Kanal

Konflik Agraria di Sulawesi Barat; Si Kecil Tidak Selalu Benar

Di jalanan, bila sepeda motor berkonflik dengan mobil, tanpa merasa harus tahu dulu duduk persoalannya, para pengguna jalan umumnya sudah langsung menghakimi bahwa mobillah yang bersalah. Sepeda motor yang kecil, yang tampak lebih papa dan terpinggir, sepertinya menjadi alasan pembenar mengapa sikap seperti itu yang muncul secara umum.

Dalam konflik tanah, apalagi bila pihak yang berseteru melibatkan perusahaan besar (yang segera memancing asumsi sebagai bagian dari Oligarki) dengan masyarakat, bisa dipastikan simpati akan kontan mengalir kepada warga. Perasaan itu tumbuh lebih besar lagi bila berita tersebut dibumbui cerita-cerita penderitaan, kemelaratan, yang segera akan dinisbatkan sebagai dampak keras kepalanya perusahaan.

Namun berbeda dengan yang diungkap ekonom Ernst Friedrich Schumacher, “small is beautiful”, yang kecil itu tak selalu (melakukan perbuatan) indah. Di lapangan, seringkali yang terjadi tidak selalu hitam putih. Perusahaan-perusahaan yang hidup di tengah warga asli itu jelas tidak sepenuhnya berperilaku layaknya VOC di masa silam. Sementara para pengelolanya juga bukan kolonialis Belanda, atau setidaknya  ‘Londo Ireng’, yang umumnya selalu menjura ke atas dan menindas ke bawah.

Seperti yang terjadi pada beberapa konflik tanah di Sulawesi Tengah (Sulteng). Di awal-awal pembangunan perkebunan sawit di Sulawesi, di Dusun Kabuyu, Desa Martasari, Pedongga, Kabupaten Pasangkayu saat ini, warga berkonflik dengan PT Mamuang, di tahun 1992 saat pembersihan lahan baru dimulai. Jauh dari sikap memaksakan kehendak, perusahaan bahkan menunggu penyelesaian yang lebih adil.

Dua tahun kemudian, 1994, dibentuk tim penilai yang beranggota Badan Pertanahan Nasional (BPN), pemerintah daerah dan masyarakat, untuk mencermati  lahan- lahan bermasalah. Pada 28 April 1994 Panitia Tetap Penyedia Tanah Kabupaten Tingkat II Mamuju (kabupaten yang menaungi wilayah saat itu) tersebut meninjau lokasi lahan yang dimohonkan HGU-nya oleh perusahaan.

“Ketika 1994 inilah didapati ada permukiman warga di dalamnya. Perusahaan pun membebaskan 250 hektare, kami keluarkan dari HGU. Kami siapkan lahan. Kami tata,” kata Teguh Ali, community development area manager Celebes 1, Astra Agro Lestari, perusahaan induk Mamuang kepada situs berita lingkungan Mongabay, seperti dimuat  2 September  2019.

Kesepakatan itu dituangkan dalam Berita Acara bertanggal 28 April 1994 tentang Hasil Peninjauan Lapangan Areal Perkebunan Kelapa Sawit PT. Letawa (Ltd) dan PT. Mamuang oleh Panitia Tetap Penyedia Tanah Pemda Tingkat II Mamuju. Berita Acara Kesepakatan itu ditindaklanjuti Bupati Kepala Daerah Tingkat II Mamuju dengan menerbitkan rekomendasi No. 522.12/828/IV/94/Ekon, tertanggal 30 April 1994 tentang Keterangan Tanah Tidak Bermasalah pada Areal Perkebunan PT. Mamuang yang terletak di Desa Martasari, Kecamatan Pasangkayu.

Apakabar lahan itu sekarang? Gatra online pada 2 Oktober 2022 menulis bahwa tanah-tanah itu kemudian dijual warga. Konon dengan harga murah kepada beberapa karyawan perusahaan dan warga pendatang.

