Kanal

Dan Jawa Tengah Pun Jadi Medan Perang Kurusetra

Jurus “lanca-linci luncat mulang” yang dipraktikkan Jokowi terhadap PDIP berujung pada keretakan serius dengan konsekuensi berhadapan langsung di Pemilu 2024. Muncul pertanyaan, benarkah kemenangan PDIP dalam dua Pemilu terakhir karena factor Jokowi? Akankah Jawa Tengah bisa digerus kekuatan Prabowo-Gibran untuk meninggalkan PDIP dan pasangan calon mereka di Pilpres, Ganjar-Mahfud?

“Dulu ada yang datang minta rekomendasi wali kota,” kata Adian Napitupulu dalam penampilannya di sebuah acara bincang-bincang politik salah satu stasiun TV Nasional, pekan terakhir Oktober 2023. Tetap mengenakan busana yang menjadi ciri khasnya, jaket kulit, nada Adian saat itu tidak segarang biasa. Ia bahkan lebih terkesan seorang pecinta yang ditinggal kekasih, dan butuh “curhat”.

“Dikasih,” kata Adian. “Lalu minta jadi gubernur, minta rekomendasi. Dikasih lagi. Lalu minta jadi calon presiden, minta rekomendasi, dikasih lagi. Kedua kali dikasih lagi. Lalu minta untuk anaknya, dikasih lagi. Lalu minta untuk menantu, dan dikasih lagi. Banyak benar…”

Di ruang publik itu Adian sedang membicarakan Presiden Jokowi. Rekomendasi yang berkali-kali disebutnya itu berkaitan dengan pencalonan Jokowi untuk dua kali pencalonan wali Kota Solo, dua kali pencalonan gubernur DKI Jakarta, dua kali pencalonan presiden, hingga pencalonan anak dan menantunya untuk jabatan wali kota di dua kota besar berbeda pulau. Konteksnya, yang meminta adalah Jokowi, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) adalah pihak yang diminta, dan memberi.

post-cover

Keluh-kesah Adian itu wajar dipahami publik sebagai salah satu penanda paling jelas bahwa retaknya hubungan antara PDIP dan Megawati Sukarnoputri di satu sisi, dengan Jokowi di sisi lain, tak sekadar rumors. Apalagi tak hanya Adian yang buka suara. Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto, pun demikian. Dua pekan terakhir, entah sudah berapa kali dan berapa pokok persoalan yang Hasto ungkap ke media massa. Semuanya kental dengan aroma kekecewaan akibat Jokowi telah ‘meninggalkan’ PDIP, partai yang telah memberinya sekian banyak peluang ikut dalam perebutan kursi kekuasaan.  

Dua elit PDIP itu tak ayal seperti mengonfirmasi bahwa retaknya hubungan Jokowi-Megawati, yang sudah lama berhembus dan selalu dibantah kedua pihak, benar adanya. Fase mutakhir keretakan ini adalah usulan kader PDIP di DPR RI, Masinton Pasaribu, untuk menggelar hak angket terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK), menyusul putusan lembaga negara itu berkaitan dengan syarat maju calon presiden dan calon wakil presiden yang memanaskan suhu politik Tanah Air pertengahan bulan lalu.  

“Saya Masinton Pasaribu, anggota DPR RI dari daerah pemilihan DKI Jakarta IV, menggunakan hak konstitusional saya untuk melakukan hak angket terhadap lembaga Mahkamah Konstitusi. Kita tegak lurus terhadap Konstitusi,” kata Masinton, Selasa (31/10) lalu. Dalam uraiannya kemudian, ia menyebut telah terjadi “tragedi Konstitusi” seiring terbitnya putusan MK, 16 Oktober itu.

Tak berapa lama, menegaskan betapa runcingnya perseteruan yang terjadi, segera muncul respons dari -–katakanlah—pendukung Jokowi. Sekelompok praktisi hukum, dengan label Advokat Lingkar Nusantara (LISAN), melaporkan Masinton ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI, pada Jumat (3/11/2023) lalu. Usulan Masinton itu, menurut mereka, patut diduga sebuah pelanggaran.

