News

Sistem Coblos Partai Cegah Munculnya “Kutu Loncat”, tapi Picu Oligarki Parpol

Kontroversi mengenai wacana penerapan sistem proporsional tertutup atau mencoblos gambar partai dalam Pemilu 2024 terus mengemuka. Sebab, sistem ini dinilai membuat rakyat tak bebas memilih calon anggota legislatif (caleg) sehingga layaknya memilih kucing dalam karung.

Menurut Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera, sistem proporsional tertutup maupun sistem proporsional terbuka atau langsung memilih nama caleg memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dengan kata lain memiliki efek positif dan negatif ketika diterapkan.

Ia menyebut, salah satu efek penerapan sistem proporsional tertutup atau mencoblos gambar partai yakni dapat mencegah kader “kutu loncat” alias pindah ke partai politik (parpol) lain. Mardani pun memberi contoh soal kader “kutu loncat” yang kerap terjadi jelang pemilu tersebut.

“Tidak akan terjadi, mohon maaf, kader kutu loncat, misal (Pemilu) 2004 dia kader Golkar. 2009 dia kader Demokrat, 2019 dia kader PDIP dia terpilih terus,” kata Mardani secara virtual dalam program PKS Legislative Corner bertema ‘Membahas Isu dari Sudut yang Pas’, Jumat (6/1/2023).

Dia menjelaskan, hal semacam itu tidak membangun sistem. Namun, berbasis individu.

Selanjutnya, Mardani turut menjabarkan sejumlah efek lain jika sistem mencoblos partai diterapkan dalam Pemilu 2024. Sistem ini disebut dia, akan mengoptimalkan identitas partai. Keterikatan masyarakat kepada parpol juga akan semakin baik.

“Dan biasanya kalau tertutup akan ada kaderisasi yang baik,” ujar Mardani.

Namun, dia mengingatkan, sistem proporsional tertutup atau mencoblos gambar partai mampu menyebabkan ketiadaan reformasi di internal partai. “Maka oligarki di luar berpindah ke oligarki dalam partai,” tegasnya.

Artinya, kata Mardani mengungkapkan, elite partai maupun pimpinan partai dapat berlaku semena-mena jika sistem proporsional tertutup diterapkan.

“Jadi (caleg yang) dekat (pimpinan partai) dapat nomor urut yang baik. (Caleg) yang berprestasi belum tentu mendapatkan nomor urut yang baik. Padahal haknya rakyat mendapatkan calon yang berkualitas, itu kelemahannya,” kata Mardani.

Peluang yang Sama

Sedangkan, jika sistem proporsional terbuka atau mencoblos partai sebagaimana yang diterapkan sejak Pemilu 2004 hingga Pemilu 2019, kata Mardani memaparkan, seluruh caleg akan memiliki peluang yang sama. Oleh karena itu, setiap caleg akan berusaha untuk mendapatkan suara terbanyak dari rakyatnya.

“Biasanya partai-partai yang party ID atau brand identity partainya belum kuat, mereka akan berharap proporsional terbuka. Karena seluruh calegnya akan menjadi prajurit-prajurit andal mencari suara. Semuanya turun, caleg-caleg dekat dengan rakyat,” jelasnya.

Namun, terdapat kelemahan pada sistem proporsional terbuka yaitu posisi partai hanya akan sekedar menjadi manajer bagi caleg. “Nah kalau kekurangan proporsional terbuka memang jatuhnya peran partai menjadi minimalis, dia cuma jadi manajer atau jadi koordinator,” kata Mardani menerangkan.

Padahal, ujar dia menambahkan, parpol harus kuat dari sisi ideologi maupun kaderisasi.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button