Kanal

China-Rusia Lecehkan ASEAN dan Indonesia di Konflik Myanmar

Keinginan ASEAN yang kini diketuai Indonesia untuk menyelesaikan masalah di Myanmar mendapat tantangan berat. Tak hanya konflik antarfaksi di Myanmar tetapi juga cawe-cawe dari negara besar yakni Rusia dan China. Kedua negara ini seperti melecehkan ASEAN dan tentu saja Indonesia.

Konflik di Myanmar telah mendominasi pembicaraan saat para pemimpin perhimpunan bangsa-sangsa Asia Tenggara (ASEAN) bertemu pada KTT ke-42 di Labuan Bajo, Rabu (10/5/2023). Para pemimpin ASEAN ‘sangat prihatin’ tentang kekerasan di Myanmar serta mendesak ‘penghentian segera’. Juga mengutuk serangan baru-baru ini terhadap konvoi yang mengantarkan bantuan kemanusiaan di Negara Bagian Shan, Myanmar.

“Kami sangat prihatin dengan kekerasan yang sedang berlangsung di Myanmar dan mendesak penghentian segera segala bentuk kekerasan dan penggunaan kekuatan,” kata ASEAN dalam sebuah pernyataan.

Negara-negara anggota dalam KTT itu mendukung upaya ketua ASEAN, termasuk keterlibatan berkelanjutannya dengan semua pemangku kepentingan di Myanmar, untuk mendorong kemajuan dalam implementasi Konsensus Lima Poin. Konsensus mengacu pada rencana perdamaian yang disepakati antara ASEAN dan junta pada 2021, beberapa bulan setelah menggulingkan pemerintah terpilih peraih Nobel Aung San Suu Kyi.

Reuters melaporkan bahwa Presiden Joko Widodo, ketua ASEAN saat ini, sebelumnya mengatakan blok tersebut harus angkat bicara dan berbicara sebagai salah satu masalah yang paling menantang. “Akankah ASEAN hanya diam ataukah ASEAN mampu menjadi penggerak atau perdamaian atau pertumbuhan?” dia berkata.

ASEAN menjadi semakin tegas dengan junta Myanmar atas kegagalannya menerapkan Konsensus Lima Poin dan telah melarang para jenderal dari pertemuan KTT ASEAN kali ini. Indonesia, seperti diungkapkan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi juga diam-diam telah melibatkan pemangku kepentingan utama dalam krisis Myanmar.

Gangguan dari China

Namun, ternyata ada negara tak mendukung upaya ASEAN. Menlu China Qin Gang bertemu dengan Panglima Militer Myanmar Min Aung Hlaing di Naypyidaw dan menyatakan mendukung Myanmar di panggung internasional. Kebijakan ini sama saja dengan mengangkangi atau melecehkan ASEAN dan Indonesia.

Saat bertemu Hlaing pada Selasa (2/5/2023), Qin berdiskusi tentang hubungan diplomatik, kerja sama, situasi terbaru di Myanmar, perdagangan di perbatasan, serta kerja sama bidang energi dan listrik. Tayangan di media milik junta memperlihatkan Qin diterima Hlaing di sebuah aula yang dihiasi gorden emas dan kertas dinding warna merah.

China memang memiliki hubungan yang dekat dengan Myanmar sebagai mitra dagang lama, kata Dr Htwe Htwe Thein, profesor asosiasi bisnis internasional di Universitas Curtin, Australia. “Tapi sekarang, sayangnya China tampaknya telah meningkatkan hubungan perdagangannya dengan para jenderal Myanmar,” katanya kepada Asia Now CAN.

Ia menambahkan, kepentingan China di Myanmar lebih dari sekadar ekonomi. “Maksud saya, secara ekonomi, kepentingannya besar di Myanmar. Ini memiliki pipa kembar yang menghubungkan provinsi selatan yang terkurung daratan ke Samudra Hindia,” katanya.

China telah berinvestasi dalam jaringan pipa minyak dan gas kembar yang membentang hampir 800 km dari Pulau Made di pantai barat Myanmar ke Ruili, di perbatasan provinsi Yunnan di China. “Tapi lebih dari itu, mereka juga memiliki kepentingan geopolitik di Myanmar, dalam hal akses ke Samudera Hindia,” kata Dr Thein.

China dan Myanmar juga berbagi perbatasan sepanjang 2.129 kilometer yang membelah hutan lebat di pegunungan. Kawasan perbatasan itu telah lama terkenal sebagai jalur penyelundupan ke China dari wilayah Segitiga Emas tempat perbatasan Laos, Myanmar, dan Thailand bertemu.

Soal kudeta militer, China pun menolak untuk mengecam. Tahun lalu, Beijing menyatakan akan membantu menjaga kedaulatan Myanmar apa pun yang terjadi. China menunjuk utusan khusus untuk Myanmar, Deng Xijun, pada Desember 2022. Ia telah bertemu pemimpin junta setidaknya dua kali sejak ditunjuk, begitu pula bertemu pemimpin etnis yang melawan junta. Pendahulu Qin, mantan Menlu Wang Yi, pernah berkunjung ke Myanmar tetapi tidak bertemu pemimpin junta.

Tindakan China dilakukan ketika Konsensus Lima Poin yang disepakati tetap menemui jalan buntu dua tahun setelah dibuat, dengan kekerasan terus berlanjut di negara tersebut. Rencana itu diadopsi setelah para pemimpin ASEAN menyerukan pertemuan khusus dengan panglima militer Min Aung Hlaing pada April 2021, di mana mereka menyepakati penghentian segera kekerasan dan pengiriman bantuan kemanusiaan ke negara itu.

Rusia pasok senjata

Selain China, Rusia juga telah mendukung penguasa militer Myanmar dengan pasokan senjatanya yang tentu saja membantu memicu konflik yang telah menjadi malapetaka bagi negara tersebut.

Aktivis dan pakar PBB telah mengutuk Rusia, kekuatan besar pertama yang menyuarakan dukungan untuk junta, serta China, karena memasok senjata ke militer yang mereka tuduh melakukan kekejaman sistematis terhadap warga sipil.

Amerika Serikat sudah menyatakan keprihatinannya terhadap dampak yang lebih luas dari krisis yang meningkat di Myanmar sejak kudeta pada 2021 dan peningkatan hubungan junta dengan Rusia, yang dapat berupaya mendirikan pangkalan militer di negara itu, kata Penasihat Departemen Luar Negeri AS Derek Chollet kepada Reuters.

Rusia juga telah menjadi sekutu terdekat Myanmar sejak kudeta dan saat Barat meningkatkan sanksi terhadap kedua negara. Menteri pertahanan dan diplomat tinggi Rusia telah mengunjungi Myanmar, sementara kepala junta Min Aung Hlaing telah berkunjung ke Rusia beberapa kali sejak 2021 bahkan diberi gelar doktor kehormatan.

Sejak konflik memuncak di Myanmar, lebih dari 18 juta orang masih membutuhkan bantuan, dengan lebih dari 1,5 juta orang mengungsi. Parahnya lagi, sebagian besar wilayah negara tidak dapat diakses oleh organisasi kemanusiaan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggambarkan Myanmar sebagai ‘salah satu tempat terburuk di dunia untuk mengakses layanan kesehatan’.

Selama dua tahun terakhir, situasi di Myanmar dalam beberapa hal menjadi lebih buruk. Ada intensitas pertempuran di lebih banyak tempat di beberapa bagian negara. Akibatnya, lebih banyak orang mengungsi setelah kehilangan rumah mereka dan lebih sulit untuk memberikan bantuan kemanusiaan.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button