Kanal

Kampanye Pemilu: Hura-hura Politik Jangan Berubah Jadi Huru-hara

Kampanye Pemilu 2024 sudah dimulai dan menjadi masa-masa yang rawan. Publik mungkin masih ingat peristiwa lapangan Banteng tahun 1982 ketika kampanye berubah jadi kerusuhan. Jangan sampai peristiwa itu terulang pada pemilu kali ini mengingat kampanye sejatinya waktu hura-hura rakyat bukan huru-hara.

Peristiwa Lapangan Banteng terjadi pada 18 Maret 1982 pada masa kampanye pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Saat itu, partai Golongan Karya (Golkar) melakukan kampanye. Pada awalnya kampanye berjalan seperti yang biasa terjadi dalam kegiatan kampanye lainnya.

Situasi berubah seketika saat massa beratribut PPP melintasi Lapangan Banteng. Saling cela antara massa Golkar dengan massa PPP pun semakin menjadi-jadi. Batu-batu pun berterbangan. Massa pendukung Golkar berhamburan ke jalan, mengejar massa PPP. Mereka segera saja terlibat dalam baku hantam. Insiden itu berubah menjadi peristiwa berdarah dan kerusuhan yang secara cepat meluas ke beberapa titik di Jakarta.

Aparat keamanan menangkap 318 orang, 274 orang di antaranya sebagian besar pelajar SD, SMP dan SMA yang kemudian dilepaskan karena dianggap hanya ikut-ikutan dan masih di bawah umur. Menurut informasi yang beredar di kalangan pers, tak kurang dari tujuh orang meninggal sia-sia dalam peristiwa tersebut. Namun pemerintah ketika itu menolak berita tersebut dan mengatakan tidak ada korban jiwa dalam peristiwa Lapangan Banteng.

Ini mungkin kampanye politik paling brutal. Namun ternyata kasus-kasus huru hara dalam kampanye terus berlanjut. Pada Pemilu 1997 selama kurang lebih 30 hari masa kampanye terdapat sekitar 28 kerusuhan. Bahkan lebih ironis lagi menelan korban jiwa mencapai 234 orang meninggal sebagai korban kekerasan politik selama kampanye berlangsung. Pada pemilu-pemilu berikutnya masih terjadi lagi kasus-kasus dalam kampanye di beberapa daerah.

Kasus Lapangan Banteng dan kerusuhan saat kampanye pada pemilu-pemilu berikutnya ini harus menjadi perhatian penting. Hal ini mengingat saat ini sudah beberapa hari berlangsung masa kampanye pemilu hingga menjelang masa pengambilan suara pada 14 Februari 2024. Benih-benih pesta rakyat yang bisa berubah menjadi huru hara masih berpotensi muncul.

Momentum Massal yang Rawan

Mobilisasi massa berupa arak-arakan dan konvoi dalam kampanye di Indonesia sangat sulit dihindari karena sudah berakar dalam tradisi politik. Sebutan pemilu sebagai ‘pesta demokrasi’ lima tahun sekali ikut andil dalam tradisi ini. Dalam ‘pesta demokrasi’ identik dengan pemimpin partai berpidato lantang, dengan kerumunan massa di depan, dan disuguhi hiburan lagu-lagu dari artis maupun selebriti. 

post-cover
Ilustrasi KPU dan Bawaslu sebagai pengawas peserta Pemilu – (Foto: Tim Desain Inilah.com/Febri)

Bagi rakyat, kampanye seperti saatnya bersenang-senang, berjoget, nasi bungkus gratis, dan terbebas dari kepenatan hidup bahkan bisa mendapat uang. Hanya saja, mobilisasi massa telah menciptakan momentum massal yang sangat rawan untuk membangun ikatan-ikatan emosional dan membentuk kesadaran spontan tindakan massa. Tak heran sering terjadi letupan emosi massa dan kekerasan politik akan sangat mudah berkembang di dalam masyarakat.

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sudah membuat Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) dan memetakan potensi kerawanan pada 2024 di 34 provinsi dan 514 kabupaten/kota. Diketahui terdapat 10 daerah paling rawan gangguan pemilu yaitu Jakarta (88,95%), Sulawesi Utara (87,48%), Maluku Utara (84,86%), Jawa Barat (77,04%), Kalimantan Timur (77,04%), Banten (66,53%), Lampung (64,61%), Riau (62,59%), Papua (57,27%), dan Nusa Tenggara Timur (56,75%). Sementara Jawa Timur, berada pada potensi kerawanan rendah mendekati sedang (14,74%). Sebagian besar potensi kerawanan pada tahapan kampanye.

