Kanal

Nepotisme di Negeri Serumpun: Gibranisasi hingga Dinasti Shinawatra

“Di dalam kebaikan nepotisme terdapat keburukan meritokrasi; dan di dalam keburukan meritokrasi terdapat kebaikan nepotisme,” kata Nicholas D. Kristof, seorang kolumnis The New York Times

Nepotisme, praktik memberikan keuntungan atau preferensi kepada anggota keluarga dalam sektor publik, telah lama menjadi bagian dari politik di Asia Tenggara (SEA). Fenomena ini mengakar kuat dalam sistem politik modern negara-negara di kawasan ini,

Di negara serumpun ini kawasan yang dikenal dengan keanekaragaman budaya dan pesona alamnya, juga memiliki sisi gelap dalam hal nepotisme politik.

Negara-negara seperti Indonesia, Thailand, Singapura, Vietnam, dan Malaysia memiliki sejarah dan kecenderungan terhadap nepotisme yang berbeda dalam lanskap politik mereka.

Indonesia: Gelombang Gibranisasi

Tanah Air baru-baru ini menyaksikan fenomena yang membuat sorotan publik tertuju pada satu hal yang cukup familiar: nepotisme. Berkibarlah kembali bendera kekhawatiran terhadap nepotisme yang kini diwarnai dengan istilah baru, ‘Gibranisasi’. Istilah ini muncul dari pencalonan Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo atau yang akrab disapa Jokowi, sebagai calon wakil presiden pada 2024. Gibranisasi, menjadi simbol dari benih-benih nepotisme yang tumbuh subur di bumi Pertiwi.

post-cover
Presiden Jokowi bersama keluarganya. (Dok Antara)

Di sebuah warung kopi kecil di pinggiran Jakarta, bincang-bincang politik tak pernah luput dari menu utama. Salah seorang penikmat kopi, Bapak Surya, menggumam, “Politik kita ini, ya seperti kopi tubruk, pahit tapi nyatanya bikin candu.” Dia menyesap kopinya, mata menatap jauh ke layar televisi yang menayangkan berita tentang Gibran. “Ini namanya apa ya, bukan dinasti baru lagi dong,” gumamnya lagi.

Nepotisme bukanlah hal baru di Indonesia. Sejak era Soekarno hingga Soeharto, benih-benih nepotisme sudah tersemat kuat dalam ranah politik. Namun, fenomena ‘Gibranisasi’ menambah warna baru dalam kanvas nepotisme di Indonesia. Gibran, yang juga menjabat sebagai Wali Kota Surakarta, menunjukkan bahwa darah politik mengalir kuat dalam urat nadi keluarga Jokowi.

Bukan hanya Gibran, Kaesang Pangarep, adiknya, juga merambah arena politik dengan menjadi kepala Partai Solidaritas Indonesia hanya 60 jam saja setelah bergabung. Kaesang, yang dikenal dengan humor satirnya, kini menjadi sosok yang mencoba untuk membawa angin segar dalam politik tanah air.

Di sisi lain, masyarakat Indonesia memperlihatkan respons yang beragam. Ada yang menilai nepotisme sebagai tradisi, sebuah keniscayaan dalam politik. Namun, banyak juga yang menganggapnya sebagai duri dalam daging demokrasi, sebuah halangan bagi meritokrasi.

Di warung kopi yang sama, Bapak Surya menutup bincangannya dengan sebuah kalimat, “Demokrasi kita masih muda, seperti kopi ini, perlu waktu untuk menjadi sempurna.” Dia menyesap kopinya lagi, mungkin mencari harapan di setiap tetesnya bahwa suatu hari, politik tanah air akan benar-benar bebas dari bayang-bayang nepotisme.

‘Gibranisasi’ mungkin hanya sekelumit dari fenomena nepotisme yang lebih luas di Indonesia. Namun, ini membuka pintu diskusi tentang sejauh mana Indonesia telah melangkah dalam memerangi nepotisme, dan apa yang masih perlu dilakukan untuk memastikan bahwa setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama dalam meraih posisi-posisi penting, tanpa harus bergantung pada nama belakang mereka.

Dinasti Shinawatra: Nepotisme di Negeri Gajah Putih

Di balik kemegahan istana dan keanggunan ritual kerajaan Thailand, terdapat sejarah politik yang diselimuti oleh nepotisme. Di pusat kisah ini, berdiri tegak nama-nama besar seperti Thaksin Shinawatra dan Yingluck Shinawatra, dua bersaudara yang pernah memegang kendali politik Negeri Gajah Putih.

