Kanal

Anies Baswedan dan “Kursi Tiga Kaki”

Oleh:  Reza Indragiri Amriel*

“Coba bikin kursi kakinya tiga. Coba bikin. Nggak ada itu.”

Mari berteori sebentar.

Tidak ada satu pun perilaku yang tak bermotif. Semua pasti ada motifnya. Tinggal lagi, kata Sigmund Freud, apakah motif itu disadari atau tidak disadari oleh si empunya perilaku.

Ambil ilustrasi perkataan Anies Baswedan (ABW) di ajang Pertemuan Anies dan Alumni ITB bertajuk ‘Ngariung 1.000 Alumni ITB’ pada 1 Oktober lalu.

Di atas podium, sebetulnya amat banyak contoh yang bisa ABW pakai untuk menggambarkan secara konkret betapa pentingnya ilmu (teori) dalam pembuatan kebijakan. Tapi, “anehnya”,  kenapa contoh yang ABW sebut justru tentang bikin kursi dengan tiga kaki, setelah ia mendeskripsikan betapa buruknya orang yang anti teori (anti ilmu) saat bekerja.

Kalau ditafsirkan dengan kacamata Psikoanalisa, sah sudah; contoh itu tidak cukup dipandang sebagai pemikiran yang–tak ada angin tak ada hujan–berkelebat spontan di dalam kepala ABW.

Kaum pengikut Mazhab Psikoanalisa tidak akan percaya, apalagi puas, dengan penjelasan sedangkal itu. Tidak akan!

Merujuk Psikoanalisa, penggambaran ABW tentang kursi tiga kaki pasti contoh yang datang dari endapan bawah sadar jiwanya. Memang sederhana sekali contoh yang ABW angkat. Tapi karena berurat akar di alam bawah sadar, dan alam bawah sadar sekian kali lipat lebih luas daripada alam sadar, maka contoh yang ABW angkat itu sangat dalam maknanya.

Maknanya adalah ABW punya persoalan apa sampai-sampai mengambil contoh tentang pekerjaan ngawur tukang mebel? Mudah-mudahan sampai di situ saja sudah bisa ditangkap apa yang subliminally ABW anggap sebagai pekerjaan tanpa ilmu (teori) tersebut. Tinggal lagi dianalogikan: dunianya tukang mebel adalah kursi, dunianya petani adalah sawah, dunianya pilot adalah pesawat, dunianya pak lurah adalah desa, dan seterusnya, dan selanjutnya.

Orang bisa saja berkomentar, “Ah, ada-ada saja. Tafsirannya kelewat batas. Toh, ABW sedang bersenda gurau. Take it easy saja.”

Sekarang kita balik ke padepokan Sigmund Freud.

Si Freud juga yang suatu ketika mengatakan bahwa di balik humor sesungguhnya ada agresi, ada serangan.

Jadi, kendati terdengar jenaka, sangat mungkin candaan ABW itu merupakan kamuflase atas sikap negatifnya terhadap objek yang ia jadikan sebagai bahan kelakar.

Dorongan agresif bersifat universal alias ada pada setiap orang. Tapi perwujudan dorongan itu bersifat individual.

Kamuflase atas agresivitas dalam bentuk gurauan itu merupakan indikator derajat kecerdasan seseorang. Lebih mendasar lagi, humor adalah manifestasi keberadaban manusia. Berkat keberadaban itulah, manusia tidak melulu harus meluapkan ketidaksukaannya lewat buku tinju. Kekecewaan tidak mutlak harus diungkapkan lewat buang ludah. Kebingungan tidak diekspresikan semata-mata lewat cercaan. Kumulatif: senda gurau merupakan pantulan agresivitas dalam derajat yang lebih tinggi, cerminan kecerdasan kognitif sekaligus kecerdasan emosional dan sosial si pegurau.

Kelakar, dengan demikian, bukan sebatas pengencer suasana. Kelakar juga  kelihaian, yang bahkan bisa jadi belum tentu disadari sepenuhnya oleh si pekelakar sendiri, dalam mengeksternalisasi endapan batinnya yang paling pribadi.

Alhasil, semakin otentik bahwa contoh ABW tentang kursi tiga kaki yang dibingkai ke dalam narasi riang canda di ITB sana benar-benar atau most likely adalah suara hati ABW yang sejujurnya. Dan siapa gerangan sasaran “serangan” ABW itu, siapa pun yang punya kecerdasan tak perlu diajari untuk menebaknya.

Lelucon memang bisa menjadi amunisi untuk menyerang pihak yang berseberangan. Termasuk “lawan” politik. Betapa pun barangkali menyakitkan hati, tetap itu lebih baik ketimbang membuldozer dan memiting. Idealnya, bahkan sewajarnya, mata adu dengan mata. Pantun balas dengan pantun. Olok-olok lawan dengan olok-olok. Kecerdasan tandingi dengan kecerdasan. Bukan dengan sabotase, kriminalisasi, atau pun menyalahgunakan alat-alat negara seperti Richard Nixon dan skandal Watergate-nya.

Wallahu a’lam 

*Alumnus Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Pakar Psikologi Forensik.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button