Kanal

Tentang Lead Pada Jenis Berita Straight News

Dengan demikian, tulisan straight news pun memungkinkan penulis memasukkan kreativitasnya untuk menarik perhatian via lead yang ia bikin. Artinya, dia masih punya peluang satu dua kalimat untuk membuat awal tulisannya itu lebih kaya, lebih informatif, atau bahkan lebih membuka imajinasi pembaca.

Oleh   : Darmawan Sepriyossa

Straight news dalam bahasa Indonesia disebut berita langsung. Ciri paling utama berita jenis ini adalah penggunaan gaya bahasa yang to the point atau lugas. Berbeda dengan jenis berita lainnya, straight news mengabarkan atau melaporkan kejadian terbaru yang sifatnya aktual. Semua definisi di atas saya kutip dari Kompas.com,”Straight News: Pengertian dan Cirinya”.

Persoalannya, apakah straight news atawa hardnews itu harus sedemikian kaku, sehingga menisbikan sisi kreativitas si penulis? Sementara, hal paling mendasar dari pekerjaan seorang wartawan/penulis, bukankah justru adalah kreatif-krea-tivitas itu? Tanpa kreativitas, tiadanya keinginan untuk terus berkreasi agar membuat tulisannya “enak dibaca dan perlu”—dua hal pokok yang memang harus terwujud dalam tulisan—sejatinya seorang wartawan sudah harus menyiapkan peti mati buat dirinya.

Karena itu, saya sendiri memandang kreativitas selalu dibolehkan, bahkan dalam penulisan berita straight news, yang–entah mengapa—selalu dianggap oleh kalangan wartawan sendiri harus ‘kaku, rigid dan dingin’. Bahkan seolah, upaya penulis untuk memasukkan unsur kreatifnya pada berita jenis ini bisa menjadi sebuah ‘dosa’  yang tak berampun.

Padahal, bila kita mau mengingat, bukankah cara penulisan straight news yang umum saat ini, yakni menggunakan pola ‘piramida terbalik’, adalah sebuah penemuan baru pada awalnya, yang saat itu mengguncang jagad kewartawanan.

Semua dimulai pada 1880-an, pada saat kantor berita Associated Press memerin-tahkan para penulisnya untuk menyampaikan semua fakta penting dalam paragraf pertama. Pada February 1890, John P. Dunning, seorang koresponden AP yang meliput bencana topan di Samoa pada 1889, menulis paragraf pembuka atau lead yang segera menjadi model pada masa itu:

Pada lead artikel di “St Nicholas Magazine” itu Dunning menulis:

Apia, Samoa, 30 Maret—Topan yang paling dahsyat dan merusak yang pernah terjadi di Pasifik Selatan melanda Kepulauan Samoa pada tanggal 16 dan 17 Maret, dan sebagai akibatnya, sebuah armada dengan enam kapal perang dan sepuluh kapal lainnya hancur kandas di atas karang pelabuhan atau terhempas ke pantai di hadapan kota kecil. Apia, dan 142 perwira dan orang-orang dari angkatan laut Amerika dan Jerman tidur selamanya di batu karang atau terkubur di kuburan tanpa tanda pengenal, ribuan mil dari negeri asal mereka.

Saya sependapat, menurut ukuran saat ini, lead di atas masih terlalu panjang dan bertele-tele.

Piramida terbalik sendiri adalah cara penyusunan tulisan yang meletakkan informasi-informasi pokok di bagian atas, dan informasi yang tidak begitu penting di bagian setelah itu. Dengan begitu akan mudah bagi editor untuk membuang bagian tulisan bila tulisan itu perlu diperpendek. Ini tentu saja sangat diperlukan pada era media cetak yang memiliki halaman terbatas.

Apalagi karena cara penulisan pun–sebagaimana kita tahu–terus mengalami evolusi dan perkembangan. Kita tahu, sejak era 1960-an pun di AS telah berkembang apa yang disebut tulisan creative non-fiction (Non-Fiksi Kreatif), yang saat itu sejatinya dilakukan dalam persaingan media cetak dengan televisi. Mulailah dikenal apa yang disebut literary journalism (jurnalisme sastrawi).

