidangan Majelis Kehormatan MK yang tengah berlangsung,”kata Anwar.

Kontan saja pembelaan diri Anwar itu justru kian membuat publik geram. Reaksi warga itu bertebar di sekian banyak akun media sosial, diulang dan disebarluaskan netizen hingga viral. Salah satunya dari novelis yang sekian banyak karyanya best-seller digandrungi anak-anak muda, Tere Liye aka Darwis. 

Lewat unggahan yang ia beri judul “Mingkem”, Tere Liye mengaku shock dengan pembelaan Anwar itu. Terlihat geram hingga ke ubun-ubun, Tere Liye menulis—kami kutip verbatim, lengkap dengan gaya tulis dan ejaan yang digunakan–.

”Bukan main. Adik2 sekalian, inilah contoh nyata, betapa tidak ada malunya lagi pejabat2 negeri ini. Tatap wajah orang ini. Dia tidak tahu malu.”

post-cover
Eks Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman, memberikan keterangan terkait hasil putusan Majelis Kehormatan MK di Gedung MK, Jakarta, Rabu (8/11/2023). (Foto: Inilah.com/Agus Priatna)

“Orang ini jelas sekali telah melanggar secara serius kode etik, integritas, prinsip tidak berpihak, dll dsbgnya. Orang ini JELAS SEKALI SUDAH MELANGGAR itu semua. Siapa yang bilang? Bukan netizen, bukan hater, bukan pengamat. Melainkan Majelis Kehormatan MK. Dia diadli dalam proses yg fair, obyektif, lantas disimpulkan: melakukan pelanggaran berat. Eh, kok orang ini merasa difitnah keji?” 

“Kamu beruntung tidak dipecat total. Kamu beruntung belum ada yang lapor polisi, dll. Kamu beruntung sekali loh. Bahkan setelah ribuan akademisi, profesor2, orang2 yg paham soal hukum meminta kamu mundur, lihatlah, kamu masih bisa duduk jadi anggota MK. Dapat gaji, fasilitas dll. 

“Kamu beruntung sekali tinggal di Indonesia. Karena jika pejabat2 ini hidup di Jepang. Di sana itu, bukan hanya mundur karena malu, pejabat bahkan bunuh diri saat melakukan kesalahan fatal.”

Di bagian akhir, seolah ingin melepas hajat hingga tuntas, Tere Liye menulis,” Pun buat netizen yg nge-fans dengan pasangan capres Prabowo dan anak Jokowi, catat baik baik : mau menang atau tidak besok lusa, pasangan ini adalah PRODUK dari PELANGGARAN BERAT kode etik seorang hakim. Mau jungkir balik kamu ngeles, itulah faktanya.”

Bukan yang pertama, semoga yang terakhir

Sejatinya, baik dalam soal putusan maupun personalitas hakim, “kasus Anwar” bukanlah yang pertama. Di sisi putusan, dalam catatan pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, melihat MK senantiasa seolah kikuk ketika berhadapan dengan kepentingan politik. Ketika terdapat gugatan yang menyangkut kepentingan politik, independensi hakim dalam menjatuhkan putusan seperti tersandera rasa pakewuh, yang disinyalir karena adanya persoalan ditingkat hulu, yakni mekanisme pengangkatan hakim di Indonesia yang masih bernuansa politis.

Dua tahun lalu, Prof Zainal menyatakan tegas kecewaannya atas putusan MK terhadap pengujian Undang-Undang 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), beberapa waktu lalu.

“Saya mohon maaf yang mulia dan memberikan catatan karena kekecewaan saya terhadap putusan MK terdahulu,” kata Prof Zainal di sela-sela sidang perkara nomor 91/PUU-XVIII/2020 uji formil UU 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap UUD 1945, yang digelar MK secara virtual dua tahun lalu. Menurut sang guru besar, Majelis Hakim MK meninggalkan konsep ajaran konstitusionalitas secara materi atau etik moral konstitusional itu sendiri, karena yang banyak dibahas semata urusan terpenuhinya aspek formal. Alhasil, demikian pula sikap Prof Zainal terhadap putusan MK soal UU Cipta Kerja. 

