Kanal

Pilihan Sulit Bagi Jokowi, Jadi “King Maker” atau Negarawan

Petinggi parpol yang menjadi menteri sejauh ini mengikuti maunya istana bukan dilakukan atas dasar ketundukan, melainkan untuk mengamankan kursi kekuasaan mereka. Para menteri yang berasal dari partai politik pada akhirnya akan fokus pada aktivitas kepartaian. Satu persatu menteri akan “meninggalkan” Jokowi.

Senin (14/11/2022) lalu Litbang Kompas merilis hasil survei mengenai seberapa besar pengaruh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam mendukung sosok calon presiden (capres) untuk maju pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Pertanyaan utamanya adalah, “Apakah Anda akan memilih sosok calon presiden yang disarankan oleh Presiden Joko Widodo?”

Hasilnya, hanya 15,1 persen warga yang yakin memilih sosok capres yang didukung Jokowi. Sementara 35,7 persen responden masih mempertimbangkan, 30,1 persen tidak akan memilih sosok yang disarankan Jokowi itu, dan 19,1 persen sisanya tidak tahu. Survei ini dilakukan pada 24 September-7 Oktober 2022 secara tatap muka.

Apa makna angka angka hasil survei ini? Paling tidak ada dua sudut pandang dalam melihat hal ini. Pertama, kelompok yang menyebut hasil survei Litbang Kompas menjadi cermin bahwa pengaruh Jokowi itu tidak signifikan. Jadi, endorse Jokowi ke capres capres tak begitu berpengaruh, kalaupun ada efeknya kecil. Ada semacam kebimbangan publik terhadap kinerja Jokowi.

“Jika dilihat, kebimbangan publik ini bisa jadi dipengaruhi faktor belum bulatnya rasa percaya dan keyakinan publik pada kinerja pemerintahan yang dipimpin Presiden Jokowi,” tulis Litbang Kompas, Senin (14/11/2022).

Kedua, kelompok yang meyakini figur Jokowi tetap punya magnet elektoral yang tidak kecil. Mereka menilai angka 15 persen hasil survei Litbang Kompas itu hanya pijakan dasar yang masih mungkin akan terus meningkat seiring semakin baiknya kinerja Jokowi di akhir akhir masa jabatannya.

Ini pula yang mendorong kelompok relawan Jokowi untuk terus bergerak lewat berbagai musyawarah rakyat (Musra) dan menyaring aspirasi terkait sosok presiden yang diinginkan di tahun 2024 nanti. Fakta menunjukkan, gerak langkah relawan ini punya andil yang cukup signifkan dalam mendorong Jokowi dua periode menjejakan kaki ke Istana Kepresidenan.

Sepanjang Jokowi masih menjabat sebagai presiden, para relawan  ini hampir pasti akan “setia” dan manut ke Jokowi.  Musababnya, nyaris semua relawan Projo dihadiahi posisi empuk sebagai komisaris di berbagai BUMN. Sebuah praktik politik “balas jasa” yang lazim dan merupakan lagu lawas yang tetap enak didendangkan.

Data yang dilansir ICW menyebutkan, setidaknya, sebanyak 46 orang pendukung politik Jokowi baik dari TIm Kampanye Nasional (TKN), relawan, maupun organisasi tertentu menjadi komisaris anak perusahaan BUMN. Bahkan Ketua Umum Relawan Projo Budi Arie Setiadi didapuk menjadi Wakil Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.

“Jumlahnya ketika kita lihat sekurang-kurangnya ada 46 orang pendukung politik Pak Jokowi,” ujar Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana dalam konferensi pers Evaluasi Tiga Tahun Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf: Surplus Jargon Antikorupsi, Nihil Implementasi. yang disiarkan di YouTube Sahabat ICW, Minggu (13/11/2022).

Magnet Politik Jokowi

Dalam survei Litbang Kompas lainnya disebutkan, tingkat kepuasan publik terhadap Jokowi masih berada di angka 67,1 persen. Jumlah ini relatif tinggi, walaupun turun dibanding survei pada Januari 2022 yang berada di angka 73,9 persen. Persentase tersebut bila dikonversi menjadi pemilih tentu  cukup tinggi.