Di era mulainya kepercayaan bahwa sudut pandang penulis menjadi bagian integral dari cerita apa pun, para wartawan cum penulis pun menemukan tempatnya. Di era ini kita mengenal nama-nama besar dunia penulisan, antara lain, Truman Capote yang pada 1966 menulis “In Cold Blood”, tulisan  Norman Mailer tentang demonstrasi anti-perang di Pentagon, “The Armies of the Night,” yang memenangkan Hadiah Pulitzer. Kita juga mengenal nama-nama penulis-wartawan seperti George Orwell, Ernest Hemingway, John Steinbeck, James Agee dan Martha Gellhorn, yang tak lekang hingga saat ini. Kita tahu, bahkan Hemingway dan Steinbeck berhasil memenangkan Hadiah Nobel. Sejak saat itu pula kita mengenal The New Yorker, media yang hingga kini tetap setia  menampilkan jurnalisme sastra yang tetap ketat berbasis fakta.

Jadi, bila saat ini media tulis (bukan hanya cetak) punya sejumlah kompetitor kuat, termasuk medsos dan kecenderungan public untuk menonton video, adalah tuntutan yang niscaya bagi para wartawan untuk menghidupkan Non-Fiksi Kreatif (creative non-fiction), atau bahkan kreasi lain yang paling baru, sepanjang ia mengutamakan fakta sebagai komponen utama karyanya.

Dengan demikian, tulisan straight news pun memungkinkan penulis memasukkan kreativitasnya untuk menarik perhatian via lead yang ia bikin. Artinya, dia masih punya peluang satu dua kalimat untuk membuat awal tulisannya itu lebih kaya, lebih informatif, atau bahkan lebih membuka imajinasi pembaca.

Pada satu dua kalimat awal, penulis masih bisa mengajak pembaca berimajinasi, membayangkan peristiwa yang dialami korban. Misalnya:

Bilah tajam baja dingin yang menempel di lehernya itu membuat Peter Tonsen Barahama, kapten kapal tugboat Brahma 12, tak bisa berkutik. Ia memilih menyerah ketika kelompok Abu Sayyaf membajak kapalnya itu di perairan Mindanao, Rabu (23/3/2016) lalu. Dan seterusnya sebagaimana laiknya tulisan straight news.

Atau contoh-contoh lain.

Meski demikian, dalam straight news penulis harus bersegera untuk menuliskan hal penting yang menjadi ‘kelengkapan’sebuah berita. Hal itu adalah unsur 5W 1H yang awalnya ‘ditemukan’ sebagai formula pembantu oleh novelis cum wartawan Inggris, Rudyard Kipling. Saat masa kecil kita mengenalnya dari bukunya yang terkenal “The Jungle Book”.  Untuk straight news yang—katakanlah—perlu sekitar 5-8 alinea, penulis sudah bisa mengurai semua W dan H yang diperlukan pembaca.

Tentang “Non-Fiksi-Kreatif” sendiri, Kamus Oxford mendefinisikan “creative” sebagai “memanfaatkan sesuatu secara imajinatif dan terampil untuk menghasilkan, misalnya, karya seni”, sementara “non-fiction” didefinisikan sebagai “karya sastra selain fiksi”.

Dengan menggabungkan dua definisi tadi kita bisa mengatakan bahwa non-fiksi-kreatif adalah “karya sastra di luar fiksi yang melibatkan penggunaan teknik penulisan secara imajinatif”. Dengan kata lain, karya Non-Fiksi-Kreatif bukanlah karya fiksi karena karya non-fiksi kreatif dibuat atau dirangkai dari realitas atau fakta (bukan imajinasi). Sisi kreatif tersebut meliputi penggunaan aspek-aspek penulisan, seperti dialog yang dipilih dan dirangkai secara cermat, deskripsi latar tempat/tokoh, teknik karakterisasi (penokohan), dan banyak lagi. Penulis bisa juga memanfaatkan aspek-aspek puisi-–barisan syair untuk digabungkan dengan prosa yang tulis.

Adapun  soal jenis lead yang digunakan, bisa jenis lead apapun. Yang paling penting tentu saja bahwa lead tersebut harus bisa memenuhi fungsinya, yakni antara lain menarik pembaca, serta memberikan ‘jembatan’ kepada alinea-alinea seterusnya. [ ]

*Awalnya  ditulis sebagai materi pelatihan untuk reporter muda Inilah.Com  

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button