Wajar bila seiring keluarnya putusan MK soal batas usia capres-cawapres, Prof Zainal pun mengulang kekecewaannya. Ia menilai banyak hakim MK yang melakukan praktif lobi sebelum putusan dijatuhkan. 

“Di MK itu ada banyak praktik yang seharusnya kita perbaiki. Ada gejala seperti hakim itu melobi dan menyatakan sesuatu untuk mengubah ubah keputusan,” ujar Prof Zainal dalam diskusi “Politik Dinasti Jokowi, Konflik Kepentingan, dan Bencana Court Capture MK” yang digelar Sahabat ICW, Jumat (3/11/2023) lalu. Prakti lobi yang dilakukan para hakim MK itu menghilangkan independensi hakim sendiri. “MK sering memutus (dengan) tidak lagi berbasis hukum, tapi berbasis pada konfigurasi politik. Bahkan sering kali berbasis take and give,”kata dia. 

Tidak hanya dua putusan MK itu yang secara publik tidak popular. Benar, urusan hukum bukan sekadar urusan popularitas. Tapi secara common sense pun banyak kalangan warga melihat dua UU tersebut mengandung banyak mudharat alias berpotensi merusak.

Beberapa putusan lain MK yang banyak disorot dan dipertanyakan public adalah Putusan MK No. 36/PUU-XV/2017, yang menolak menguji permohonan yang didalilkan atas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Saat itu MK praktis memperkuat bahwa KPK merupakan unsur eksekutif sehingga hak angket yang dimiliki DPR terhadap KPK tetap dapat dijalankan.  Sementara, seolah menjilat ludahnya sendiri, pada putusan-putusan sebelumnya MK mengatakan KPK merupakan lembaga independen yang tidak dapat diintervensi oleh pihak mana pun.

Kedua, putusan soal ambang batas pencalonan Presiden (presidential threshold). Pada 14 Januari 2021 itu MK menolak permohonan Rizal Ramli yang meminta presidential threshold atau ambang batas presiden dihapus. Menurut MK, permasalahan berapa banyak jumlah orang yang bisa ikut capres, bukanlah masalah konstitusionalitas. Presidential threshold adalah kebijakan politik terbuka, bukan masalah konstitusionalitas. Atas kekalahan itu, Rizal menilai para hakim konstitusi tidak memiliki bobot intelektual. “Para hakim di MK tidak memiliki bobot intelektual, kedewasaan akademik, dan argumen hukum yang memadai untuk mengalahkan pandangan kami,” kata Rizal kepada wartawan, saat itu. 

Beberapa putusan MK lainnya, seperti putusan MK soal Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) di KPK, putusan MK soal Perppu Corona. “Permohonan (soal TWK) adalah tidak beralasan menurut hukum. Konklusi. Pokok permohonan tidak berdasar menurut hukum. Amar putusan, mengadili, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK (saat itu), Anwar Usman.

Yang paling meninggalkan gatal di lokus otak adalah putusan MK soal UU Cipta Kerja yang terkesan tidak tegas alias setengah hati. Saat mengadili UU Cipta Kerja MK memutuskan UU Cipta Kerja inkonstitusuonal bersyarat. Itu membuat UU ini menjadi beku hingga dilakukan perbaikan dalam kurun maksimal dua tahun sejak putusan MK dibacakan. Banyak pihak menilai, seharusnya UU yang dianggap banyak kalangan meresahkan itu ditolak berlaku.  

Di sisi personel, sudah jadi rahasia umum bahwa MK pun tak sepenuhnya bersih. Pada 2013, KPK menangkap hakim sekaligus Ketua MK, Akil Mochtar, yang menerima suap Rp 57,78 miliar dan 500.000 dollar AS, terkait pengurusan 15 sengketa Pilkada. Akil terbukti bersalah dan divonis penjara seumur hidup. 

post-cover
Ketua Majelis Hakim Konsitusi Anwar Usman (tengah) didampingi Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna (kiri) dan Patrialis Akbar (kanan) memimpin sidang pengujian aturan pembatasan calon tunggal Pilkada di Mahkamah Konstitusi, Jakarta. (Foto: Antara).

