Market

Bukan Pengendali di PT Vale, FPKS: Jangan Ulangi Kesalahan di Freeport

Anggota Komisi VII DPR, Mulyanto menyebut terkait perpanjangan dan perubahan komposisi saham (divestasi) PT Vale Indonesia, jangan sampai pemerintah mengulangi kesalahan seperti saat akuisisi saham PT Freeport.

“Pada kasus akuisisi Freeport, meski saham Indonesia mayoritas, namun faktanya Indonesia tidak menjadi pengendali operasional dan finansial perusahaan,” tegas Mulyanto dalam keterangannya, Senin (27/11/2023).

Kalau itu terjadi, lanjut dia, maka divestasi saham PT Vale Indonesia Tbk (INCO) hanya akan menjadi sekedar pemanis dalam perpanjangan perizinannya. Namun tidak punya makna bagi kepentingan Indonesia.

“Karena yang kita inginkan sesuai dengan konstitusi dan UU Minerba adalah bahwa Indonesia, semakin berdaulat dalam pengusahaan kekayaan alamnya. Kekayaan alam ini harus dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” tegasnya.

Terlebih, hal ini sudah menjadi kesepakatan hasil rapat kerja Komisi VII DPR dengan Menteri ESDM pada 13 Juni 2023 yang lalu, agar Indonesia menjadi pengendali operasi dan finansial PT Vale Indonesia.

“Kenapa juga kita harus memberikan izin pertambangan atau memberikan wilayah usaha seluas sekarang ini, kalau dengan divestasi saham tersebut, tetap saja kita tidak berdaulat terhadap kekayaan alam kita sendiri,” ujar anggota FPKS ini.

Oleh karena itu, ia menilai Indonesia tak perlu memperpanjang izin pertambangan PT Vale serta menciutkan wilayah usahanya, jika negaranya tak mampu menjadi pengendali.

Sebagai informasi, dengan tambahan saham 14 persen kepada MIND-ID, maka total saham MIND-ID menjadi 34 persen. Sedangkan, saham Inco telah berkurang hingga 30 persen.

Sementara saham sumitomo 15 persen dan saham publik Indonesia 21 persen. Dengan demikian, MIND-ID menjadi pemegang saham mayoritas.

Soal kebijakan pemerintah untuk PT Freeport Indonesia, DPR menilai pemerintahan Jokowi terburu-buru memperpanjang lagi izinnya 20 tahun ke depan. Kebijakan ini dibarter dengan 10 persen saham perusahaan tambang emas dan tembaga ke pemerintah.

Walaupun kepemilikan pemerintah menjadi 61 persen tetapi izin Freeport yang seharusnya habis pada 2041, menjadi mundur lagi 20 tahun ke depan. Padahal kalau tidak diperpanjang maka akan menjadi milik bangsa Indonesia.

Pengamat ekonomi energi, Fahmy Radhi sudah mengatakan keputusan Jokowi memperpanjang IUPK Freeport hingga 2061 ini, sesungguhnya tidak sepadan dengan imbalan saham 10 persen dan pembangunan smelter. 

“Apalagi, penambahan saham itu baru berlaku setelah 2041,” kata dia kepada inilah.com, Selasa (21/11/2023) lalu.

Ketika pemerintah Indonesia punya saham 61 persen atau mayoritas, lanjut Fahmy, tidak otomatis bisa menjadi pengendali operasional tambang Freeport.

“Pasalnya, ada perjanjian 2018, Freeport-McMoRan yang mengelola dan mengontrol manajemen operasi Freeport,” terangnya. 

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button