Kanal

Adu Privilege Kaesang Vs Moeldoko, Jenderal Tersingkir

Dua sosok ini, sama-sama orang dekat Presiden Jokowi. Sama-sama punya hak istimewa alias privilege. Nafsunya juga sama, kuasai parpol. Tapi hanya satu yang benar-benar sakti.

Terpilihnya Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Jokowi menjadi Ketum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), jelas karena privilege istana.

Tapi, ada pula privilege tak tak sakti. Yakni, ketika Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko gagal ‘membegal’ Partai Demokrat. Padahal, rencana ‘busuk’ ini sudah disiapkan sejak lama.

Jelaslah, kualitas privilege Kaesang ini, beda jauh dengan milik Moeldoko. Bisa jadi kualitasnya abal-abal yang dimiliki Jenderal bintang empat asal Kediri, Jawa Timur itu.

Hanya dalam tempo sesingkat-singkatnya, dua hari setelah menggenggam kartu tanda tanggota (KTA), Kaesang terpilih aklamasi memimpin PSI.

Tak perlu capek-capek lobi sana-sani seperti di musyawarah nasional (munas), muktamar atau kongres parpol. Kaesang cukup tunggu di rumah sang bapak di Solo, KTA dianter Ketum PSI, Giring Ganesha.

Bayangkan, betapa istimewanya Kaesang sehingga Bro Giring ditemani sejumlah pentolan PSI seperti Sis Grace Natalie dan Sis Isyana Bagoes Oka. Padahal, semangat pembentukan partai politik adalah menegakkan demokrasi.

Yang didalamnya mewajibkan adanya checks and balances. Bagaimana mungkin PSI bisa menjalankan fungsi kontrol bila yang berkuasa tetap kroni-kroni Jokowi? Misalnya, pada 2024 nanti kejadian, kubu Jokowi kembali memimpin.

Yang jelas, marwah PSI seketika musnah digerus penghantaran KTA Kaesang di kediaman Jokowi di Solo, Jawa Tengah pada Sabtu (23/9/2023).

Menurut Kaesang, dipilihnya rumah sang ayah di Jalan Kutai Utara, Kelurahan Sumber Kota, Surakarata sebagai tempat penyerahan KTA PSI, karena momentumnya.

Kebetulan, dirinya selaku owner Persis Solo tengah berada di Solo usai menyimak pertandingan Persis Solo melawan Rans FC di Stadion Maguwohardjo, Sleman.

“Kan kebetulan Persis Solo habis menang. Melawan Rans FC di Sleman. Saya kan enggak punya rumah di Sleman. Jadi yo di sini saja. Saya juga sudah izin bapak dan ibu, mau di sini,” kata Kaesang.

Sementara Sekretaris Dewan Pembina PSI, Raja Juli Antoni penjelasannya sami mawon. Bahwa keterbatasan waktu membuat semuanya serba dikebut dan harus di Solo.

“Di mana, hari Sabtu, pimpinan PSI berada di Bandung. sedangkan Ketum PSI (Giring) di Jember (Jawa Timur). Untuk mempersingkat waktu dipilih lokasi di Solo. Yang tak jauh dari Bandung dan Jember,” kata Antoni.

Dua hari kemudian, ‘sepakan’ Kaesang lebih mengejutkan lagi. Meski sejak minggu siang, bergulir informasi bahwa Kaesang bakal didapuk sebagai Ketum PSI pada Senin malam.

Okelah, semuanya begitu mengejutkan karena privilege Kaesang sebagai anak Jokowi, penguasa Indonesia yang tinggal setahun lagi.

Jalan cerita Kaesang ini, jelas beda jauh dengan Moeldoko yang coba-coba merebut Partai Demokrat dari dinasti SB Yudhoyono. Namun tujuannya sama, menguasai partai dengan cepat, tanpa keluar ‘keringat’.

Ceritanya dimulai dengan Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat di Deli Serdang, Sumatera Utara pada 5 Maret 2021. Pelopor KLB ini, adalah mantan anggota DPR Demokrat yang masuk barisan sakit hati.