Seiring suara-suara kehidupan bangun dari tidur panjangnya, Bangkok, ibu kota Thailand, menyambut pagi dengan kebiasaan rutinnya.

Seperti yang diwartakan APnews, Thaksin Shinawatra, seorang miliarder yang berubah menjadi pemimpin politik, memasuki panggung politik Thailand dengan penuh harapan dan janji-janji perubahan. Namun, kejatuhannya dari kekuasaan pada 2006 melalui kudeta militer, menandai dimulainya babak baru dalam dinasti politik Shinawatra.

post-cover
Putri Thaksin Shinawatra Terpilih Jadi Ketua Partai Berkuasa Thailand pada Jumat (27/10/2023). (APnews)

Namun, pemerintahan Thaksin hanyalah prolog. Adik perempuannya, Yingluck, memenangkan hati rakyat dan menjadi perdana menteri pada 2011. Kendati menghadapi berbagai rintangan dan kontroversi, Yingluck mempertahankan pengaruh politik keluarganya hingga dipecat dari jabatannya pada 2014, diikuti oleh kudeta militer lainnya.

Di tengah kemelut politik ini, wajah-wajah rakyat Thailand mencerminkan kebingungan dan harapan yang bertabrakan. Sementara di jalan-jalan Bangkok, grafiti-grafiti kecil menggambarkan rasa frustrasi publik terhadap nepotisme. Namun, di sisi lain, masih ada yang percaya pada kemampuan keluarga Shinawatra untuk membawa perubahan.

Seiring matahari tenggelam di cakrawala, merefleksikan cahaya emas di sepanjang sungai Chao Phraya, rakyat Thailand masih terjebak dalam dilema. Di satu sisi, mereka mendambakan perubahan, namun di sisi lain, bayang-bayang nepotisme terus merasuki panggung politik negara ini.

Namun, satu hal yang pasti, nepotisme telah menjadi bagian tak terpisahkan dari narasi politik Thailand.

Menyusuri Jejak Keluarga Lee di Singapura

Megah dan mewahnya gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi dan taman-taman kota yang terjaga rapi di Negeri Singa, tersemat kisah politik yang seakan berbeda dari kebanyakan negara di kawasan ini. Singapura, sebuah negara yang dikenal karena meritokrasinya yang kuat, kini berada di persimpangan jalan antara meritokrasi dan nepotisme.

Sebagaimana diwartakan TheIndependent, di pusat panggung adalah keluarga Lee, yang telah lama menjadi subjek diskusi hangat di kalangan masyarakat Singapura. Dimulai dengan Lee Kuan Yew, pendiri negara yang dihormati, yang memimpin Singapura ke arah modernisasi dan kemakmuran. Namun, kekuasaan tampaknya tetap berada dalam keluarga, dengan anaknya, Lee Hsien Loong, saat ini menjabat sebagai Perdana Menteri.

post-cover
Lee Kuan Yew, Perdana Menteri Singapura dari tahun 1959–1990. (Dok. Wiki)

Ketika matahari terbit di atas Marina Bay, refleksi cahayanya membawa bersamanya harapan-harapan baru, namun juga bayang-bayang masa lalu.

Pembicaraan tentang nepotisme di Singapura mencapai puncaknya ketika perselisihan antara Lee Hsien Loong dan saudara-saudaranya mengenai rumah leluhur mereka menjadi sorotan publik. Tuduhan nepotisme mulai bergulir di media sosial, memunculkan pertanyaan besar tentang apakah meritokrasi di Singapura telah tergerus oleh nepotisme.

Dalam udara yang dingin dan segar, angin membawa bersamanya bisikan-bisikan kebenaran yang tersembunyi. Di dalamnya tersembunyi sebuah ironi, di mana negara yang dikenal karena sistem meritokrasinya, kini menghadapi dilema nepotisme.

Saat matahari tenggelam, siluet gedung-gedung pencakar langit menggambari langit Singapura, menyiratkan akhir dari sebuah era dan mungkin awal dari era baru. Di Singapura, perdebatan antara meritokrasi dan nepotisme terus bergulir, mencerminkan rasa tidak puas sebagian masyarakat terhadap dominasi politik keluarga Lee.