Dipicu Urusan Personal?

Dari runtutan peristiwa yang publik saksikan via media, jelas bukan PDIP yang berkehendak berpisah. Tetapi cukup sukar–untuk tidak mengatakan mustahil—buat mendapatkan apa yang menjadi alasan awal alias raison de’tre sejati, mengapa Jokowi dua bulan terakhir ini seolah nekat berpisah dengan PDIP. Jika Jokowi bisa membantah ada keretakan hubungannya dengan Mega, seperti biasa ia lakukan selama ini, tak akan sulit buatnya menghindari pertanyaan mengapa itu terjadi. Dua peristiwa besar menjadi penanda hal itu: naiknya si bungsu Kaesang menduduki kursi ketua umum PSI, serta majunya Gibran Rakabuming menjadi cawapres Prabowo. Kedua langkah itu terang benderang mengambil posisi berhadapan diametral dengan PDIP.

Dalam curhatannya, Adian menunjuk peristiwa politik di akhir tahun lalu sebagai pemantik hengkangnya Jokowi dari kandang Banteng. Politisi yang dibesarkan aksi-aksi jalanan di masa mudanya itu menyebut persoalan Jokowi dengan PDIP disebabkan tidak dikabulkannya permintaan Jokowi untuk memperpanjang masa jabatannya sebagai presiden, menjadi tiga periode. Di akhir tahun lalu hingga bulan-bulan awal tahun ini, wacana politik Tanah Air memang kental dengan rentetan isu yang berkaitan dengan ‘nasib’ Jokowi. Mulai dari pengunduran waktu Pemilu 2024, penambahan masa jabatan presiden dan keanggotaan lembaga-lembaga tinggi negara dengan alasan pandemi COVID-19, hingga usul penambahan periode kepresidenan menjadi tiga periode. Itu versi Adian.

Tetapi peneliti senior Lembaga Survei Indonesia (LSI) Denny JA, Ade Mulyana, punya perkiraan sendiri. Baginya, keretakan itu sudah terjadi lama. Salah satu pemicunya, menurut Ade, tak lain perlakuan Megawati kepada Jokowi yang cenderung selalu menganggap bahwa tanpa PDIP Jokowi bukan siapa-siapa. Ia juga menunjuk hal-hal yang tak verbal. Misalnya, dalam penetapan capres dari PDIP kepada Ganjar. Dikatakan, saat itu Jokowi yang sudah mudik ke Solo sampai harus Kembali terbang ke Jakarta, yang menjelaskan dirinya tidak diikursertakan untuk berembuk sebelumnya.

“Itu menggambarkan dengan jelas bahwa Pak Jokowi seolah tidak diajak bermusyawarah untuk menentukan siapa yang akan diusung,”kata Ade. Selain itu, sejak lama, dalam berkomunikasi atau menjalankan deal-deal politik dengan Ganjar, Jokowi seperti diharuskan lewat Megawati lebih dulu. “Jadi memang Pak Jokowi ini kurang nyaman kalau berkomunikasi dengan Pak Ganjar,” kata Ade kepada Inilah.com.

Di sisi lain, kata Ade, Jokowi nyaman berkomunikasi dengan Prabowo. Pemimpin Gerindra itu memang langsung sebagai pengambil keputusan.”Itu yang mendasari akhirnya Jokowi lebih nyaman berkoalisi dengan Prabowo ketimbang bergabung dengan koalisi PDIP untuk mengusung Ganjar dan Mahfud,” ungkapnya.

post-cover

Tentang gerakan “lanca-linci luncat mulang” yang dilakukan Jokowi terhadap PDIP, Direktur Eksekutif PARA Syndicate, Ari Nurcahyo, melihatnya bermula dari dua kegundahan Jokowi. Pertama, tentang kegelisan Jokowi atas suksesornya nanti, apakah bisa meneruskan apa yang sudah ia kerjakan atau sebaliknya. Kedua, memang ada urusan personal antara dirinya dengan PDIP serta Ketua Umumnya, Megawati.