Diantaranya adalah Jhoni Allen Marbun, Syofwatillah Mohzaib, Marzuki Alie, Darmizal, Yus Sudarso, Ahmad Yahya dan Tri Yulianto.

Termasuk M Nazarudin, eks Bendum Partai Demokrat yang baru bebas dari bui kasus korupsi Wisma Atlit Sea Games di Palembang, Sumatera Selatan. Nazaruddin ini sempat buron dan tertangkap di Cartagena, Kolombia pada 7 Agustus 2011.

Dalam KLB ini, anggota KLB menunjuk Moeldoko sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, periode 2021-2026. Moeldoko mengalahkan Marzuki Alie sebagai nama lain yang diusulkan. 

“Berdasarkan hasil voting, Moeldoko terpilih sebagai Ketua Umum Partai Demokrat periode 2021-2026. Memutuskan menetapkan calon ketua tersebutditetapkan menjadi Ketua Umum Partai Demokrat 2021-2026,” ujar pimpinan rapat KLB Deli Serdang, Jhoni Allen Marbun, Jumat (5/3/2021).

Serta merta pekik “setuju” menggema di ruangan KLB Deli Serdang. Selanjutnya, Jhoni menyebut bahwa kepemimpinan AHY sebagai Ketum Partai Demokrat menjadi demisioner. “Memutuskan Dewan Pimpinan Pusat 2020-2021 yang diketuai AHY dinyatakan demisioner,” kata Jhoni.

Tak usah menunggu sehari, AHY langsung merespons keputusan KLB Deli Serdang dengan sikap bijaksana. Tetap tenang. 

“Saya berdiri di sini, sebagai kapasitas Ketua Umum Partai Demokrat yang sah. KLB di Deli Serdang jelas tidak sah. Ada yang mengatakan bodong, ada yang katakan abal-abal, yang jelas ilegal dan inkonstitusional,” kata AHY, Jumat (5/3/2021).

AHY menjelaskan, KLB yang digelar kubu Moeldoko tidak memiliki dasar hukum. Penyelenggaraan KLB, hanya bisa dilaksanakan jika sudah mendapat dukungan dan dihadiri 2/3 Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) dan 1/2 dari jumlah Dewan Pimpinan Cabang (DPC). Diketahui, Demokrat memiliki 34 DPD dan 514 DPC.

Selain itu, KLB juga mesti mendapat persetujuan dari Majelis Tinggi Partai Demokrat. AHY mengatakan KLB di Sumatera Utara tidak memenuhi syarat tersebut, sehingga dinyatakan ilegal.

“Tiga klausul tersebut tidak dipenuhi sama sekali, tidak dipenuhi para peserta KLB ilegal tersebut. Harusnya 2/3 faktanya seluruh ketua DPD demorkat tidak mengikuti KLB tersebut. Mereka ada di daerah masing-masing,” kata AHY.

Di sinilah tanda-tanda kemenangan AHY menguat. Dan, untungnya, AHY bukanlah termasuk politikus yang cepat panas kupingnya, alias ‘baperan’. Tidak mau grusa-grusu dalam bertindak, AHY tetap saja tenang dan fokus mempersiapkan Pemilu serta Pilpres 2024.

Selanjutnya, hasil KLB Partai Demokrat Deli Serdang diserahkan ke Kementerian Hukum dan HAM untuk disahkan sebagai sebuah keputusan yang mengikat.

Namun, Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly menolak permohonan pengesahan hasil KLB Partai Demokrat Deli Serdang.

“Pemerintah menyatakan bahwa permohonan pengesahan hasil Kongres Luar Biasa di Deli Serdang, Sumatra Utara, pada tanggal 5 Maret 2021, ditolak,” ujar Yasonna didampingi Menko Polhukam, Mahfud MD pada Rabu (31/3/2023).

Yasonna menyebut, penolakan ini lentaran penyelenggara KLB Deli Serdang tidak melengkapi sejumlah dokumen fisik yang disyaratkan. Misalnya dokumen mandat dari ketua DPD dan DPC sebagai peserta KLB.