Karena itu, gerak, arah politik dan isyarat Jokowi dianggap akan tetap diperhitungkan dan menjadi salah satu kunci pada pilpres 2024 mendatang. Realitas ini sepertinya difahami betul oleh Jokowi dan penasihat politiknya.

Tak heran jika Jokowi memberi dukungan penuh bagi kegiatan gabungan relawan Projo dengan kegiatanya Musra-nya. Jokowi tetap  menggalang dan memelihara massa akar rumput di luar stuktur partai.

“Kita bekerja keras menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada. Tidak usah grasa-grusu. Kalau ada yang mempengaruhi, sampaikan nanti dulu. Setuju?” kata Jokowi saat acara silaturahmi Tim 7 Relawan Jokowi di Ancol, Jakarta, Sabtu (11/6/2022).

Jokowi berjanji, ia pasti akan mengajak relawan bersikap untuk mendukung salah satu calon presiden di masa depan. Ia mengajak para relawan untuk fokus mendengar suara akar rumput atau suara rakyat dan para relawanlah yang bertugas untuk mendengar suara-suara Pemilu 2024.

“Nanti kepada bapak ibu saudara semuanya. Siapa?” kata Jokowi. “Saya akan bertanya siapa? Sehingga itu nanti menjadi keputusan bersama, bukan keputusan saya, tapi keputusan relawan kita,” tutur Jokowi.

Jelas dan tanpa tedeng aling-aling. Jokowi pada saatnya akan meng-endorse dan menentukan siapa presiden pilihannya.

Dalam kaitan ini banyak pihak menyayangkan sikap Jokowi yang seolah “merestui” gerak langkah para relawan.

Pengamat Politik Refly Harun menilai apa yang dilakukan para relawan Jokowi bisa mencoreng nama mantan Walikota Solo tersebut. Sebab, mereka berani membawa-bawa nama Jokowi untuk kegiatan di luar urusan kenegaraan.

Dia menilai, seharusnya sudah sejak lama Presiden Jokowi membubarkan para relawan. Pasalnya, begitu dilantik menjadi seorang presiden, Jokowi merupakan pemimpin bagi seluruh rakyat Indonesia bukan presiden bagi para relawan. “Relawan itu tidak boleh bawa-bawa nama presiden,” ucapnya kepada Inilah.com, Senin (14/11/2022).

Menurut Refly, selama ini Jokowi telah melakukan pembiaran bahkan bisa dibilang merawat para relawan. “Ini adalah hal yang keliru dari Presiden Jokowi, seharusnya dibubarkan saja relawan itu sejak dilantik menjadi presiden,” tegasnya.

Jika terus dibiarkan, Refly khawatir akan ada banyak kepentingan yang disalurkan melalui kegiatan safari politik para relawan ini.  “Selama Jokowi masih menjabat, tentu ini akan mengundang konflik kepentingan,” tandas dia.

Jokowi “King Maker”

Sementara langkah endorsement atau mendukung tokoh tertentu oleh Jokowi dipandang sebagai suatu manuver dan wujud langkah politik yang bermain di banyak kaki.

“Kemesraan dengan Prabowo. Dia juga mesra dengan Ganjar, dan ini segala macam. Saya kira memang konsentrasi publik ini dipecah oleh Pak Jokowi,” kata Direktur Eksekutif Kajian Politik Nasional (KPN) Adib Miftahul Adib kepada Inilah.com, Senin (14/11/2022).

“Mungkin langkah Pak Jokowi soal dukung mendukung, juga masih dinilai oleh publik bermain di banyak kaki,” ujar Adib menambahkan.

Namun, kata dia melanjutkan, endorsement dari Jokowi itu sendiri dianggap penting oleh partai politik. “Karena Jokowi menghadirkan soal egaliterisme dalam politik begitu kira-kira. Egaliter, merakyat dan sebagainya. Jadi suka atau tidak suka, endorsement Jokowi itu penting,” kata Adib pula.

Bahkan menurut pengamat politik Boni Hargens, Jokowi memiliki kekuatan yang melampaui partai politik. “Ini menunjukkan bahwa seorang Jokowi beyond partai politik,” kata Boni, Senin (14/11/2022).

