Market

Faisal Bikin Gaduh, Giliran Anak Buah Sri Mulyani Bela Hilirisasi Nikel

Ekonom senior Indef, Faisal Basri sukses bikin heboh pemerintahan Jokowi, gara-gara pernyataan menohok soal hilirisasi nikel. Ya, namanya saja ekonom senior.

Setelah Jokowi, kini giliran Staf Khusus Menteri Keuangan (Menkeu), Yustinus Prastowo menjawab kritikan Faisal Basri terkait hilirisasi nikel yang lebih menguntungkan China ketimbang Indonesia. Menurut perhitungan Faisal, China kebagian 90 persen, Indonesia hanya dapat serpihan sebsar 10 persen.

Dikutip dari akun twiter @prastow, Jakarta, Sabtu (12/8/2023), anak buah Sri Mulyani ini, Prastowo membantah adanya insentif tax holiday 20 tahun untuk smelter nikel. Yang berdampak tidak adanya pungutan pajak selama itu.

Menurut Prastowo, pemerintah menetapkan pemungutan penerimaqan negara bukan pajak atau PNBP, serta royalti atas nikel dan produk pemurniannya. Jadi keuntungan dari hilirisasi tetap masuk ke negara.

“Bang @FaisalBasri yang baik, saya jawab satu hal dulu, PNBP dan royalti. Anda keliru ketika bilang tidak ada pungutan karena faktanya melalui PP 26/2022 diatur tarif PNBP SDA dan royalti atas nikel dan produk pemurnian,” tulis Prastowo.

Menurut Prastowo, sejalan dengan amanat UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba, pengelolaan mineral diarahkan untuk mendukung hilirisasi.

Ada dua hal, imbuhnya, yang dilakukan pemerintah terkait dengan kebijakan tersebut.

Pertama, pelarangan ekspor bijih nikel pada 2020. Kedua, pemberian tarif royalti yang berbeda antara IUP yang hanya memproduksi/menjual bijih nikel dibandingkan dgn IUP yang sekaligus memiliki smelter. Tarif royalti untuk bijih nikel 10 persen dan tarif untuk feronikel atau nikel matte sebesar 2 persen.

Sebelumnya, Faisal Basri mengkritik hilirisasi nikel yang dilaksanakan Presiden Jokowi. Pasalnya, 90 persen dari keuntungan hilirisasi nikel yang dilaksanakan Jokowi justru dinikmati oleh China.

Hal itu katanya, bisa dilihat dari keterangan resmi pemerintah dan pelaku bisnis terkait. Dari keterangan itu, Faisal menerangkan nilai ekspor bijih nikel (kode HS 2604) hanya Rp1 triliun pada 2014. Angka itu berasal dari ekspor senilai US$85,913 juta dikalikan rerata nilai tukar rupiah pada tahun yang sama, Rp11.865 per dolar AS.

Sementara pada 2022, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) yang diklaim sebagai hasil dari hilirisasi tercatat Rp413,9 triliun. Angka itu berasal dari nilai ekspor US$27,8 miliar dikalikan rerata nilai tukar rupiah pada tahun lalu sebesar Rp14.876 per dolar AS.

Meski ada ekspor, Faisal menilai uang hasil ekspor itu tidak seutuhnya mengalir ke Indonesia. Pasalnya, hampir seluruh perusahaan smelter pengolah bijih nikel dimiliki oleh China dan Indonesia menganut rezim devisa bebas. Dengan begitu, perusahaan China berhak untuk membawa semua hasil ekspornya ke luar negeri atau ke negerinya sendiri.

Ditambah lagi, ekspor olahan bijih nikel sama sekali tidak dikenakan segala jenis pajak dan pungutan lainnya. “Jadi, penerimaan pemerintah dari ekspor semua jenis produk smelter nikel nihil alias nol besar,” terangnya.

Faisal menyebut perusahaan smelter nikel bebas pajak karena mereka menikmati tax holiday selama 20 tahun atau lebih. Insentif pajak itu diberikan oleh pemerintah melalui Kementerian Keuangan dan BKPM.

Tak hanya itu, sambung Faisal, perusahaan nikel China di Indonesia juga tidak membayar royalti. Pasalnya, yang membayar royalti adalah perusahaan penambang nikel yang hampir semua adalah pengusaha nasional. Ketika masih dibolehkan mengekspor bijih nikel, pemerintah masih memperoleh pemasukan dari pajak ekspor.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button