Tetapi tanah, apalagi tanah ‘negara’, memang menjadi sumber konflik yang rawan. Seiring waktu, persengketaan lahan di area perkebunan di Sulteng—dan kini Sulbar setelah pemekaran–terus bermunculan. Kadang berkisar soal penguasaan dan pemakaian tanah, tidak jarang urusan yang lebih kecil, warga memanen tandan sawit yang ada di area perkebunan.  Yang ini bahkan lebih kerap terjadi.

I Wayan Sucana, mantan kepala Desa Martasari, Kecamatan Pedongga, Pasangkayu, dua periode, menyaksikan betul hal itu. Ia kerap melihat warganya yang sudah tak lagi memiliki lahan, masih bisa punya hasil panen sawit yang tak jarang dalam ukuran ton. Kepada penulis yang menemuinya di rumahnya, juga kepada Gatra berbulan sebelumnya, Wayan mengatakan, rupanya  panen itu didapat dari hasil ‘kerja diam-diam’ alias memanen tanaman orang. Tidak harus tanaman sawit perusahaan perkebunan.

“Kebun teman Bali yang di pinggir sungai, sudah dipanen duluan. Mereka tak takut lagi lantaran tahu perbuatannya itu hanya tindak pidana ringan,”ujar Wayan, seperti dimuat pula pada Gatra 2 Oktober 2022 itu. Ia, karena keseringan menegur ulah mereka, mengaku mulai bosan.

Perbuatan itu pula yang membuat, misalnya,  empat warga Polanto Jaya, Kabupaten Donggala, yakni M.Jufri alias Upong, Suparto, Sikusman, dan Mulyadi, dijatuhi vonis kurungan lima bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Pasangkayu, Sulawesi Barat, pada April 2018 lalu. Mereka kedapatan memanen buah sawit di areal HGU PT Mamuang. Para pelaku beralasan areal tersebut adalah miliknya, bukan milik sah perusahaan.

“Semoga keempat orang tersebut semakin bijak dan taat pada aturan hukum yang berlaku,” kata Teguh Ali, seperti ditulis Antaranews, 24 April 2018. Sebenarnya, kata Teguh, kejadian itu bukan yang pertama. Perusahaan juga tak langsung memakai jalur pengadilan. “Kami sudah berusaha menempuh jalur musyawarah dan memberi penjelasan kepada mereka, tetapi tidak berhasil. Mereka terus melakukan aksinya memetik buah sawit secara tidak sah,”kata Teguh.

Tidak hanya itu, Teguh mengatakan, pada September 2017 perusahaan pernah mendatangkan staf Kantor BPN untuk memeriksa objek yang diklaim Upong sebagai lahan miliknya. “Saat itu pun sudah ditegaskan bahwa areal tersebut masuk dalam HGU PT Mamuang.” Karena pelaku terus melakukan panen illegal, perusahaan pun terpaksa melaporkan kejadian tersebut ke Polres Pasangkayu. Jadi, sejatinya ia sangat menyayangkan isu kriminalisasi petani dan warga yang yang digembar-gemborkan beberapa pihak di media massa.

Padahal, kata Teguh, sebagai perusahaan yang hidup berdampingan dengan masyarakat, PT Mamuang tidak hanya berorientasi bisnis. Sesuai visi dan misi Astra Agro Lestari, PT Mamuang juga ingin masyarakat maju, tumbuh bersama perusahaan dan hidup sejahtera, yang semua itu berusaha diwujudkan melalui program-program kemitraan.

“Kami sangat serius menjalankan kebijakan keberlanjutan kami,” kata Senior Vice President of Communications and Public Affair Astra Agro, Tofan Mahdi, dalam keterangan tertulis mereka. Menurut Tofan, jangankan melakukan kriminalisasi kepada masyarakat,  perseroan sudah  menjalankan kebijakan keberlanjutan dengan prinsip tidak melakukan deforestasi dan menjadikan konservasi lahan gambut dan menghormati HAM sebagai misi utama.