Masyarakat Singapura berdiri di persimpangan jalan, dengan pilihan sulit di depan mereka: mempertahankan sistem meritokrasi yang telah lama dihargai atau mengakui adanya nepotisme yang mungkin telah menggerogoti fondasi meritokrasi.

Vietnam: Pertarungan Panjang Melawan Nepotisme

Nepotisme, sebuah fenomena yang bukan asing lagi dalam politik Vietnam. Sepanjang sejarah, negara ini telah melihat bagaimana nepotisme bisa menggerogoti fondasi keadilan sosial dan meritokrasi. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, Vietnam telah menunjukkan keinginan kuat untuk memerangi nepotisme di tingkat tinggi, meskipun dengan tantangan besar yang ada di hadapan.

Dalam gelombang reformasi baru, pemerintah Vietnam telah memperkenalkan sejumlah aturan ketat untuk mencegah nepotisme. 

Mengutip VN express, Sebuah kisah yang menarik adalah dari tahun 2017, ketika sebuah kasus nepotisme terungkap dan menggemparkan masyarakat. Seorang pejabat senior terbukti telah mengangkat anggota keluarganya ke posisi kepemimpinan dalam pemerintahan. Pemerintah dengan tegas mengambil tindakan, mencerminkan keseriusan baru dalam memerangi nepotisme.

Namun, perjuangan melawan nepotisme tidaklah mudah. Meskipun ada langkah-langkah hukum baru, tetap saja tantangan dalam implementasi dan penegakan hukum tetap ada. Di balik gerbang-gerbang pemerintahan, masih ada kemungkinan praktik nepotisme berlangsung di balik tirai.

Vietnam, dengan sejarah panjangnya, kini berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, ada harapan baru dan langkah-langkah konkret untuk memerangi nepotisme. Di sisi lain, bayang-bayang masa lalu dan tantangan implementasi hukum baru terus menghantui.

Tentu saja, perjuangan melawan nepotisme adalah perjalanan panjang yang membutuhkan komitmen kuat dari pemerintah dan dukungan aktif dari masyarakat. Vietnam, dengan langkah-langkah baru ini, mungkin telah menetapkan batu loncatan untuk era baru yang lebih transparan dan adil dalam politiknya.

Malaysia: Bayang-Bayang Lama dalam Panggung Politik Baru

Salah satu episode paling mencolok dari nepotisme di Negeri Jiran terjadi pada era pemerintahan Perdana Menteri Mahathir Mohamad. Anaknya, Mukhriz Mahathir, dengan cepat menanjak dalam hierarki politik, memicu spekulasi dan kritik dari berbagai kalangan. Meski begitu, fenomena nepotisme bukanlah hal baru di Malaysia, dan telah menjadi bagian dari lanskap politik negara ini selama beberapa dekade.

post-cover
Menteri Mahathir Mohamad bersama Anaknya, Mukhriz Mahathir. (Dok. Selangor)

Namun, dalam perjalanannya, nepotisme di Malaysia bukan hanya terbatas pada level pemerintahan pusat, namun juga merasuk ke dalam politik lokal dan regional. Beberapa keluarga telah lama mendominasi panggung politik di beberapa negara bagian, mempertahankan kekuasaan dari generasi ke generasi.

Pemerintah Malaysia baru-baru ini telah menunjukkan keinginan untuk memerangi nepotisme dan korupsi. Namun, tantangan untuk menghilangkan nepotisme sepenuhnya dari politik Malaysia tetap besar. Implementasi aturan yang lebih ketat dan penegakan hukum yang lebih baik menjadi langkah krusial untuk mengatasi masalah ini.

Di bawah langit senja Kuala Lumpur, Malaysia tampaknya berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, ada keinginan kuat untuk mengubah status quo dan memerangi nepotisme. Di sisi lain, perjalanan untuk mencapai tujuan ini tampaknya masih panjang dan penuh rintangan.

Pada akhirnya, perjuangan melawan nepotisme dan upaya untuk mempromosikan tata kelola yang lebih baik merupakan bagian penting dari agenda reformasi politik di banyak negara Asia Tenggara. 

Meskipun banyak tantangan yang dihadapi, langkah-langkah menuju transparansi yang lebih besar dan akuntabilitas dalam politik kawasan ini akan penting untuk memastikan bahwa demokrasi di SEA dapat berkembang dan memenuhi harapan rakyatnya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button