News

Tingkat Kepuasan Terhadap Jokowi Anjlok, Pengamat: Imbas Kebijakan Tak Pro Rakyat

Senin, 24 Okt 2022 – 17:56 WIB

Aksi teatrikal buruh tolak kenaikan BBM.

Aksi teatrikal buruh menolak kebijakan pemerintahan Jokowi menaikkan harga BBM. (Foto: Inilah.com/Agus Priatna)

Langkah pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin mengeluarkan kebijakan yang tak populis berbuntut negatif. Pasalnya, kebijakan semacam itu memicu anjloknya tingkat kepuasan masyarakat terhadap pemerintahan Jokowi-Ma’aruf Amin.

“Misalnya BBM dinaikkan di tengah masyarakat sudah tiga tahun mengalami pandemi COVID-19. Kemudian, menaikkan pajak dengan adanya Undang-undang HPP (Harmonisasi Peraturan Perpajakan), pemerintah terus bernafsu menaikkan pajak, menaikkan BBM itu, terus harga pangan naik terus,” Pengamat Kebijakan Publik, Trubus Rahadiansyah kepada Inilah.com, Senin (24/10/2022).

Diketahui, data terbaru yang dikeluarkan Litbang Kompas, bulan Oktober 2022, tingkat kepuasan dan keyakinan masyarakat terhadap pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin anjlok ke angka 62,1 persen. Padahal, pada Juni 2022 lalu mencapai 67,1 persen. Artinya, ada penurunan sekitar 5 persen. Di sisi lain, tingkat kepuasan terhadap kinerja Jokowi juga sempat mencapai titik tertinggi pada Januari 2022 lalu dengan perolehan angka 73,9 persen.

Trubus menjelaskan, lahirnya kebijakan tak populis atau tak sejalan dengan rakyat ini imbas ketidaktelitian pemerintah. Oleh karena itu, kondisi masyarakat semakin memprihatinkan. Bahkan, dia menyebut sudah sampai pada tingkat kemiskinan ekstrem.

“Nah jadi itu yang menyebabkan kenapa publik kemudian public trust-nya menurun gitu, dan juga akan semakin turun terus sampai 2024. Menurut saya ini akibat inkonsistensi kebijakan pemerintah sendiri terkait dengan istilahnya kebutuhan-kebutuhan publik,” ujarnya menegaskan.

Kelompok Oligarki

Lebih lanjut, Trubus mengemukakan pemicu lain anjloknya kepuasan masyarakat berkaitan dengan kelompok oligarki. Oligarki bermakna pemerintahan dijalankan oleh beberapa orang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu.

“Jadi ada kelompok-kelompok tertentu yang diuntungkan gitu. Dalam hal pandemi COVID-19, pemerintah membuat kebijakannya yang pro kepada pelaku-pelaku usaha itu. Pemerintah mengubah-ubah sampai harga yang terakhir vaksin saja berapa itu, sampai Rp200 ribu. Padahal harga aslinya Rp96 ribu,” terang Trubus.

Tidak hanya itu, Trubus juga menyinggung berbagai kebijakan pemerintah yang justru semakin menyengsarakan masyarakat, juga menunjukkan pemerintah yang rakus uang.

“Ini semuanya karena pemerintah istilahnya rakus duit. Dana masyarakat malah dibentuk-bentuk itu menaikkan harga-harga, menaikkan semua. Tarik-tarik, termasuk juga BPJS juga seperti itu kan, itu yang disemua sektor kayak gitu. Jadi karena itu masyarakat akhirnya, istilahnya sudah tidak percaya lagi dengan pemerintah,” kata Trubus.

Padahal, pemerintah Indonesia seharunsnya dapat belajar dari krisis yang terjadi di Inggris. Trubus juga menyinggung bahwa pemerintahan saat ini lebih mengedepankan infrastruktur dibandingkan kebutuhan rakyatnya.

“Pemerintah Jokowi-Ma’ruf Amin ini lebih asik dengan yang berbau infrastruktur. Itu sesuatu yang nilai jualnya minim gitu. Menghabiskan anggaran seperti mengejar kereta cepat Jakarta-Bandung dan akhirnya anggarannya bertambah terus sehingga kepercayaan publik makin turun karena pemerintah tidak jelas,” terangnya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button