Pada 26 Januari 2017, hakim MK Patrialis Akbar, dicokok KPK. Dalam sebuah Operasi Tangkap Tangan (OTT), ia disangka menerima suap 20.000 dollar AS dan 200.000 dollar Singapura atau sekitar Rp 2,15 miliar dari importir daging sapi. Suap itu terkait uji materi UU No 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang sedang ditangani MK.

Belum lagi hakim-hakim yang ‘hanya’ terbongkar melanggar sisi etika dan kepatutan. Misalnya, sebuah situs berita nasional menulis, dari enam ketua MK hingga era Anwar Usman, dua di antaranya melanggar kode etik berat. Selain Anwar seperti terbukti baru-baru ini, hakim Arief Hidayat (2015-2017, 2017-2018), juga dinilai pernah berbuat lancung. ”Selama menjabat, Arief menghadapi sejumlah masalah etik yang membuat kredibilitasnya dipertanyakan,”tulis situs berita tersebut, Kamis (9/11/2023). 

Pada tahun 2016, ia terbukti melakukan pelanggaran etik karena mengirim surat yang isinya menitipkan seorang kerabatnya kepada Jaksa Agung Muda Pengawasan. Untung bagi Arief, Dewan Etik MK hanya menjatuhkan sanksi berupa teguran lisan terhadapnya.

Reformasi besar-besaran MK

Bila noda setitik nila bisa merusak susu sebelanga, wajar bila tumpahnya nila yang biru gelap sebaskom akan menghancurkan MK. Karena itu, tidaklah heran bila guru besar sekelas Prof. Zainal Arifin Mochtar menyatakan harus ada reformasi besar-besaran di Mahkamah Konstitusi. Semua itu terutama akibat kebiasaan buruk yang tampaknya telah lumrah di keseharian MK tadi: praktif lobi.

Dari situlah, benih-benih kedegilan yang merusak independensi hakim muncul, berkecambah dan akhirnya berakar kuat. 

“Kalau tetap saja MK membuka kesempatan yang namanya saling mengunjungi hakim, kemudian saling lobi, membuka kesempatan untuk take and give sesama hakim, saya kira ini faktor berulang saja,”kata Prof Zainal.

Alhasil, dengan kasus mutakhir kemarin, MK mungkin sudah mengalami sekian persen distrust di masyarakat. Tinggal ada lembaga survei terpercaya—yang mungkin pula telah sama langkanya—yang memberi gambaran berapa besar ketidakpercayaan akan MK itu mewabah. 

Mungkinkah ke depan nama baik MK akan kembali pulih di mata public? Mantan Ketua MK, Prof Jimly Asshiddiqie, yakin kepercayaan public akan pulih dengan sendirinya. “Soal ketidakpercayaan (publik), insya Allah bisa dipulihkan,”kata Prof Jimly kepada wartawan Inilah.com, Clara Anna. Jimly mengaku, itu sangat bergantung pada para hakim MK, terutama pasangan pimpinan yang baru saja terpilih. “Tinggal nanti prosesnya pelan-pelan, di bawah kepemimpinan baru. Saya percaya, meski harus bertahap. Tak bisa langsung, tentu, ”kata dia.

Pakar hukum tata negara Universitas Muslim Indonesia, Fahri Bachmid, juga memiliki optimisme yang sama. Bagi Fahri, pembentukan MKMK kemarin sudah merupakan jawaban MK untuk mencoba memulihkan nama baik mereka. “Itu jawaban atas kegelisahan, animo ataupun stigma negatif Masyarakat,”kata Fahri.  Mengenai apakah kepercayaan masyarakat itu akan kembali pulih dalam waktu dekat, Fahri menyatakan hal itu akan tergantung pada banyak hal. Waktu, terutama, yang akan menjawab. 

“Saya kita, dengan kepemimpinan yang baru, ketua MK yang baru terpilih punya tugas utama untuk menjawab itu,”kata dia. [dsy/diana risky/reyhaanah/clara ana/vonita betalia/risky aslendra]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button