Kanal

EMPAT PANGGILAN HAJI

Seharusnya saya sudah tiga kali berangkat haji. Tetapi tiga kali itu juga saya gagal. Lebih tepatnya, menggagalkan diri. Mengingat semua itu, saya hanya bisa menyesal, betapa bebal dan bodohnya saya menyia-nyiakan tiga kali panggilan haji yang pernah datang ke dalam hidup saya. Semoga Allah mengampuni kehinaan saya itu.

Panggilan pertama datang tahun 2004. Waktu itu saya masih duduk di bangku kelas dua aliyah, 17 tahun usia saya. Setelah menjuarai Musabaqah Menulis Kandungan al-Quran (M2KQ), kini namanya Musabaqah Menulis Isi Kandungan al-Quran (M2IQ), pada Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) tingkat kota, saya melenggang ke tingkat provinsi. Melawan puluhan peserta perwakilan masing-masing kota dan kabupaten dari seluruh Provinsi Jawa Barat, waktu itu saya keluar sebagai juara pertama. Selain piala dan piagam, hadiahnya ONH alias ongkos naik haji.

Tentu saya bahagia menjadi juara. Saya naik panggung dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Berjabat tangan dengan Gubernur Jawa Barat saat itu, lalu dihadiahi ongkos naik haji oleh Walikota Bandung. Tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Jaminan langsung berangkat, tanpa mengantri karena di tahun-tahun itu kuota haji masih banyak tersedia untuk jamaah Indonesia.

Namun, begitulah pikiran saya yang masih bocah. “Untuk apa berhaji terburu-buru?” Pikir saya waktu itu. “Di usia produktif semacam ini, ongkos naik haji yang saya dapatkan mungkin akan lebih baik jika dipakai untuk biaya pendidikan.” Setelah berdiskusi dengan orangtua, saya pun memutuskan untuk tidak berangkat haji. Hadiah ONH diambil uangnya saja. Waktu itu saya cairkan Rp36 juta. Uang haji akhirnya saya setorkan untuk tabungan pendidikan, bekal saya kuliah.

Jika haji adalah panggilan, seperti kata para ulama, panggilan kedua datang tak lama berselang. Hanya dua tahun sejak peristiwa itu, tahun 2006, saya kembali mendapatkan hadiah haji. Masih lomba yang sama seperti sebelumnya, saya kembali menjadi juara pertama di tingkat provinsi lagi. Saya ingat waktu itu piala diserahkan oleh Wakil Gubernur Jawa Barat Dede Yusuf dan plakat hadiah ONH diserahkan Walikota Bandung Dada Rosada.

Bodohnya, saya kembali tak mengambil kesempatan itu. Terlena dengan keputusan pertama yang pernah dibuat dua tahun sebelumnya, lagi-lagi saya mencairkan hadiah haji dengan alasan yang sama: “Saya lebih perlu biaya sekolah daripada untuk naik haji!” Saya ingin sukses dulu, baru haji. Saya ingat datang ke kantor Walikota Bandung di Jalan Wastukencana dan menghadap Kepala Biro Kesra waktu itu. Saya disodori selembar surat untuk ditandatangani. Kesempatan berhaji saya ganti dengan uang tunai Rp38 juta.

“Batur mah ngantri, Jang.” Kata yang menyodorkan surat waktu itu. Orang lain mengantri untuk bisa haji, katanya. Ada nada menyayangkan di dalam pernyataan itu: Kenapa kamu malah menyia-nyiakannya? “Tapi nggak apa-apa, kamu masih muda. Sekolah dulu yang tinggi. Sukses dulu. Mudah-mudahan nanti bisa berhaji.” Nasihatnya.

Saya mengangguk polos. Pulang dari sana saya mampir ke Bandung Electronic Center (BEC) di Jl. Purnawarman, lima menit dari kantor walikota, untuk membeli laptop baru yang saya idam-idamkan. Tanpa banyak bicara, saya bayar tunai komputer jinjing itu. Sejak lama, hobi saya memang menulis. Punya laptop canggih adalah sebuah kemewahan tersendiri. Dengan laptop yang saya beli itu saya menulis dan menerbitkan beberapa buku.

Saat itu, meski dua kali menyia-nyiakan kesempatan berhaji, rasanya masih ringan dan baik-baik saja buat saya. Barangkali saya masih remaja dengan pengetahuan yang terbatas tentang dunia. Cara pandang yang masih naif tentang agama. Hingga panggilan berhaji datang untuk ketiga kalinya pada tahun 2008. Setelah dua kali juara di tingkat provinsi, untuk pertama kalinya M2KQ akan dilombakan pada MTQ Nasional ke-XXII tahun 2008 di Provinsi Banten. Selain hadiah haji, juara pertama berhak mendapatkan uang pembinaan juga. Jumlahnya cukup besar, sekitar Rp50 juta.

“Kalau yang ini menang lagi, yang Rp50 juta untuk biaya pendidikan, hadiah ONH akan saya ambil. Insya Allah dua haji yang tertunda akan saya lunasi kali ini.” Pikir saya waktu itu. Sambil bertekad mengerahkan segala kemampuan untuk menjuarai kompetisi. Singkat cerita, atas izin Allah, saya pun keluar sebagai juara pertama mengalahkan semua peserta perwakilan provinsi dari seluruh Indonesia. Saya berbunga-bunga menerima hadiah puluhan juta plus kesempatan berhaji lagi waktu itu. Hadiah diserahkan Menteri Agama dan Gubernur Banten.

