Market

Utang RI Tembus Rp8 Ribu Triliun Lebih, Ini Peringatan Bank Dunia


Utang pemerintah RI hingga 30 November 2023 mencapai Rp8.041,01 triliun atau 38,11 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Bank Dunia pun memberikan wanti-wantinya.

Mungkin anda suka

Apabila ditotal dari 2014, atau dimulainya era Presiden Joko Widodo, terjadi penambahan utang sebesar Rp5.432,21 triliun. Jokowi pertama kali dilantik menjadi orang nomor 1 di Indonesia pada 20 Oktober 2014 dan ketika itu utang pemerintah masih Rp2.601,16 triliun. Sampai tutup tahun 2014 naik tipis menjadi Rp2.608,78 triliun.

Selama lima tahun memimpin periode pertama, utang pemerintah di era Jokowi konsisten naik hingga 2019 tercatat mencapai Rp4.778 triliun. Jumlahnya pun semakin bertambah di periode kedua Jokowi yang dilantik 20 Oktober 2019.

Utang pemerintah di era Jokowi paling tinggi terjadi pada 2020 atau saat pandemi COVID-19. Saat itu utang pemerintah bertambah dari Rp4.778 triliun di 2019, menjadi Rp6.074,56 triliun di 2020 dan terus naik hingga 2022 mencapai Rp7.733,99 triliun.

Meski jumlah utangnya naik, rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) berhasil ditekan dari 38,68 persen di 2020 dan 41 persen di 2021, menjadi 38,65 persen di 2022 dan terbaru 38,11 persen di November 2023. Adapun batas aman yang telah ditetapkan yakni 60 persen PDB sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Wanti-wanti Bank Dunia

Bank Dunia belum lama ini merilis laporan terbaru terkait kondisi utang negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Laporan tersebut mengingatkan bahwa kenaikan suku bunga telah meningkatkan kerentanan utang di semua negara berkembang.

“Tingkat utang yang sangat tinggi dan suku bunga yang tinggi telah menempatkan banyak negara di jalur menuju krisis,” kata Kepala Ekonom dan Wakil Presiden Senior Grup Bank Dunia, Indermit Gill dalam laporan utang Internasional terbaru Bank Dunia.

Laporan tersebut mengungkap negara-negara berkembang mengeluarkan dana sebesar US$443,5 miliar atau setara Rp6.880 triliun (kurs Rp 15.515) untuk melunasi utang publik dan jaminan publik mereka pada 2022. Peningkatan pengeluaran ini pun menggeser kebutuhan penting seperti kesehatan, pendidikan, dan lingkungan.

Pembayaran utang termasuk pokok dan bunga di semua negara berkembang disebut meningkat 5 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Ini terjadi saat era suku bunga tinggi menghantam dunia.

Tak hanya suku bunga, penguatan dolar AS menambah kesulitan negara-negara berkembang untuk melakukan pembayaran karena menjadi lebih mahal. Dalam situasi seperti ini, kenaikan suku bunga lebih lanjut atau penurunan tajam pendapatan ekspor dapat membuat kondisi tidak menguntungkan.

Dalam tiga tahun terakhir, terdapat 18 negara disebut mengalami gagal bayar. Laporan tersebut juga mengungkap bahwa saat ini sekitar 60 persen negara berpendapatan rendah mempunyai risiko tinggi bahkan sudah mengalami kesulitan utang.

“Setiap triwulan di mana suku bunga tetap tinggi mengakibatkan semakin banyak negara berkembang yang tertekan dan menghadapi pilihan yang sulit untuk melunasi utang publiknya atau berinvestasi pada bidang kesehatan masyarakat, pendidikan, dan infrastruktur,” ujarnya.
 

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button