Market

Jaga Inflasi di Jateng, Gubernur Ganjar Disarankan Bikin BUD Pangan

Mungkin tak banyak yang tahu, Jawa Tengah (Jateng) termasuk lumbung beras nasional. Namun, harga beras justru mahal, menyumbang inflasi tinggi di Jateng sepanjang 2022.

Ada saran menarik untuk Gubernur Jateng, Ganjar Pranowo disampaikan Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) Jateng, Rahmat Dwisaputra dalam Seminar Nasional bertajuk Strategi Menjaga Inflasi dan Ketahanan Ekonomi Daerah 2023 yang digelar Indef secara hibrid di Semarang, Jawa Tengah, Kamis (12/1/2023).

“Inflasi di Jateng pada 2022 cukup tinggi. Mencapai 5,63 persen. Di atas nasional yang 5,1 persen. Andil terbesar inflasi adalah makanan, minuman dan tembakau. Di dalamnya ada beras. Padahal, Jateng adalah salah satu lumbung beras terbesar setelah Jawa Timur,” papar Rahmat.

Kata Rahmat, ada lima kabupaten dan kota penyumbang inflasi terbesar untuk Jateng. Yakni Tegal, Purwokerto, Cilacap, Kota Surakarta (Solo) dan Kota Semarang. “Kota-kota itu memberikan sumbangan inflasi tinggi kepada Jateng. Lagi-lagi karena beras,” tuturnya.

Dia juga mengusulkan Gubernur Ganjar menumbuhkan industri hilirisasi pangan. Penting untuk memberikan nilai tambah terhadap produk pangan, khususnya beras. Ujung-ujungnya kesejahteraan petani semakin terjamin.

“Jawa Tengah sebagai lumbung pangan, sebaiknya perbanyak industri yang bergerak di bidang pertanian. Atau hilirisasi industri produk pertanian,” ungkapnya.

Rahmat juga mengusulkan agar Gubernur Ganjar meniru Pemprov DKI Jakarta yang sukses memiliki badan usaha daerah (BUD) bidang pangan, yakni PT Food Station.

“Dengan badan usaha daerah ini, bisa menyerap beras dari petani Jateng atau provinsi lain. Agar tidak lari ke provinsi yang lebih kuat daya belinya. Sebaiknya berbentuk PT (perseroan terbatas), agar cepat eksekusinya,” terang Rahmat.

Pandangan senada disampaikan ekonom senior Indef, Prof Bustanul Arifin, sudah waktunya Pemprov Jateng punya BUD pangan seperti DKI Jakarta. “DKI punya Food Station yang mantan dirutnya aktif cari barang ke mana-mana. Sekarang beliau menjadi Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas). Dia bener-bener orang ritel. Mantan GM di Makro, Matahari,” kata Prof Bustanul.

Terkait tingginya harga beras di Jateng, Bustanul meyakini, tidak mengucur ke kantong petani. Dalam perdagangan beras, keuntungan terbesar berada di tangan pedagang.

“Misalnya, harga kopi di Starbucks naik, emangnya petani kopi kita penghasilannya naik? Enggaklah. Demikian pula saat harga beras mahal, petaninya ya masih seperti dulu,” ungkapnya.

Celakanya, kata pria kelahiran Bangkalan, Madura ini, ketika harga beras turun, berimbas langsung kepada pendapatan petani. “Tetapi kalau situasinya terbalik, harga beras turun, dampaknya langsung terasa ke petani,” pungkasnya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button