Wayan Sucana mengatakan, konflik tanah antara warga dengan perusahaan mulai marak sejak 2006. Beberapa kelompok masyarakat mengklaim bahwa tanah yang dipakai perkebunan itu merupakan tanah adat. Ada juga yang mengklaimnya sebagai tanah kelompok tani.

Misalnya klaim sebuah kelompok yang dihimpun Agung T, seorang pendatang Bugis, menggugat perusahaan sawit. Gagal melakukan mediasi, jalur pengadilan pun ditempuh, bahkan dari Pengadilan Negeri, banding Pengadilan Tinggi, kasasi Mahkamah Agung, hingga Peninjauan Kembali (PK). “PK itu ditolak,” kata Wayan,”Tapi selanjutnya ada lagi gugatan.” Di kasus yang sampai PK-nya ditolak MA itu, Agung menggugat 1.750-3.000 ha sebagai lahan masyarakat. Setelah PK-nya ditolak, Agung bahkan menggugat lagi seluruh wilayah kerja PT Mamuang, seluas 8.000 ha.

Belakangan, muncul pula gerakan penggugatan yang dipelopori pemuda Dedi Sudirman Lasadindi, yang menurutnya mulai mengemuka pada 2021. Kelompok ini mengklaim bahwa tanah yang digunakan untuk perkebunan adalah tanah adat (tanah ulayat)  mereka, suku Kaili Tado.

Dedi Sudirman Lasadindi sendiri dikenal warga tidak tamat SMP, namun gemar belajar. Tentang nama Lasadindi yang ia gunakan, wajar membuat orang yang mengerti mengaitkannya dengan Lasadindi, seorang pejuang kemerdekaan dan aktivis Syarikat Islam di Sulteng pada era 1917 hingga jaman Jepang. Tapi soal itu, entahlah. Pasalnya, selama ini pun beredar isu bahwa Dedi adalah lulusan sebuah perguruan tinggi di Jawa Tengah. Sementara Wayan dan sebuah artikel yang ditulis jurnalis televisi CNN di Sulteng, Jafar Bua, pendidikannya hanya SMP. Kondisi perekonomian keluarganya pun, menurut Wayan, cukup berat.  “Dia tak punya tanah, tak ada pekerjaan,”kata Wayan. Alhasil, tidak kirang juga warga yang mengaitkan gugatan tersebut dengan motivasi ekonomi.

Benarkah klaim soal tanah ulayat tersebut? Masih harus diteliti dengan cermat. Namun tidak kurang, baik warga setempat maupun para sejarahwan dan budayawan di Palu, menyangsikan hal itu.  “Sampai saat ini kami tak tahu apakah memang di Pasangkayu ada tanah adat atau tanah ulayat,”kata Wayan, yang mengaku selama dua periode jabatannya sebagai kepala Desa Martasari, tak pernah mendengar hal itu. Namun, kalaupun benar, bagi dia lebih mungkin tanah-tanah itu sudah dijual kepada para pendatang. “Jadi kalau disebutkan ada tanah adat atau apa, kan mereka ini sudah jual semuanya,”kata Wayan. Harga tanah saat itu masih murah. Wayan ingat, satu bahkan dua hektare lahan bukaan saat itu hanya dihargai Rp 400 ribu atau Rp 500 ribu.

Kepala desa sebelumnya, Timotius, yang juga menjabat dua periode sebelum hingga kini menjadi aparat kantor Kecamatan Pedongga, juga menyangsikan hal itu.     Bagi Timotius, tidak mungkin wilayah itu akan menjadi areal HGU bila benar merupakan tanah ulayat. “Itu intinya. Mengapa? Karena terbitnya HGU itu berdasarkan ijin dari pemerintah, yang sejauh yang saya tahu ketika itu diawali dengan pelepasan kawasan hutan, kemudian ada pencadangan areal dan ijin penerbitan sertifikat HGU,”kata Timotius di rumahnya.

