News

Siapa Lelaki yang Datang Pagi Hari Itu?

Cerita ini saya temukan di laman Facebook seorang cerpenis nasional, sastrawan terkenal yang lahir satu kabupaten dengan saya. Beliau saya ketahui sangat akrab dengan tasawuf. Saya membacanya tahun 2016 dan sempat berdiskusi di laman tersebut dengannya. Saya kutipkan utuh, dengan penyuntingan hanya seperlunya. Begini ia bercerita.

Akhir tahun 1997, adalah masa-masa paling sulit. Saya bersama anak yang masih bayi, betul-betul berada dalam puncak kemiskinan. Entah bagaimana Tuhan mengatur rezeki, karena setiap usaha keras selalu berakhir dengan kegagalan. Hingga pada puncaknya, seringkali kami menahan lapar.

Tak ada teman, tetangga, apalagi saudara yang boleh tahu. Kami (saya dan istri) berkomitment untuk merahasiakan kemiskinan akut ini, di mata siapa saja. Walhasil, terjadilah puncak tragedi itu pada suatu malam. Kami sudah kehilangan upaya, tak ada makanan selama hampir tiga hari.

Saya memeluk istri dengan sedih, setelah berusaha keras menghitung upaya apa lagi yang bisa kami perbuat. Kami kembali menghitung kawan yang sekiranya bisa dimintai bantuan untuk meminjamkan sedikit uangnya. Nama yang kami hitung adalah Abdul Wachid Bs, Aprinus Salam, Teguh Winarsho AS, Zaenul Elha PDr, Mahdi Husain, Triman Laksana, Jadul Maula, Imam Aziz, dan Mukti Haryadi.

Karena kepada merekalah saya seringkali datang untuk meminjam uang. Sayangnya, semua nama yang disebut itu, tidak mungkin lagi saya datangi karena utang yang terdahulu belum bisa terbayar (utang antara Rp 5 ribu sampai yang paling besar Rp 10 ribu.—di tahun 1997, red.). Walhasil, tertutuplah semua jalan.

Karena semua jalan sudah tertutup, maka pada malam puncak tragedi itu, saya hanya bisa memeluk istri sambil menangis. Bayi kami sudah tertidur, dan hanya kesunyian dan rasa lapar yang kami rasakan. Saya marah pada Tuhan, karena merasa bahwa kami (saya dan istri) tak pernah lalai. Bertahun-tahun kami berpuasa (puasa selang sehari, puasa Daud), dan setiap sepertiga akhir malam kami selalu bangun untuk bertahajud. Jadi apa kurang kami? Begitulah yang saya tanyakan pada Tuhan pada malam itu, “Kenapa Engkau membiarkan kami kelaparan, dan menutup semua pintu usaha?”

Saya berbisik di telinga istri, yang juga terlihat teramat sedih. Saya berkata padanya, “Istriku, kalau seandainya kita mati malam ini karena lapar, apakah tetangga kita berdosa?”

“Mereka tidak berdosa, karena mereka tidak tahu keadaan kita,” jawab istriku. Saya peluk dia, dan kami sama-sama menangis. Hingga tidak terasa kami tertidur, dan terbangun sebelum adzan subuh berkumandang.

Jam 6 pagi, kami mendengar suara pintu belakang diketuk orang, sambil mengucap assalamualaikum dengan suara lantang. Saya membuka pintu, dan seorang lelaki telah berdiri di depan pintu sambil memanggul satu karung beras.

Lelaki yang tidak saya kenal itu tersenyum dan berkata, “Saya mengantar titipan beras untuk Mas Joni,” katanya. Lelaki itu meletakkan sekarung beras di depan pintu. Saya takjub melihat sekarung beras itu, dan beberapa detik lupa pada pengantarnya. Hanya beberapa detik saja. Ketika saya sadar dan akan bertanya, “Siapakah yang menitipkan beras ini untuk saya?”

Lelaki itu telah hilang. Ia telah pergi. Hanya sekejap, dan rasanya itu sangat mustahil. Seberapa cepatpun seorang manusia berlari, sangat mustahil bisa lenyap tiba-tiba. Saya akhirnya berlari mencari, bergegas mengejar sampai jauh ke jalan. Tapi lelaki itu tidak saya temukan.

Lelaki pengantar beras itu, yang wajahnya masih saya ingat, tidak pernah lagi saya temukan. Sampai sekarang. [  ]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button