Tapi sayang seribu sayang, waktu itu haji sudah mulai mengantre. Dan kali ini pilihan diberikan oleh panitia: Kalau mau diambil porsi hajinya, harus menunggu 1-2 tahun. Kalau mau diambil uangnya, bisa dicairkan segera. Ah, barangkali di situasi semacam itulah setan bekerja. Pikiran saya mereka-reka banyak sekali alasan untuk kembali tidak berhaji, meski hati ingin sekali. Mungkin saya bisa tunda sekali lagi, pikir saya.

Akhirnya saya kalah lagi. Waktu itu saya adalah mahasiswa jurusan Hubungan Internasional yang ‘sok’ kritis melihat kebijakan haji Kerajaan Arab Saudi sebagai upaya mendulang devisa belaka dari umat muslim di seluruh dunia. Dus, saya ambi uangnya saja! Cair Rp42 juta. Ibu saya sedih mendengar saya mengambil keputusan itu. Tapi apa boleh buat, saya juga perlu biaya untuk kuliah dan lainnya. Situasi ‘good vs good’ memang perangkap setan yang paling halus untuk memperdaya hati manusia.

Maka 2004, 2006, dan 2008, meski berturut-turut panggilan haji datang, berturut-turut pula saya menyia-nyiakan semuanya. Sementara antrian haji semakin panjang dan makin panjang lagi. Berhaji jadi makin sulit. Jika ingin cepat berangkat, biayanya kian mahal. Setiap kali musim haji datang, selalu ada rasa sesal yang timbul: Seharusnya saya sudah berhaji. Tetapi mengapa saya tak menjawab panggilan-panggilan itu dengan baik?

Baru tahun 2015, setelah saya cukup dewasa untuk berpikir dan memahami bahwa haji adalah kewajiban seorang muslim yang mampu untuk menunaikannya, saya tergerak untuk ingin menunaikan ibadah haji. Saya ingat waktu itu menelepon orangtua saya dari Melbourne, Australia, untuk meminta didaftarkan haji di Bandung. Saya tergerak oleh pidato seorang ustadz asal Bangladesh saat shalat jumat di Clayton Community Center. “Banyak orang berpikir ingin sukses dulu baru berhaji. Apakah tidak mungkin bagi Allah membuat seseorang berhaji dulu dan kemudian sukses?” Pertanyaan retorik itu benar-benar menohok ke sanubari saya.

“Antre 7 tahun!” Itulah jawab ibu saya di telepon. Hati saya hancur mendengarnya. 7 tahun? Itu pun kalau beruntung. Dulu saya pernah punya setidaknya dua kali kesempatan berhaji tanpa antre. Betapa menyesal saya menyia-nyiakannya. Bodohnya, waktu itu saya tak langsung mendaftar juga. Ada kesombongan dalam diri saya yang mengatakan, “Nanti saja, saya tidak mau mengantri. Saya akan cari uangnya agar bisa berangkat tanpa menunggu.”

Tapi memang berangkat haji tanpa antri mahal sekali harganya, ratusan juta rupiah. Dan semakin kesini semakin mahal. Maka setiap tahun rencana itu tertunda lagi dan lagi, karena kemampuan saya menabung untuk haji kalah cepat dibandingkan ongkosnya yang melesat makin tak masuk akal. Saat saya memutuskan mendaftar haji reguler, waktu tunggu berangkat haji dari kota saya sudah melebihi 20 tahun.

Maka setiap tahun saya adalah manusia yang bersedih dan menyesal. Setiap tahun saya dihantui perasaan bersalah kepada diri saya sendiri. Tiga kali saya dipanggil, tiga kali pula saya mengabaikan panggilan itu. Betapa hina dan bodohnya saya. Sementara uang tak kunjung terkumpul, selalu terganggu ini dan itu. Antrian haji reguler terus memanjang hingga 25 tahun. Masihkah Allah memberi saya umur dan kesempatan hingga selama itu? Saya hanya bisa berdoa dan memohon ampunan.

Tahun 2023 doa itu terjawab. Panggilan haji datang lagi untuk kali keempat. Tapi kali ini dari jalur yang tak pernah saya duga sebelumnya: Menjadi petugas haji. Mewakili pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk menjadi panitia penyelenggara dan pendamping haji. Setelah mengikuti serangkaian tes dan proses seleksi, saya dinyatakan lolos. Tahun ini Insya Allah saya berhaji untuk bertugas. Allahu akbar!

Saya adalah saksi bahwa haji merupakan panggilan. Tidak semua orang yang punya ongkos akan berangkat, tidak semua yang punya uang bisa melenggang, tidak semua yang ingin bisa menunaikannya. Haji adalah ibadah istimewa yang punya misterinya sendiri. Ada yang sudah waktunya berangkat, gagal berangkat. Saya tiga kali mengalami peristiwa semacam itu. Bukan karena fisik tak mampu, bukan karena ongkosnya tak tersedia.

Semoga Allah mengampuni dosa-dosa saya. Tahun ini saya ingin menjawab panggilan itu. Labbaik, allahumma labbaik. Labbaika la syarika laka labbaik. Innal hamda wa ni’mata laka wal mulk, la syarikalak. Aku datang, ya Allah aku datang. Aku datang (memenuhi panggilanmu), tak ada sekutu bagiMu, aku datang. Sesungguhnya segala puji dan nikmat hanya untukMu dan segala kuasa hanya milikMu, tak ada yang menyerupaiNya. Aku datang!

FAHD PAHDEPIE – Penulis, Petugas Haji Daerah Provinsi Jawa Barat

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button