Market

Buang Anggaran Food Estate Rp54 Miliar, Akademisi: Tanaman Jagung Polybag Bakalan Gagal


Proyek penanaman jagung lewat polybag, pengganti singkong yang gagal tumbuh di Kabupaten Gunung Mas (Gumas), Kalimantan Tengah (Kalteng) menuai sorotan. Pasalnya, proyek senilai Rp54 miliar yang masuk food estate itu, berpeluang gagal juga.

“Kalau bicara program lumbung pangan nasional atau food estate, arahnya jelas. Harus ada keberlanjutannya. Bukan sekedar pamer-pamer, bisa tumbuh, kemudian selesai. Enggak begitu,” kata Guru Besar IPB University, Prof Dwi Andreas Santosa saat dihubungi, Kamis (4/1/2024).

Sejak era Soeharto, SBY hingga Presiden Jokowi, kata Prof Andreas, program food estate selalu gagal. Karena, melupakan 4 pilar pokok. Jika, salah satu dari 4 pilar itu tak terpenuhi, jangan harap program food estate bakalan sukses besar.

“Misalnya hanya 3 pilar terpenuhi, 1 tidak, ya gagal. Apalagi kalau hanya 2, atau tidak ada yang terpenuhi dari 4 pilar itu, jelas gagal. Akibatnya apa, anggarannya jadi mubazir. Itulah sebabnya 25 tahun ini, program food estate tidak pernah berhasil,” terangnya.

Lalu apa saja 4 pilar penopang suksesnya program food estate itu? Pertama, kata Prof Andreas, kecocokan tanaman dengan lahan atau aspek agro climate. “Kalau tanahnya berpasir, ya enggak cocok kalau ditanam jagung,” paparnya.

Kedua, lanjutnya, infrastruktur yang terdiri dari sistem pengairan serta jalan usaha tani. Ketiga, budidaya dan teknologi yang mumpuni. “Benihnya bagaimana? Apakah sudah ada teknologi pendamping. Misalnya ketersediaan pupuk, atau pengendalian hama,” ungkapnya.

Faktor keempat, kata Prof Andreas, terkait sosio ekonomi. Yakni lahan, petani sebagai penggarap lahan, serta sisi ekonominya.

“Misalnya, untuk membangun 1 hektare lahan biayanya Rp1 miliar. Itu, kan berat dari sisi ekonominya. sekali lagi, tujuannya apa? Kalau hanya sekedar tumbuh, bisa. Tapi, ya buat apa,” kata Prof Andreas.

Sejatinya, kata Prof Andreas, tanaman bisa tumbuh di mana saja. Teknologi saat ini memungkinkan tanaman tumbuh bukan hanya di tanah. Misalnya sistem hidroponik yang bisa memanfaatkan paralon sebagai media tanam.

“Bahkan di jalan tol saja tanaman bisa tumbuh kok. Mau pakai polybag atau apa saja, bisa. Nah, kalau untuk food estate kan ada rambu-rambunya. Ada pedomannya. Ya, 4 pilar itu tadi. Sayangnya, sampai saat ini, tidak ada yang jalankan,” paparnya.

Tanaman jagung, menurutnya, akarnya tumbuh memanjang. Ketika ditanam di polybag, memang tetap tumbuh. Namun ketika masa tumbuh buah, bakalan terganggu. Jangan bayangkan buahnya seperti jagung yang ditanam di tanah. Jangan-jangan malah tidak berbuah.

“Ujung-ujungnya, seberapa besar produksi jagung dalam polybag itu? Apakah nilai ekonominya masuk? Saya kok enggak yakin,” imbuhnya.

Sebelumnya, Direktur Walhi Kalteng, Bayu Herinata mengatakan, pemerintah telah menyiapkan infrastruktur pertanian sejak 2 desember 2023. Dibangunlah tandon air berkapasitas 31.000 liter, lengkap dengan jaringan pipa untuk mengairi, atau menyiram tanaman.

Kemungkinan, infrastruktur itu digunakan untuk membasahi tanaman jagung di polybag. Yang disebut-sebut pengganti tanaman singkong yang gagal tumbuh di lahan seluas 600 hektare (ha).  Selain itu, ada tumpukan tanah yang diduga diambil dari luar Kabupaten Gumas.

Ketua Tim Kampanye Greenpeace Indonesia, Arie Rompas mengatakan, tanaman jagung menggunakan polybag, tingkat keberhasilannya kecil. Apalagi tanah di Gumas itu, cenderung berpasir. “Kenapa enggak ditanam di lahan yang tanahnya subur,” kata Arie.

Kepala Balai Penerapan Standar Instrumen (BPSI) Kementan Kalteng, Akhmad Hamdan mengatakan, penanaman jagung lewat polybag merupakan salah upaya pemanfaatan lahan pasir kuarsa yang miskin unsur hara.

“Polybag nantinya disandingkan dengan larikan atau metode tanaman langsung. Mana yang lebih efisien dan efektif untuk mengembangkan jagung di lahan yang miskin hara itu,” kata Akhmad. 

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button