Bahkan keberadaan kelompok adat yang ada sekarang, yang menyebut diri masyarakat adat suku Tado, itu pun menurutnya muncul setelah wilayah itu bersertifikat HGU. “Belum ada nama masyarakat adat suku Tado sebelum keluarnya sertifikat HGU itu,” kata Timotius. Apalagi, kata dia, kelompok itu tak pernah memberikan satu pun bukti otentik bahwa itu tanah ulayat.

Sebuah situs berita lokal, Sekilas Indonesia.id, memuat pernyataan Muhammad Abduh, kepala bagian pemerintahan Sekda Kabupaten Pasangkayu. Menurut Abduh, dari tiga kali munculnya pemberitaan soal klaim atas “tanah Ulayat” itu, tidak ada satu pun gugatan resmi tertulis masuk ke Pemkab Pasangkayu. “Saat dimediasi oleh Pemda Pasangkayu, antara masyarakat adat dengan perusahaan, Komunitas Adat Kabuyu hanya berbicara secara lisan tanpa adanya  surat-surat resmi yang diperlihatkan waktu itu,”ujar Abduh. Padahal, kata dia, kalau pun memang ada, itu pun  tidak serta merta masyarakat adat langsung menguasai karena ada mekanisme yang mengaturnya. Perlu upaya permohonan kepada pemerintah.

Ia juga mempertayakan mengapa “Komunitas Masyarakat Adat Kabuyu” itu tidak menuntut dari awal, saat dilakukan proses HGU PT Mamuang. Situs berita local itu menulis, “Intinya, tidak ada tanah ulayat di wilayah HGU PT Mamuang, termasuk di wilayah Kabupaten Pasangkayu, karena terbukti tidak pernah menuntut dari awal saat proses HGU, termasuk tidak pernah secara tertulis menyurat ke Pemda Pasangkayu.”

Jawaban yang sama juga datang dari para pegiat literasi dan sejarah Kaili di Palu dan Donggala. Aktivis dan mantan ketua AJI  Sulteng, Iwan Lapasere, menyang-sikan adanya masyarakat adat Kaili Tado di Pasangkayu. Bagaimanapun, kata dia, pusat dan asal orang-orang Kaili Tado tinggal adalah di dekat Danau Lindu, Kecamatan Lindu, di Kabupaten Sigi, yang berada di dalam Taman Nasional Lore Lindu. Jadi, ia sangsi bagaimana caranya orang-orang Kaili Tado punya tanah Ulayat (tanah adat) di Pasangkayu, yang jaraknya mencapai ratusan km dari wilayah Danau Lindu, wilayah asal mereka.

Budayawan senior TS Atjat, kepada penulis juga mengatakan bahwa orang-orang Kaili Tado dikenal tinggal di Lindu, sebagaimana dikatakan Iwan. Demikian pula budayawan Kaili, Jamrin Abubakar. “Sepengetahuan saya, Kaili Tado itu bermukim di Kecamatan Lindu, Kabupaten Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah,”kata Jamrin saat ditemui di Donggala. Nama Lindu sendiri, menurutnya, terkait ada legenda tertentu yang menceritakan proses terbentuknya desa tersebut sesuai mitologi berkelahinya anjing milik Sawerigading yang datang ke Lembah Palu, dengan seekor Lindu.  Wilayah tersebut berada di dalam Taman Nasional Lore Lindu. Luasnya mencapai 34,88 km², berada di ketinggian sekitar 1.000 meter di atas permukaan laut.

