Market

Jejak Kongsi Bisnis Dato Sri Tahir dengan Koruptor Jiwasraya

Temuan BPK soal pelanggaran batas maksimum pemberian kredit (BMPK) Bank Mayapada mengungkap adanya relasi Dato Sri Tahir dengan Benny Tjokrosaputro (Bentjok), terdakwa korupsi Jiwasraya yang divonis seumur hidup.

Berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap pengawasan perbankan oleh OJK pada 2017-2019, Bank Mayapada termasuk 7 bank yang kreditnya bermasalah.

Mungkin anda suka

Dalam laporan itu, Bank Mayapada tersandung dalam konsentrasi kredit ke empat grup usaha yang terindikasi melanggar BMPK. Empat grup itu adalah Hanson International (Bentjok), Intiland (HSG/Hendro Santoso Gondokusumo), Saligading Bersama (Musyanif), dan Mayapada Grup (Dato Tahir).

Pelanggaran BMPK terjadi di Hanson International sebesar Rp12,39 triliun, Intiland Rp4,74 triliun, Mayapada Group Rp3,3 triliun dan Saligading Bersama Rp3,13 triliun. Kalau ditotal angkanya mencapai Rp23,56 triliun.

Jelas ada pelanggaran BMPK, karena modal inti Bank Mayapada kala itu, sebesar Rp10,42 triliun. Aturan BMPK mematok kredit tak boleh melebihi 20 persen dari modal inti. Maka, kredit maksimal Bank Mayapada adalah sebesar Rp2 triliun.

Dan, perusahaan milik Bentjok (Hanson International) mendapat kucuran kredit bermasalah paling jumbo. Sulit diterima nalar kalau Bentjok selaku pemilik Hanson dan Dato Tahir selaku pemilik Bank Mayapada, tidak punya relasi yang kuat.

Pelanggaran BMPK ini, menurut Wakil Direktur Institute For Development of Economics and Finance (INDEF), Eko Listyanto, jelas pelanggaran berat. Bisa menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap perbankan nasional. “Apapun kalau kemudian sebuah bank melanggar BMPK, harus sudah menjadi concern pengawas perbankan,” kata Eko.

Eko benar. Bisnis bank adalah bisnis kepercayaan. Ketika kepercayaan pudar, maka nasabah bisa saja menarik duitnya di bank atau rush money. Seperti kejadian 1997-1998. Banyak bank-bank bangkrut yang disuntik Bantuan Lukiditas Bank Indonesia (BI). Bukannya bank menjadi sehat, malah banyak terjadi penyelewengan BLBI. Dalam kasus Bank Mayapada ini, bagaimana mungkin kredit digelontorkan kepada induk usaha yakni Mayapada Group. Nilainya pun melanggar BMPK.

Faktor lain, ya itu tadi, adanya relasi antara Dato Tahir yang kini masih anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) dengan Bentjok, terdakwa seumur hidup mega skandal Jiwasraya. Alhasil, Hanson dengan mudahnya diguyur kredit besar oleh Bank Mayapada.

Ihwal utang Bentjok ke Bank Mayapada, Dato Tahir mengakui ada. Hanya saja dia menyebut utangnya hanya Rp200 miliar. Jauh di bawah temuan BPK soal pelanggaran BMPK Bank Mayapada untuk Hanson International milik Bentjok, sebesar Rp12,39 triliun. “Tidak besar jumlahnya sekitar Rp200 miliar,” ujar Dato Tahir, dikutip dari Bisnis, Kamis (9/7/2020).

Anggota Komisi XI DPR dari PDI Perjuangan, Hendrawan Supratikno menyindir Dato Tahir yang hobi beramal. Dari mana sumber uangnya. “Dalam sistem persaingan industri yang sehat, dan dalam praktik tata kelola yang akuntabel, perilaku yang dermawan dari pengusaha justru mengundang kecurigaan. Dari mana sumber keuntungan atau dana yang digunakan (untuk) berderma itu,” kata Hendrawan.

Dari penelusuran Inilah.com, Dato Tahir dan Bentjok berkongsi bisnis sejak lama. Yang paling seru, bisnis properti mereka di Maja, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.

Mengutip tulisan Abraham Runga Mali, Koordinator Indonesia Financial Watch yang dimuat trenasia.com, relasi kuat antara kedua pengusaha kakap itu, sulit dibantah.

Pada 2018, Dato Tahir selaku pemilik PT Maha properti Indonesia (MPI), melakukan go public dengan menjual 15,01 persen saham demi meraup dana segar Rp164,175 miliar.

Dalam prospektus, perusahaan ini memiliki tiga anak usaha, yakni: Trixindo Selaras (TRX), PT Crestive Softhouse (Ch) dan PT Bintang Dwi Lestari (BDL). Kedudukan sebagai anak perusahaan diperoleh melalui akuisisi pada 29 Maret 2018.

Terkait kepemilikan aset tanah Maja, BDL disebutkan memiliki 2.838.682 meter-persegi (283 ha) tanah girik di beberapa desa di Kecamatan Maja.

Selain itu, Pemkab Lebak telah memberikan izin lokasi No 599 pada 30 Mei 2018 kepada BDL, atas lahan seluas 283 hektare (ha) itu. Sisanya 427 ha, dari total 710 ha, masih dalam proses pembebasan oleh BDL.