“Jadi kerisauan itu membuatnya mengambil jalan pintas keluar dari rel demokrasi di satu tahun terakhir masa jabatan beliau. Di samping juga ada bumbu-bumbu soal mungkin kekesalan, kesebalan, atau konflik yang sifatnya personal dengan PDIP atau Bu Mega,” kata Ari. Ia tidak menjelaskan secara rinci soal ‘kekesalan’ yang dirasakan Jokowi tersebut. Bagi Ari, sebenarnya tidak seharusnya Jokowi mencampuradukkan urusan itu ke ruang publik yang berkaitan dengan Nasib bangsa.”Janganlah hal yang sifatnya pribadi ini masuk ke ruang publik, kemudian bahkan membajak ruang publik atau melakukan upaya-upaya politik bahkan kejahatan hukum guna melanggengkan kekuasaan,” kata Ari kepada wartawan di kantor PARA Syndicate, Jakarta Selatan, Jumat (3/11/2023).

Berkaitan dengan ‘urusan personal’ tersebut, telah lama media massa menghubungkan hal itu dengan penyebutan yang terus-terusan diulang PDIP dan Megawati terhadap Jokowi: “petugas partai”. Isunya, tak hanya Jokowi, Sang First Lady, Ibu Iriana, juga sejatinya merasa gerah pada sebutan itu. Apalagi senantiasa disebut-sebut PDIP, tak hanya sekali. Pada momen-momen besar pula.  

Tetapi pakar komunikasi politik Universitas Gadjah Mada dan Direktur Eksekutif Indonesian Presidential Studies (IPS), Nyarwi Ahmad, cenderung menolak hal itu. Soal ‘petugas partai’ itu, kata Nyarwi, memang tercantum jelas pada Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PDIP. Hal yang wajar itu, di Indonesia menjadi terkesan aneh karena dalam berdemokrasi Indonesia tidak sepenuhnya berdasarkan parpol. Istilah “party manager”, “party leader” dan “party officer” yang bisa diterjemahkan sebagai ‘petugas partai’, pada dasarnya biasa saja.

Hanya, menurut Nyarwi, mungkin saja istilah itu, karena terus menerus digaungkan membekaskan hal tersendiri pada Jokowi dan keluarganya.”Bisa jadi. Tentu yang tahu adalah Pak Jokowi dan keluarga. Bu Iriana. Istilah petugas partai itu secara teoritik wajar. Tapi kan dalam berdemokrasi tidak semua elite, tidak semua masyarakat, menempatkan parpol sebagai aktor utama dalam demokrasi dan sistem politik kita,” kata dia. Bisa jadi, dalam pemahaman umum, orang menilai seakan-akan petugas partai itu seperti merendahkan, karena hanya seorang petugas.

PDIP Melemah

Yang mencuat kuat dalam perseteruan ini adalah kesan bahwa sebagai partai pemenang Pemilu dua kali berturut-turut, PDIP justru tengah mengalami perlemahan. Yang paling kasat mata, mengapa sampai saat ini PDIP belum mengeluarkan surat pemecatan terhadap Gibran yang telah menjadi cawapres Prabowo? Padahal, dari peristiwa-peristiwa sebelumnya, Ketua Umum PDIP Megawati Sukarnoputri selalu bersikap keras kepada kader partai yang bermain dua kaki.

Dengan dalih melakukan deklarasi dukungan buat Prabowo pada 18 Oktober 2023, beberapa hari setelah itu DPP PDIP memecat salah seorang kader militan mereka, Budiman Sujatmiko. Budiman dipecat PDIP lewat surat yang ditandatangani Ketua Umum, Megawati Sukarnoputri dan Sekjen Hasto Kristiyanto.

Mei lalu, Gubernur Maluku Utara, Murad Ismail, yang merupakan ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PDIP setempat, juga dipecat. Murad dipersalahkan membiarkan istrinya pindah sekoci ke Partai Amanat Nasional (PAN).