Ia menilai, endorsement Jokowi berdampak pada kenaikan elektabilitas tokoh tersebut. Untuk itu, kata Boni, para tokoh yang bakal maju sebagai capres perlu harus mendekatkan diri dengan Jokowi.

Bahkan, Boni menyebut, Jokowi sudah menjadi seorang king maker dalam Pilpres 2024. “Fakta bahwa Pak Jokowi king maker,” kata Boni menegaskan.

Namun soal king maker  ini justru dipandang berbeda Adib Miftahul. Perilaku politik Jokowi yang belakangan sering menebar dukungan ke tokoh tertentu justru menimbulkan kesan seolah Jokowi seperti sosok raja yang sedang ingin mewariskan jabatannya. Ada gejala sindrom kekuasaan setelah 10 tahun berkuasa.

Hal serupa pernah terjadi saat era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). “Saya kira bukan hanya Pak Jokowi, Pak SBY pun juga seperti itu. Dulu malah dalam tanda kutip tidak rela kan ketika Anas menjadi ketum Demokrat. Ini lah sindrom kekuasaan, saya kira memang ini yang sering kita kritik begitu, bahwa dukung mendukung boleh tetapi harus dilakukan secara proporsional dan bermartabat,” terang Adib kepada inilah.com Senin (14/11/2022).

Pengamat politik Universitas Andalas Andri Rusta menyampaikan hal senada. Dia mengingatkan, Indonesia bukan negara monarki, meski tak bisa dipungkiri bahwa Jokowi pasti punya keinginan tertentu sebagai sosok presiden.

“Karena Indonesia bukan negara monarki yang seperti ada raja lalu mewariskan jabatan yang dia mau ke orang-orang, tapi tentu sebagai seorang presiden dia tentu juga punya preferensi-preferensi atau keinginan-keinginan tertentu. Terutama untuk membangun dan melanjutkan fondasi-fondasi pembangunan yang sudah dibangunnya selama ini,” terang Andri.

Kutukan Dua Periode

Akhirnya kita hanya ingin mengatakan ada baiknya Presiden Jokowi fokus mengurusi berbagai pekerjaan rumah yang masih tersisa di ujung masa pemerintahannya. Mengapa seperti itu ?

Burhanuddin Muhtadi dalam bukunya Populisme, Politik Identitas, dan Dinamika Elektoral: Mengurai Jalan Panjang Demokrasi Prosedural menyebut, koalisi partai politik di Indonesia bersifat pragmatis karena berbasis pada office seeking, bukan policy seeking.

Itu sebabnya, koalisi dan postur Kabinet Indonesia Maju  yang dibentuk semata-mata demi meraih dan atau mempertahankan kursi kekuasaan, di akhir masa jabatan presiden sangat rawan dan patut dipertanyakan efektivitasnya.

Petinggi parpol yang menjadi menteri sejauh ini mengikuti maunya istana bukan dilakukan atas dasar ketundukan, melainkan untuk mengamankan kursi kekuasaan mereka.

Jika mengacu pada fenomena second-term curse (kutukan periode kedua) dan lame duck president (presiden bebek lumpuh), pengaruh dan kontrol Jokowi terhadap partai koalisi dipastikan akan menurun dan melemah.

Para menteri yang berasal dari partai politik pasti akan fokus pada aktivitas kepartaian. Bahkan mereka akan memanfaatkan kekuasaannya untuk kepentingan partai dan kelompoknya. Satu persatu menteri akan “meninggalkan” Jokowi.

Fenomena ini terjadi pada SBY di akhir periode keduanya. Sebagai Presiden yang masih berkuasa, serta memiliki partai yang memperoleh suara terbesar di Pemilu 2009, SBY tidak mampu menjadi king maker ataupun diminta political endorsement-nya. Lebih memprihatinkan lagi, peroleh suara Partai Demokrat menurun dan kini menjadi pemain papan tengah.

Jadi, Pak Jokowi jangan gede rasa dulu. Pilihannya tetap cawe cawe menjadi king maker, atau menjadi negarawan dan mendarat mulus di akhir masa jabatan dengan meninggalkan legacy yang oke. Salam.

Wiguna Taher (Pemimpin Redaksi Inilah.com)

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button