News

Kasus Kematian di Pertambangan, Bisa Ganggu Ambisi Industri Nikel

Saat Indonesia serius merencanakan menjadi pusat produksi baterai kendaraan listrik (EV) dengan cadangan nikelnya yang besar, masalah keselamatan di kawasan tambang menjadi perhatian pihak asing. Hal ini memicu keresahan tenaga kerja yang dapat menggagalkan kemajuan industri ini yang sedang berkembang.

Industri pertambangan nikel Indonesia yang didominasi oleh perusahaan China telah mengalami serangkaian kecelakaan fatal dalam beberapa tahun terakhir, termasuk kebakaran bulan lalu di pabrik pengolahan nikel di Morowali, Sulawesi Tengah, sekitar 1.700 kilometer sebelah timur Jakarta.

Aljazeera dalam laporannya mengungkapkan, kebakaran pada 26 Juni di PT Gunbuster Nickel Industry (GNI), yang dimiliki Industri Nikel Jiangsu Delong China, menewaskan satu pekerja dan melukai enam lainnya. GNI mengatakan dalam sebuah pernyataan di situs webnya bahwa penyelidikan sedang dilakukan untuk memastikan penyebab kebakaran tersebut.

Catatan keamanan ini membuat GNI memperketat pengawasan menyusul serangkaian insiden fatal di pabriknya dalam waktu kurang dari setahun. Pada bulan Januari, seorang warga negara Indonesia dan China tewas dalam bentrokan dan kerusuhan setelah aksi unjuk rasa di pabrik peleburan terkait tuntutan standar gaji dan keselamatan. Pada bulan Desember, dua pekerja di GNI tewas dalam kebakaran menyusul ledakan, menurut laporan media lokal saat itu.

PT Indonesia Morowali Industrial Park (PT IMIP) yang dimiliki bersama oleh Grup Baja Tsingshan China dan PT Bintang Delapan Grup Indonesia, juga telah mengalami sejumlah kecelakaan fatal, termasuk runtuhnya tempat pembuangan limbah nikel pada bulan April yang menewaskan dua pekerja.

“Kondisi kerja yang buruk adalah resep instan untuk ketegangan sosial, jika bukan bencana sosial,” kata Muhammad Habib Abiyan Dzakwan, peneliti di Pusat Kajian Strategis dan Internasional (CSIS) yang berbasis di Jakarta, mengatakan kepada Al Jazeera.

“Ini akan menimbulkan kebencian, pada akhirnya dapat menyebabkan gangguan operasional karena  pekerja yang tidak puas melakukan pemogokan untuk menyuarakan keprihatinan mereka. Dengan demikian daya saing industri nikel Indonesia kemungkinan akan dipertaruhkan,” tambah Habib.

Cadangan nikel melimpah

Indonesia beruntung karena dianugerahi cadangan nikel melimpah, bahkan menjadi negara dengan cadangan nikel terbesar dunia. Berdasarkan Booklet Nikel 2020 yang dirilis Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), cadangan nikel RI mencapai 72 juta ton. Total cadangan ini mencakup cadangan nikel kadar rendah (limonite) dan kadar tinggi (saprolit).

Data tersebut menunjukkan 72 juta ton ini merupakan 52 persen dari total cadangan nikel dunia yang mencapai 140 juta ton. Selain di Tanah Air, negara kaya cadangan nikel lainnya adalah Australia, Brazil, China hingga Kanada juga memiliki cadangan nikel besar. Meski begitu, cadangan mereka jauh di bawah Indonesia.

Nikel merupakan komponen penting dalam baterai listrik. Indonesia ingin menjadi pemain utama dalam rantai pasokan kendaraan listrik global, dan telah menandatangani kesepakatan produksi senilai lebih dari US$15 miliar dengan pabrikan termasuk Hyundai Motor, LG Group, dan Foxconn.

Namun seiring dengan lonjakan permintaan jenis mineral ini, ada seruan yang meningkat di kalangan pekerja untuk perbaikan kondisi kerja dan standar keselamatan. Pada bulan Februari, tiga pekerja China di sebuah pabrik di PT IMIP mengajukan pengaduan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia dengan tuduhan kondisi kerja yang buruk di pabrik mereka.

Firma Hukum AMAR & Kantor Hukum Kepentingan Umum mengatakan firma tersebut mewakili lima pekerja Tiongkok yang mengatakan mereka menderita masalah paru-paru dan detak jantung yang cepat karena “asap tebal” di tempat kerja mereka sehingga membuat sulit bernapas. Kelimanya termasuk pekerja di PT IMIP dan dua pekerja di sebuah pabrik di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, yang berjarak lebih dari 270 kilometer.

Airlangga Julio, seorang pengacara di perusahaan yang berbasis di Jakarta, mengatakan para pekerja juga bekerja 50-70 jam seminggu tanpa hari libur meskipun undang-undang ketenagakerjaan di Indonesia mengamanatkan 40 jam kerja seminggu. “Paspor mereka ditahan, mereka tidak bisa keluar daerah, banyak kecelakaan kerja terjadi hampir setiap minggu, dan depresi… banyak kasus bunuh diri,” kata Airlangga kepada Al Jazeera.

“Para pekerja juga diberikan alat pelindung diri yang buruk saat menjalankan tugasnya,” tambah Airlangga, tanpa menyebutkan nama perusahaan yang terlibat.

Dedi Kurniawan, juru bicara PT IMIP, mengatakan “setiap perusahaan bertanggung jawab” untuk memastikan standar ketenagakerjaan dan keselamatan ditegakkan. Dedi mengatakan keselamatan adalah prioritas dan pihaknya berencana membangun dua klinik 24 jam untuk pekerja dan masyarakat sekitar.

Yan, seorang mahasiswa Indonesia berusia 23 tahun yang bekerja di lokasi konstruksi di IMIP, mengatakan bahwa dia mengkhawatirkan keselamatannya saat bekerja. Yan mengatakan dia mulai bekerja saat fajar menyingsing, mendaki 15-20 meter untuk memasang pipa pembangunan pembangkit batu bara milik perusahaan China. “Safety harness di sini sudah tua dan tidak dalam kondisi kerja yang baik. Saya merasa takut setiap kali memanjat,” kata Yan kepada Al Jazeera.

Yan, yang mengambil pekerjaannya untuk mendapatkan uang guna membayar studi universitasnya setelah kematian ayahnya dua tahun lalu, mengatakan pekerjaannya juga termasuk mengangkat batang baja yang berat. “Beberapa di antaranya sangat berat sehingga harus diangkat oleh mesin, bukan manusia,” kata Yan. Untuk bekerja dari jam 6 pagi sampai jam 5 sore, tujuh hari seminggu, Yan mengaku dibayar Rp160,00 rupiah (US$10,6) sehari.

Muhammad Habib dari CSIS mengatakan bahwa Indonesia tidak memiliki kemewahan untuk mengabaikan masalah sosial dan tenaga kerja di industri pertambangan, yang dapat berdampak negatif terhadap investasi asing langsung. “Pembeli sekarang lebih sadar akan unsur sosial dan lingkungan dari produk yang mereka beli,” kata Habib.

“Ini mendorong bisnis untuk menginvestasikan lebih banyak waktu dalam melakukan uji tuntas pada kondisi sosial dan lingkungan di negara tempat mereka ingin berinvestasi… begitu juga pemerintah mereka.” Negara-negara dengan kondisi kerja yang buruk pada akhirnya bisa kehilangan peluang investasi.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button