Itu membuat pembiaran PDIP dalam kasus Gibran menjadi peristiwa yang ganjil.

post-cover

Ditambah dengan pernyataan baik Hasto maupun Adian di publik, yang terkesan menye-menye, wajar bila publik, terutama para pemilih PDIP, mempertanyakan sikap partai tersebut. Bahkan, di beberapa grup WA, muncul wacana bahwa kemenangan PDIP pada dua Pemilu terakhir adalah karena faktor Jokowi alias ‘Jokowi’s factor’.    

Tetapi bukan mustahil PDIP memang tidak pede berhadapan langsung dengan Jokowi. South China Morning Post menulis, dengan popularitas dan tingkat kepuasan mencapai 80 persen, Jokowi memiliki modal politik yang cukup untuk membantunya mengamankan tidak hanya warisan pemerintahannya, tetapi membangun masa depan politik anak-anaknya.

Dari sisi sebaran kekuatan di kabinet pun tentu saja Jokowi jauh lebih kuat. Kita bisa menunjuk para loyalis Presiden seperti Menteri BUMN, Menteri Keuangan, Menteri Investasi, Menkopolhukam, Mendagri, Menparekraf, Menteri Luar Negeri, Menkominfo, Mensesneg, Menteri Agraria, Menteri PUPR, dan tentu saja Menkomarves, Luhut Binsar Panjaitan. Sementara representasi PDIP di kabinet hanyalah Menteri Sosial, Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Pemberdayaan Perempuan, dan Sekretaris Kabinet. Tidak hanya dari sisi jumlah, dari sisi posisi strategis pun kekuatan PDIP jelas lebih lemah.

Apalagi kekuatan PDIP di pemerintahan itu rawan di-‘obrak-abrik’. Tidak hanya menteri-menterinya, melainkan posisi yang selama ini menjadi turut menjadi kekuatan yang disebut-sebut membesarkan PDIP, kepala Badan Intelijen Negara (BIN). Dan sebagaimana kita saksikan via media, wacana pergantian kepala BIN ini bukan sekali-dua mengemuka di bulan-bulan terakhir.

Tentang belum dipecatnya Gibran, PDIP bukan tak punya jawaban, Ketua Bidang Kehormatan DPP PDIP, Komarudin Watubun, menjawab mengapa PDIP tidak buru-buru memecat Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka, cawapres pendamping Prabowo. Menurut Komaruddin dalam pernyataannya, apabila Gibran dipecat saat ini, hal itu bisa di dramatisasi sebagai pihak terzolimi, alias playing victim. Narasi itu, kata Komaruddin, sudah sering didengar di publik. Hal yang kontan dijawab Gibran. “Nggak, nggak membuat narasi-narasi seperti itu,” kata Gibran, kepada InilahJateng, Jum’at (3/11/2023).

Jawa Tengah sebagai Medan Pertarungan  

Seiring naiknya Gibran menjadi calon wakil presiden Prabowo Subianto, kontan mengemuka wacana tergerusnya potensi Jawa Tengah sebagai basis PDIP mendulang suara di tiap Pemilu. Apalagi bila Jokowi mengerahkan potensi kekuatan yang ia miliki untuk membantu mendorong sang anak.

Tetapi bahkan Gibran sendiri tak mau buru-buru memandang enteng urusan. Alih-alih sesumbar, ia malah mengakui jika langkahnya di Jawa Tengah tak akan mudah.”Jateng ini tidak mudah, bukan basis kita. Dulu basis kita,” kata Gibran, Minggu 28 Oktober 2023.”Saya yakin, kalau yang dilihat sekarang itu mesti tokohnya,” sambungnya. Mungkin yang ia maksud, seseorang harus dulu menjadi tokoh Jawa Tengah untuk bisa menjadi magnet bagi pemilih provinsi itu.

