Market

Tugas Pemenang Pilpres 2024, Atasi Kerusakan Lingkungan Halmahera Akibat Tambang Nikel


Ada tugas berat bagi pemenang pilpres tahun ini untuk mengatasi kerusakan lingkungan akibat kebijakan hilirisasi nikel di Indonesia. Apalagi pencemaran lingkungan ini sudah menjadi perhatian aktivis lingkungan asal AS, Climate Rights Intenational (CRI).

Bahkan mereka sudah melaporkan hasil investigasi parahnya lingkungan di Kepulauan Halmahera Provinsi Maluku pada bulan Januari lalu. Temuan CRI pun menjadi sorotan media international seiring turunnya harga nikel dunia karena kelebihan pasokan dari Indonesia yang dijual perusahaan asal China.

Dalam laporan tersebut CRI melakukan investigasi untuk mengungkapkan akibat polusi yang ditimbulkan oleh industri peleburan (smelting) di Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) serta penambangan nikel di kepulauan tersebut.

Pulau Halmahera di Provinsi Maluku Utara merupakan salah satu “Pulau Rempah “, rumah bagi pala, fuli, cengkeh, dan berbagai produk lain yang menarik minat kolonial Eropa untuk datang ke wilayah ini sejak abad ke-16 silam. Namun sejak 2018 lalu, pembangunan IWIP dimulai, sebuah kompleks industri bernilai miliaran dolar AS seluas 5.000 hektar yang berlokasi di Desa Lelilef, Halmahera Tengah, Maluku Utara.

IWIP dibangun dengan sangat cepat, mulai beroperasi pada tahun 2020, kurang dari dua tahun setelah proyek ini diumumkan. Daerah pegunungan di sebelah utara kawasan industri ini kaya akan cadangan nikel.

Selain emisi gas rumah kaca dari pembangkit listrik tenaga batu bara di IWIP, pertambangan nikel di dekatnya juga menjadi pemicu deforestasi yang signifikan, yang merupakan penyebab lain dari krisis iklim dan musnahnya keanekaragaman hayati.

Dengan menggunakan analisis geospasial, Climate Rights International (CRI) dan AI Climate Initiative di University of California, Berkeley, menetapkan bahwa setidaknya 5.331 hektar hutan tropis telah ditebang di dalam konsesi pertambangan nikel di Halmahera, yang berarti hilangnya sekitar 2,04 metrik ton gas rumah kaca (CO2e) yang sebelumnya tersimpan dalam bentuk karbon di dalam hutan-hutan tersebut.

Dalam laporan investigasi tersebut CRI menurunkan wawancara dengan warga setempat tentang proses pembebasan lahan diwarnai dengan perampasan tanah, sedikit atau bahkan tanpa kompensasi, serta penjualan tanah yang tidak adil. “Tanah milik masyarakat yang tinggal di dekat IWIP telah dirampas, digunduli, atau digali oleh perusahaan nikel dan pengembang tanpa persetujuan mereka,” tulis laporan tersebut dikutip Rabu (14/2/2024).

Beberapa anggota masyarakat yang enggan menjual tanah mereka atau menolak harga tanah yang ditawarkan mengalami intimidasi, menerima ancaman, dan menghadapi pembalasan dari perwakilan perusahaan, aparat kepolisian, dan anggota Tentara Nasional Indonesia. Kedatangan industri nikel telah mendorong bertambahnya kehadiran polisi dan tentara di desa-desa dekat IWIP, termasuk satu Mako Brimob dan sebuah pos jaga TNI.

Seiring dengan transformasi industri nikel di wilayah ini, masyarakat pesisir dan hutan sedang menghadapi ancaman eksistensial terhadap mata pencaharian dan cara hidup tradisional mereka. Selama beberapa generasi, masyarakat yang tinggal di Halmahera Tengah dan Timur bergantung pada sumber daya alam untuk menghidupi diri mereka serta keluarga sebagai nelayan tradisional, petani, pembuat sagu, dan pemburu.

“Perusakan hutan akibat industri nikel, akuisisi lahan pertanian, degradasi sumber air bersih, dan kerusakan sumber perikanan telah mempersulit, jika bukan mustahil, untuk meneruskan cara hidup tradisional mereka.”

Pencemaran Lingkungan

Salah seorang warga, FN (65 tahun) mengatakan sejak perusahaan-perusahaan tambang datang ke daerahnya, ia menghindari penggunaan air dari sungai Lelilef. “Ada penggundulan hutan di hulu sungai. Jadi kalau hujan turun, air sungai berubah warna menjadi coklat tua dan berlumpur, yang mengindikasikan bahwa air sungai telah tercampur dengan endapan tanah dari daerah hulu, yang juga mengindikasikan adanya pencemaran logam berat yang berbahaya,” kata FN bercerita kepada tim CRI.

Penduduk di desa-desa sekitar IWIP juga mengkhawatirkan adanya masalah kesehatan baru yang muncul, termasuk gangguan pernapasan dan kulit, sehubungan dengan pencemaran akibat pembangunan dan pengoperasian IWIP serta pembangkit listrik tenaga batu baranya.

IWIP adalah gabungan dari tiga perusahaan swasta yang berkantor pusat di Republik Rakyat Tiongkok yakni Tsingshan Holding Group, Huayou Cobalt Group, dan Zhenshi Holding Group. Selain ketiga pemegang saham ini, ada semakin banyak perusahaan yang telah mengumumkan rencana untuk membangun fasilitas industri di kawasan IWIP untuk memproduksi bahan nikel yang dibutuhkan untuk baterai EV.

Eramet dan BASF telah mengumumkan rencana untuk membangun fasilitas pemurnian nikel dan kobalt, yang disebut Sonic Bay, yang akan menghasilkan 67.000 ton nikel dan 7.500 ton kobalt per tahun, dengan menggunakan teknologi pelindian asam bertekanan tinggi (HPAL) yang berpotensi menimbulkan bahaya.

Selain itu, perusahaan raksasa Korea Selatan, POSCO, telah mengumumkan rencana pembangunan pabrik senilai USD441 juta di kawasan IWIP dengan kapasitas produksi mencapai 52.000 metrik ton nikel olahan per tahun, yang cukup untuk memproduksi sekitar satu juta mobil listrik.

“Presiden Jokowi seharusnya memperkuat peraturan perundang-undangan guna meminimalkan dampak pertambangan dan pemurnian nikel terhadap masyarakat, termasuk masyarakat adat,” tulis CRI berharap.

Namun bila pemerintahan Jokowi tidak dapat diharapkan maka pemerintahan baru pemenang pilpres kali ini harus mengatasi kerusakan lingkungan akibat hilirisasi nikel ini.  

 

 

 

 

 

 

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button