Tradisi mobilisasi massa yang menimbulkan kerawanan dalam kampanye dari pemilu ke pemilu di Indonesia menunjukkan adanya karakter politik yang kurang sehat. “Ini karena para politisi termasuk calon presiden mencoba meraih swing voter yang masih besar bahkan mencapai 30% lewat berbagai cara termasuk kampanye pengerahan massa,” kata Arya Fernandes, analis politik dari Pusat Kajian Strategis dan Internasional Indonesia, mengutip The Associated Press.

Perang di Dunia Maya Bisa Berimbas di Dunia Nyata

Ada fenomena menarik bahwa kemungkinan kampanye pada pemilu kali ini tidak akan sehura-hura sebelumnya. Sejak kampanye dimulai pada 28 November 2023 tidak terlihat pengerahan massa berlebihan di berbagai tempat. Kampanye terbuka memang dilakukan di beberapa tempat namun hingar bingarnya semakin berkurang. Namun masa kampanyenya masih panjang dan akan ada banyak perubahan yang mungkin terjadi sampai 14 Februari sehingga perlu diantisipasi.

Apalagi sebetulnya warning soal bentrok massa sudah muncul sejak jauh-jauh hari salah satunya pada 25 Oktober 2023 di Muntilan, Magelang. Ketika itu masing-masing kelompok yaitu Laskar PDIP Jogja (BSM dan Brigodo Wirodigdo) dengan GPK (Gerakan Pemuda Kabah) Militan bersama Anang Imamudin (Ketua FAUIB) mengalami bentrok secara massal. Dari bentrokan tersebut dilaporkan ada satu orang terluka akibat terkena lemparan batu. Aksi lempar batu terjadi di depan kantor DPC PDIP Prumpung Muntilan.

Yang sedikit menggembirakan, para capres dan tim kampanyenya sudah mulai lebih menitikberatkan penyampaian gagasan dan visi misi di media massa dan media sosial. Bahkan beberapa pekan terakhir, para kandidatnya sering datang ke kampus-kampus untuk berdiskusi tentang kebangsaan dan visi misi mereka kepada kalangan perguruan tinggi. 

Hal ini menunjukkan, sasaran kampanye lebih banyak ditujukan kepada kalangan muda. Tak hanya capres Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka yang mengincar suara anak muda tetapi juga Capres lainnya Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD.

post-cover
Tiga Paslon menandatangani deklarasi kampanye damai di Kantor KPU RI, Jalan Imam Bonjol, Jakarta, Senin (27/11/2023). (Foto: Inilah.com/AgusPriatna)

Ini masuk akal karena dari 204 juta pemilih yang memenuhi syarat, 106 juta, atau sekitar 52 persen dari jumlah total, adalah warga berusia di bawah 40 tahun. Hampir seperempatnya merupakan Generasi Z, yang lahir pada akhir tahun 1990-an dan seterusnya. Selain itu, di 2024 diprediksi adanya peningkatan antusiasme anak-anak muda dalam memilih terutama Gen Z dan milenial.

Tak heran, kampanye di media massa dan media sosial gencar dilakukan para kandidat. Hanya saja adu opini sering diwarnai manipulasi persepsi publik, propaganda hingga kampanye negatif atau kampanye hitam dan menjadi ajang perang baru antarkandidat. Operasi pasukan siber dan para buzzer yang semakin intensif kini telah menjadi bagian integral dari politik pemilu di Indonesia. Sementara di sisi lain, batasan antara kampanye digital dan manipulasi opini publik sudah mulai kabur.

Pada akhirnya rusuh kampanye massa di lapangan kini berubah menjadi huru-hara di angkasa, di dunia maya. Namun bukan mustahil situasi panas pada warganet yang terbelah bisa turun ke bumi menjadi huru hara di darat, yakni kerusuhan antarkelompok pendukung di lapangan saat kampanye. Ini sangat mungkin.

Apalagi elit-elit politik di tingkat atas beserta para tim suksesnya sudah memanaskan situasi politik jauh-jauh hari sebelum kampanye dengan berbagai lontaran yang menyindir, menuduh hingga saling menjatuhkan kepada lawan politiknya. Publik bisa melihat dan mendengarnya dengan mudah di media massa dan media sosial yang massif.

Ini bisa menjadi sumbu halus yang bisa memantik bara permusuhan di tingkat bawah. Mereka gampang tersulut dengan narasi-narasi yang dikembangkan para tokoh-tokoh politiknya. Sehingga gesekan dan kekerasan akan begitu mudah terbakar di lapangan hingga ke daerah-daerah. Pada akhirnya hura-hura pesta demokrasi bisa berubah menjadi huru-hara politik yang memecah belah bangsa. Semoga tidak!

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button