BDL didirikan pada 8 Oktober 2014, sebesar 52 persen sahamnya dimiliki PT MPI (Dato Tahir) dan 48 persen dimiliki PT Mandiri Mega Jaya (Bentjok). Bentjok tercatat sebagai direktur, dan Raden Agus Santosa sebagai komisaris BDL.

Tertulis pula perjanjian pembebasan lahan pada Januari 2018 antara BDL dengan sejumlah pihak. Antara lain dengan PT Benua Indah Persada senilai Rp329,057 miliar untuk lahan seluas 1.700.000 m2, dengan PT Kencana Nusa Sejahtera Rp221,271 miliar untuk lahan 1.100.000 m2 dan PT Giat Utama Maju Rp9,658 miliar seluas 50.000 m2.

PT Hanson International. Hanson didirikan pada Juli 1971 dengan nama awalnya adalah Mayertex International. Kemudian menjadi PT Hanson pada 1991.

Pada 2003, Hanson mengakusisi 70% saham PT Vakrawira Bumimandala senilai Rp70 miliar. Kemudian berubah nama menjadi Hanson Industri Utama pada 2004 dan menandai babak baru dalam bisnis properti. Manarik bahwa baik Hanson maupun Maha Properti memulai bisnis properti pada tahun yang sama.

Tahun 2013 Hanson melakukan penawaran umum terbatas untuk mengambilalih PT Mandiri Mega Jaya senilai Rp4,6 triliun. Di sini Mandiri Mega Jaya melakukan semacam backdoor listing melalui Hanson. Perusahaan itu memiliki 27 anak usaha, salah satu yang menonjol di bidang properti adalah PT Harvest Time.

Lalu pada 27 April 2006, MMJ melepas kepemilikan 5% saham kepada PT Mayapada Bangun Pratama sehingga kepemilikan di BPL berkurang dari 53% menjadi sekitar 48%.

Salah satu tonggak penting dalam bisnis properti adalah kerja sama antara pihak Hanson melalui PT Armidian Karyatama (AK) dan Harvest Time (HT)—anak tak langsung melalui PT Mandiri Mega Jaya dengan anak perusahaan milik konglomerat Ciputra dalam mengembangkan Citra Maja Raya.

Dimulai dengan perjanjian pada Setember 2013 bahwa AK dan HT menyediakan 430 Ha lahan di Maja, dan hingga saat ini terus berkembang dan konon sudah menjadi lebih dari 2.600 Ha yang ditandai sebagai daerah komersial.

Semula Mandiri Mega Jaya ikut dalam proyek tersebut, namun kemudian pada 23 September 2016, dia mundur dan menyerahkan sepenuhnya kepada AK dan HT.

Patut disimak dari laporan keuangan Hanson International bahwa grup menandatangani perjanjian dengan pihak ketiga untuk melakukan pembebasan lahan di Maja.

Jumlah uang muka pembelian tanah yang dibayarkan pada 31 Desember sebesar Rp3,038 triliun untuk lahan 1.354 Ha yang dibayarkan kepada PT Surya Agung (661 Ha), PT Tanah Markus Jaya (277 Ha), PT Pro Energi Nusantara (185 Ha), PT Indah Semesta Perkasa (156 Ha), PT Bina Cipta Lestari (45 Ha) dan Maria Sopiah (30 Ha).

Kemudian dengan pihak-pihak yang sama juga dibayarkan uang muka sebesar Rp3,390 triliun untuk lahan seluas 1.495 Ha pada beberapa bulan berikutnya.

Dituliskan bahwa grup menggunakan pihak-pihak tersebut untuk membantu dalam negosiasi dan perantara pembelian dan pembebasan tanah dari penjual.

Tidak mengherankan dalam berbagai kesempatan, Bentjok dengan percaya diri mengakui kepemilikan land bank yang besar di Maja. Demikian juga dengan PT Maha Properti Indonesia (MPI) milik Dato Tahir.

Belum lagi cerita bernama PT New Century Development Tbk (PTRA), pemilik lahan 10 juta m2 di Maja yang dililit kesulitan keuangan. Pada September 2004 menerbitkan surat utang.

Pada 18 Oktober 2005, PTRA menggelontorkan dana Rp41,480 miliar untuk melunasi obligasinya. Pada 30 Desember 2005, perusahaan membayar obligasi konversi Rp232,465 miliar dengan aset lahan di maja seluas 10 juta m2. Mencurigakan karena jatuh temponya masih 6-8 tahun lagi.

Menariknya, siapa penerima pengalihan hak tanah tersebut? Disebutkan PT Grand Pacific Properties. Susah melacak profil perusahan penerima ini, yang pasti dari berbagai jejak digital, alamatnya berada di Gedung Mayapada.

Pada 4 Januari 2006, Direktur Keuangan PTRA, Handoko Gunawan, (Harian Sinar Harapan) menyebutkan bahwa penerima pengalihan hak atas tanah adalah PT Graha Persada Propertindo. Apakah dua perusahaan tersebut sama atau entitas yang berbeda?

Sekali lagi, dari jejak digital, alamat dan nomor telepon kedua perusahaan (PT Grand Pacific Properties dan PT Graha Persada Propertindo) itu sama. Namun tidak mudah untuk menyimpulkan bahwa kedua perusahaan itu berada satu grup dengan PTRA.

Entah kebetulan atau bukan, nomor telepon dan alamat kantor keduanya sama. Semuanya bermarkas di Gedung Mayapada, sama seperti Hanson International milik Bentjok. Semuanya berkumpul di gedung milik Dato Tahir.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button