Kanal

Melaporkan Anies, Merepotkan Institusi Polri


Pengenaan standar pembuktian superketat itu dilandasi pandangan bahwa pejabat publik atau pun alat negara memang secara kodrati selama-lamanya selalu menjadi sasaran sorotan negatif khalayak. Ini semakin relevan pada masa kontestasi demokrasi, di mana masyarakat punya kepentingan untuk mengetahui atau diberitahu ihwal segala kebaikan dan keburukan calon pemimpin mereka.

Oleh: Reza Indragiri Amriel*

Aiman Witjaksono dilaporkan ke polisi karena dianggap membuat cerita bohong yang merusak reputasi Polri. Anies Baswedan juga dilaporkan ke polisi atas dugaan fitnah terkait tanah Prabowo.

Sekarang, mari berandai-andai bahwa Aiman dan Anies berbohong seperti klaim pelapor mereka. Ketika polisi dijadikan sebagai sasaran narasi bohong (fitnah), bolehkah polisi memperkarakannya?

Jawabannya, boleh. Tapi polisi yang dianggap telah menjadi sasaran fitnah itu adalah personel polisi (police officer), bukan lembaga kepolisian (police institution). Jadi, spesifik anggota polisi tertentu yang telah dikenai fitnah. Bukan polisi secara keseluruhan.

Dengan kata lain, tuduhan palsu (false accusation)-nya diarahkan ke siapa, maka dialah yang membawa si penuduh dirinya ke proses hukum. Bukan malah kantor apalagi organisasi tempat dia bekerja, yang membawanya ke ranah pidana.

Jika yang memperkarakan ‘si pemfitnah’ adalah institusi polisi, maka akan juga muncul dua persoalan logika. Pertama, polisi adalah lembaga pelindung. Seberapa mungkin lembaga polisi –sebagai pelindung– bisa menjadi korban? Kedua, bagaimana mengatasi kemungkinan campur aduknya kepentingan polisi sebagai korban dan kewenangan polisi sebagai penegak hukum? Penyidik menangani korban yang notabene dirinya sendiri, akuntabilitasnya akan seperti apa?

Apa yang Aiman dan Anies katakan, oleh para pelapor mereka, dianggap sebagai fitnah yang mencemari nama baik polisi dan Prabowo.

Dalam kasus sedemikian rupa, tahap-tahap pembuktiannya dimulai dari memastikan bahwa perbuatan atau perkataan Aiman dan Anies yang dinilai mencemari nama baik itu benar-benar ada.

Lalu, jika memang ada, buktikan bahwa Aiman dan Anies mengucapkan perkataan bohong mereka dengan dilatarbelakangi itikad buruk. Yakni, harus dibuktikan bahwa Aiman dan Anies mutlak tidak peduli akan ketidakakuratan data mereka. Mereka tahu bahwa data mereka salah, tapi tetap mereka lontarkan ke publik.

Ketiga, ini dibuktikan ketika tahap kedua tadi terkesampingkan. Yaitu, harus dibuktikan bahwa Aiman dan Anies tidak mengambil langkah sungguh-sungguh untuk mengecek benar tidaknya data mereka. Jadi, begitu terima data, Aiman dan Anies tidak melakukan tabbayun (check and recheck) atas data tersebut, melainkan langsung menyampaikannya ke publik.

Tambahan lagi, masih terkait itikad tidak baik. Hukum mengenakan beban pembuktiannya jauh lebih ketat ketika ada beberapa situasi. Pertama, ketika yang menjadi sasaran narasi bohong adalah pejabat publik atau tokoh publik. Kedua, ketika narasi bohong itu dikemukakan pada masa kampanye politik.

Pengenaan standar pembuktian superketat itu dilandasi pandangan bahwa pejabat publik atau pun alat negara memang secara kodrati selama-lamanya selalu menjadi sasaran sorotan negatif khalayak. Ini semakin relevan pada masa kontestasi demokrasi, di mana masyarakat punya kepentingan untuk mengetahui atau diberitahu ihwal segala kebaikan dan keburukan calon pemimpin mereka.

Pengetatan beban pembuktian pada dasarnya merupakan safeguard yang negara sediakan agar masyarakat tidak salah pilih pejabat atau pemimpin. Pengetatan standar pembuktian ada-tidaknya itikad tidak baik, merupakan privilese dari negara bagi segenap warganya di masa kampanye politik. Jadi, kepentingan masyarakat yang diutamakan, di atas hak pejabat publik dan alat negara itu sendiri.

Pejabat atau pun alat negara perlu telinga ekstra tebal, lebih-lebih di masa pesta demokrasi. Pada masa kampanye politik, ketika politisi atau kontestan dipandang telah menyajikan data ngawur di panggung debat atau sejenisnya, koreksi harus dilakukan lewat data tandingan di forum kampanye pula. Bukan dengan merepotkan, apalagi mencari ‘perlindungan’ ke institusi penegakan hukum.

*Psikolog forensik
 

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button