Market

Pengamat Curigai Impor Beras Diketok Palu Menjelang Tahun Politik

pengamat-curigai-impor-beras-diketok-palu-menjelang-tahun-politik

Kebijakan impor beras menjelang 2023 yang disebut tahun politik, menuai banyak spekulasi. Impor komoditas yang acapkali seiring dan sejalan dengan praktik rente, menguntungkan kelompok tertentu. Yang buntung tetap saja petani.

Ekonom dari Pergerakan Kedaulatan Rakyat (PKR), Gede Sandra menerangkan, praktik rente dalam importasi beras yang menyeret elit penguasa atau parpol, bukanlah rahasia umum. Pernah terjadi di era Gus Dur ketika Rizal Ramli menjabat Kepala Bulog (Kabulog).

“Kini, era Jokowi memutuskan impor beras. Menjelang tahun politik pula. Indikasi penggalangan dana untuk pemilu 2024, sulit kita abaikan,” ungkap Gede kepada Inilah.com, Jakarta, Kamis (8/12/2022).

“Jelas kita tolak karena petani yang paling dirugikan. Beberapa kali kami bicara dengan kawan-kawan petani, persediaan beras atau gabah di daerah berlimpah. Kok Bulog mau impor. Borong saja gabah petani di daerah, tapi enggak ada cuan. Beda kalau impor, cuannya gede,” imbuh Gede.

Seharusnya, kata Gede, pemerintahan Jokowi fokus untuk memakmurkan petani. Caranya mudah sekali. Perbandingan harga gabah dengan harga pupuk haruslah besar. Minimal angkanya bisa 1,5, pertanda petani sejahtera. “Kalau sekarang perbandingan harga gabah dengan pupuk, kurang dari 1. Artinya biaya produksi khususnya pupuk, bikin berat petani. Apalagi ada beras impor. Semakin terpuruk petani kita,” terang Gede.

Direktur Eksekutif Institute for Development on Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menyebut adanya kelompok yang diuntungkan dari importasi beras. Namun petani yang justru buntung.

“Kita enggak tahu ada mafia pangan atau apa, tapi kalau barangnya impor pasti ada yang diuntungkan. Saya tidak mau menuduh, tapi pasti ada yang diuntungkan dari hal ini. Seharusnya yang diuntungkan para petani,” kata Tauhid.

Menurutnya, dampak importasi kepada para petani sangat besar. Sebab petani terpaksa menjual gabah atau berasnya dengan harga rendah.
“Hal ini dampaknya kepada kemiskinan akan makin tinggi, karena petani kita kan rata-rata tanaman pangan. Jadi bukan tambah baik, malah tambah buruk,” terangnya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button