Jafar Bua, pada Februari 2022 lalu di blognya menulis sebuah artikel “Menelusuri Jejak To Kaili Tado di Ngata Katuvua Kabuyu”. Pada artikel kritis itu Jafar memperlihatkan ketertarikannya akan ihwal keberadaan suku tersebut. Jafar mengutip buku Albertus Christiaan Kruyt (10 Oktober 1869–19 Januari 1949), “De West-Toradjas Op Midden-Celebes” yang terbit di Amsterdam pada 1938.

Pada buku itu ditulis, berdasarkan catatan penelitian Dr. S. J. Esser, seorang ahli bahasa dari Belanda di Rio Pakava, yang meneliti di Sulawesi sejak 1928–1944, memang ada mereka yang mengaku sebagai To Tado, tapi berbeda dialek bahasanya dengan suku di Lindu, Sigi.  Saat itu, Esser meneliti di Tinauka dan Pantolobete yang berada di wilayah Kecamatan Rio Pakava, Donggala, Sulawesi Tengah. Suku berbahasa Tado juga diketahui berada di Tuva, Gumbasa, Sigi. Mereka dikenal sebagai To Sinduru.

“Asal muasal dan keberadaan suku ini hanya diceritakan turun temurun. Namun lebih pada mitos daripada fakta. Sebab tak adanya bukti fisik atau artefak tertentu yang menandai awal mula keberadaan mereka,”tulis Jafar. Dari Dedi sendiri Jafar mengaku hanya mendapatkan jawaban berupa mitologi.

“Kami berasal dari Tua Pamula. Kami adalah keturunan kedua setelah Suku Kaili Ledo,” ujar Dedi, menceritakan mitos keberadaan sukunya. Tua Pamula yang diceritakan Dedi, kata Jafar,  serupa dengan To Manuru atau To Manurung, manusia yang turun dari langit lalu menikah dengan manusia bumi kemudian menurunkan keturunan anak manusia.

Sayangnya, selain bahasa lokal yang mereka gunakan, catatan mendalam tentang suku ini dalam buku itu tak dapat ditemukan,” tulis Jafar.

Seperti kata Jafar  begitu pula pendapat yang lain soal data dan bukti. Paling tidak, itu pula yang dikatakan Wayan dan Timotius.   Timotius bilang, dalam sengketa agraria di Pasangkayu, gampang terlihat tiadanya dukungan bukti.  Termasuk, tentu saja, dalam gugatan agraria yang tengah bergolak di Pasangkayu. “Bukti kepemilikan, bukti pengolahan, kurang. Walau pun dibilang itu tanah adat, tanah ulayat, tidak ada bukti hitam atas putih atas tanah bekas lahan adat atau ulayat itu. Cerita saja tidak ada,” kata Wayan.

Dulu, kata Wayan, di era gugatan Pak Agung, pernah dikatakan bahwa perusahaan membabat habis tanaman cokelat, jeruk, pisang, dll milik warga, Itu juga dipertanyakan Wayan. “Bagaimana caranya itu tanaman jeruk segala macam tumbuh, kalau air, pohon-pohon paku, sedemikian tinggi. Tanah saja kalau kita injak turun, tanaman nggak akan bisa hidup.”

Itu pula yang dikatakan Teguh Ali kepada Mongabay sambal membukai galeri foto di telepon selularnya. Teguh menunjukkan foto-foto hamparan lahan penuh air. “Ini tahun 1992. Ketika teman-teman pertama masuk membuka lahan. Airnya dalam. Untuk menjangkau itu sulit sekali,”kata Ali.

Memang, sulit menutup mata bahwa warga asli, Suku Kaili, kian terpinggirkan di tanah mereka sendiri. Kondisi yang tentu saja gampang memancing trenyuh. Penyebabnya komplek, menyangkut juga perilaku, cara hidup dan world view orang-orang Kaili sendiri. Jelas hal itu harus dipikirkan serius. Tetapi  dengan adil, karena tanpa itu tampaknya kisruh akan senantiasa tumbuh dan mengabadi. [DSY]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button