Kanal

Urung Pulang ke Pacitan

Pak SBY berbelok 180 derajat:  keluar dari mimpi (politik) menuju ke realitas (politik). Pak SBY agaknya sadar, beliau tidak bisa naik kereta bersama-sama Pak Jokowi dan Bu Mega, kecuali dalam mimpi saja. Beliau sejatinya memang  duduk di moda yang lain.

Oleh     :   Acep Iwan Saidi*

Mungkin anda suka

Politik itu memang permainan tanda, semacam “perselingkuhan bahasa”. Dengan itu realitas dibelokkan ke lorong gelap demokrasi. Lihatlah, saat seseorang mengatakan “A”, ia nyaris selalu tidak berarti “A”. Alibinya, komunikasi dalam politik tidak berada di ranah praksis, melainkan di arasy signifikasi. Tidak ada kesalahan komunikasi di situ, yang ada hanyalah perbedaan interpretasi.

Dengan dalil tersebut, politik dikonstruksi sebagai dunia yang lentur. Politik adalah sebuah pasal karet. Para pelakunya lantas mengatakan, politik itu dinamis, he he he.

Begitulah, mimpi Pak SBY untuk pulang ke Pacitan pun urung. Alih-alih pulang kampung, Pak SBY justru putar balik ke Stasiun Solo Balapan. Segera ambil tiket kereta dan bergegas kembali ke Jakarta.

Pak SBY berbelok 180 derajat:  keluar dari mimpi (politik) menuju ke realitas (politik). Pak SBY agaknya sadar, beliau tidak bisa naik kereta bersama-sama Pak Jokowi dan Bu Mega, kecuali dalam mimpi saja. Beliau sejatinya memang  duduk di moda yang lain.

Mengelap mimpinya sedemikian, Pak SBY meluncur di atas pena, menerbitkan buku. Tipis dan boleh dibilang prematur untuk sebuah buku: 27 halaman. Tapi, situasi tampaknya memaksa Pak SBY untuk melakukan operasi sesar. Bukan saatnya menunggu hingga hamil tua.

Buku itu, sebelum dibaca sudah terbaca. Setidaknya kita bisa menangkap tendensi politik pada judul dan covernya. Ia menyatukan dua kode sekaligus: verbal dan visual. Linguistic messages dan visual messages-nya membangun kekuatan pesan: ini soal penting dan mendesak.

Isinya mengeksplisitkan kode tersebut:  kritik tajam, tapi santun:  Ironi. Saya angkat topi.

Referensinya, kata beliau, diambil dari perbincangan di media dus dari sumber yang bisa dipercaya.  Cerdas.

Dengan cara itu kiranya pembaca bisa menangkap pesan: bahwa rumor di media itu benar adanya.

Sebagai sesama penulis, saya mengapresiasi buku tersebut, menikmati gayanya. Dalam sepak bola, itu identik dengan tendangan “balik bandung”: menghadap ke daerah kawan, tapi bola meluncur ke pertahanan lawan. Buku ini untuk Partai Demokrat, katanya, tapi isinya untuk Pak Jokowi, juga PDI.

Saya berharap Pak SBY tetap berada di situ dengan sikap itu. [ ]

*Acep Iwan Saidi (AIS) adalah essais, kritikus sastra dan pengajar di ITB

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button