Atas keputusan ini, Kubu KLB Demokrat Deli Serdang melawan. Pada 25 Juni 2021, mereka resmi mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta atas keputusan Menkumham yang tak mengesahkan hasil KLB yang digelar 5 Maret 2021. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menjadi tergugat dalam perkara tersebut.

“Ini upaya hukum pertama kali yang dilakukan agar kepengurusan hasil KLB ini diakui negara melalui gugatan tata usaha negara ke PTUN Jakarta,” kata kuasa hukum kubu Moeldoko, Rusdiansyah.

Sebelumnya, Demokrat kubu Moeldoko menggugat AHY ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Pusat.

Juru bicara Partai Demokrat kubu Moeldoko, Muhammad Rahmad mengatakan, salah satu isi dari gugatan tersebut, kubu Moeldoko minta AHY membayar ganti rugi Rp100 miliar.

Rahmad mengatakan, pihaknya telah menggugat Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Demokrat 2020. “Gugatan ke Pengadilan Negeri terkait AD/ART 2020 sudah diajukan minggu lalu,” ungkap Rahmad, Selasa (6/4/2021).

Dalam gugatan tersebut, kata dia, pihaknya meminta AD/ART Partai Demokrat 2020 dan kepengurusan DPP Partai Demokrat 2020-2025 dibatalkan.

Selain meminta membatalkan AD/ART 2020, materi gugatan juga meminta PN membatalkan Akta Notaris AD/ART 2020 beserta susunan pengurus DPP Demokrat pimpinan Ketua Umum AHY.

Singkat cerita, keputusannya ambyar semua.

Hoki AHY di Bulan Agustus

Bulan Agustus 2023 bisa jadi menjadi bulan yang tak akan dilupakan AHY. Lantaran, putusan Mahkamah Agung (MA) berpihak kepadanya. Rupanya hukum masih ada di republik ini.

Tepatnya pada 10 Agustus 2023, MA memutuskan menolak peninjauan kembali (PK) yang dilayangkan kubu Moeldoko atas kepengurusan Partai Demokrat. “Amar putusan: tolak,” demikian bunyi status perkara 128PK/TUN/2023 sebagaimana diunggah di situs resmi Kepaniteraan Mahkamah Agung.

Juru bicara Mahkamah Agung Suharto juga mengonfirmasi hal tersebut. Putusan itu diputuskan majelis hakim pada Kamis (10/8/2023) hari ini.

MA sebelumnya menolak kasasi kubu Moeldoko atas keputusan pemerintah yang menolak kepengurusan Partai Demokrat hasil Kongres Luar Biasa (KLB) Deli Serdang pada 5 Maret 2021.

Sementara itu, Menkumham Yasonna Laoly juga telah menyiapkan kontra memori setelah kubu Moeldoko mengajukan PK atas kasasi di MA. Kontra memori atas PK kubu Moeldoko disiapkan oleh Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Kemenkumham.

“Ya nanti akan kita buatlah, itu urusan Dirjen AHU itu,” kata Yasonna di Kantor Kemenkumham, Jakarta, Selasa (4/4/2023).

Yasonna menyampaikan, PK yang diajukan kubu Moeldoko sudah sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Untuk itu, Menkumham mengingatkan semua pihak untuk menaati proses hukum yang berlaku.

Sejalan dengan itu, Yasonna juga menegaskan bahwa pihaknya tidak akan ikut campur dalam urusan yang menyangkut keabsahan kepengurusan Partai Demokrat. “Itu aturan hukum, hak, dan saya tidak mau (ikut) campur karena terbuka, kami jawab. Itu soal norma saja itu,” ungkap dia.

Nah benar kan, nasib Moeldoko tak sebaik Kaesang. Mungkin juga karena Kaesang anak presiden. Beda dengan Moeldoko, meski mantan Panglima TNI, tetap saja pembantunya Presiden Jokowi. 

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button