Yang ia janjikan, untuk memenangkan suara di Jawa Tengah, Gibran akan lebih giat turun ke masyarakat. “Mungkin nanti saya 60 persen sowan-nya ada di Jateng juga,” ujar Wali Kota Solo tersebut. “Saya dan Pak Prabowo sudah bagi tugas, tapi nanti tugas saya lebih banyak blusukan di Jateng,” sambungnya.

Selama ini, Jawa Tengah memang lumbung suara PDIP. Pada Pemilu 2019, Jawa Tengah menyumbang 5,77 juta suara atau 21,32 persen dari total suara PDIP. Partai Banteng itu menguasai 28 kabupatan-kota, dari total 35 kabupaten-kota di Jawa Tengah.

Di YouTube, capres dari koalisi PDIP, Ganjar Pranowo, juga mengaku bahwa Jawa Tengah sampai kapan pun adalah kandang banteng.”InsyaAllah (kandang banteng) nggak (akan) bobol. Yakin banget,” kata Ganjar, 23 Oktober lalu.

post-cover

Optimisme Ganjar itu diaminkan peneliti Litbang Kompas, Toto Suryaningrat. Menurut Toto, elektabilitas Gibran di Jawa Tengah belum terlalu sepopuler Ganjar Pranowo. Dia seharusnya masih harus mencicipi kursi gubernur Jawa Tengah untuk bisa mendapatkan banyak suara di provinsi itu.”Di Jateng kalau kita tanya siapa yang paling punya prospek jadi gubernur Jateng, jawabannya hanya 10 persen paling tinggi, dan itu mengarah ke Mas Gibran untuk gubernur. Bukan cawapres,” kata Toto.

Bila yang dimaksud tergembosi itu karena penetrasi kuat dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang kini diketuai Kaesang Pangarep, Direktur Parameter Politik Indonesia (PPI), Adi Prayitno, bahkan sangat skeptis. PSI, menurut Adi, tak punya basis konstituen kuat di mana pun.”Buktinya tak lolos parlemen. Dari dulu PSI terus berusaha menggerogoti Banteng, tapi tak pernah berhasil,” kata dia. Dengan komposisi pengurus yang masih deretan muka lama, Adi menyatakan agak sulit melihat PSI akan menguat.

Begitu pula komentar peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Saidiman Ahmad. Mengomentari sesumbar Ketua Pro-Jokowi (Projo), Budi Arie, yang menyatakan bahwa Jateng dan Jatim bukan lagi “kandang Banteng”, Saidiman mengatakan PDIP akan tetap solid dan kompetitif di dua wilayah itu. Gibran, kata Saidiman, sejauh ini belum punya pengaruh signifikan menaikkan suara Prabowo.

“Temuan survei pra-deklarasi Prabowo-Gibran, Gibran tidak begitu kompetitif. Suaranya tersubordinasi oleh Prabowo. Penerimaan publik pada dia juga tidak lebih baik dibanding calon presiden yang didampinginya,” kata Saidiman. 

Dalam dunia pewayangan, perang besar yang terjadi dalam sebuah keluarga selalu mengacu kepada Barathayuda. Perang di antara keluarga besar Kuru itu terjadi di lapangan Kurusetra. Dalam kasus perseteruan Jokowi-Mega, yang sama-sama berasal dari keluarga PDIP, sulit untuk menentukan pihak mana yang merupakan Pandawa, mana Kurawa.

Namun, setidaknya kita tahu, bila mengacu babad besar yang ditulis ribuan tahun itu, Mahabharata, prosesi “pertumpahan darah” Barathayuda akan terjadi pada Pemilu 2024 yang sudah jelas harinya. Sementara tempat mengacu pada Jawa Tengah sebagai lokasi.

Dari Mahabharata kita pun tahu, tak ada yang sejatinya menang pada perang itu. Semua Kurawa, diakhiri dengan si sulung Duryudana, tewas di Kurusetra. Mereka jadi abu. Sementara Pandawa pun tak lama kemudian jadi arang. Semua mati dalam sebuah “seda” di Mahameru. Akankah itu yang terjadi pada PDIP dan Jokowi?   

[dsy/diana risky/vonita betalia]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button