Kanal

Kasus Johnny G Plate: Mimpi Restorasi Politik yang Alpa Fatsoen

Saya justru lebih tertarik untuk menyoal fatsoen yang tidak dijalankan Partai Nasdem dalam perkara ini. Sebab bagi saya sendiri, tidak dibukanya kasus itu sejak lama pun sudah merupakan tebang pilih dan politisasi hukum sendiri. Mengapa Bang Surya Paloh dan Partai Nasdem baru mempertanyakannya kali ini, manakala “untung” sudah tak lagi berpihak pada mereka?

Oleh   : Darmawan Sepriyossa

Isu politisasi hukum pada perkara pemeriksaan dan kemudian penahanan Menteri Kominfo Johnny G Plate, sebagaimana kita tahu tengah bergulir kencang dan ditendang kian ke mari laiknya bola sebagai headline media massa. Terbiasa menyoal secara retoris untuk tameng keamanan, media massa kita seakan bersipongang bertanya,”Apakah ada politisasi hukum pada semua itu?” Ah, “Sudah gaharu, cendana pula” para jurnalis kita ini. Mereka tahu, lalu buat apa pula bertanya?

Di satu sisi, sejak lama pun kita semua “te es te” alias tahu sama tahu, bahkan terbiasa dengan politisasi dan tebang pilih ini. Lainnya tentu saja, respons pemerintah pun sangatlah bisa diduga. Seperti yang akhirnya dijawabkan Menko Polhukam, Mahfud MD, Kamis (18/5). “Saya sudah pastikan ke Kejaksaan Agung,”Ini ada politiknya, nggak? “Nggak”,” kata Mahfud, mengulang pembicaraannya dengan pimpinan Kejaksaan Agung. Saya sendiri menganggap pernyataan Mahfud, sebagaimana pertanyaan para jurnalis itu, tak banyak berguna.

Mengapa kurang berguna? Setidaknya karena common sense kita semua pun berkata bahwa politisasi hukum, penyelewengan kuasa, bukankah telah menjadi sangat biasa dalam kehidupan kita?  Jika ungkapan editor The New York Sun, John B. Bogart (1848–1921) kita ambil: “Ketika seekor anjing menggigit orang, itu bukan berita karena sering terjadi. Tetapi jika seseorang menggigit anjing, itu baru berita”, maka seharusnya soal politisasi hukum dan penyelewengan kuasa di kita itu bukan lagi hal yang “layak berita”.

Dengan perilaku “tebang pilih” yang tercium sangit di keseharian dunia hukum kita, wajar saja bila penegakan hukum kepada pihak yang diduga bersalah senantiasa memunculkan rumor dan sas-sus. Orang selalu skeptis dengan apa pun pernyataan resmi para pejabat. Sementara media massa kita pun tak pernah bisa beranjak dari sekadar menampung -–maaf—ludah dan pernyataan resmi sekian banyak dan jenis pejabat. Para wartawan pun tentu sejak lama menyadari “vicious circle” atau lingkaran setan pemberitaan media massa kita itu.  Tapi media mana di sini—apalagi di tengah aneka krisis di dunia jurnalisme saat ini—yang bisa setiap hari menyajikan reportase mendalam dan investigatif?

Artinya, jurnalislah yang harus menjawab sendiri pertanyaan ada tidaknya politisasi itu dengan mengungkap fakta dan data. Tidak dengan cara bertanya verbal, yang jawabannya sudah bisa direka-reka wartawan sendiri. Setidaknya cara itu—apalagi dengan angle lain yang lebih kreatif, barangkali akan bisa membongkar perkara tersebut lebih dalam dan ‘radikal’—kalau radikal dalam menjalankan fungsi pemberitaan belum termasuk hal terlarang, tentu.

Saya justru lebih tertarik untuk menyoal fatsoen yang tidak dijalankan Partai Nasdem dalam perkara ini. Sebab bagi saya sendiri, tidak dibukanya kasus itu sejak lama pun sudah merupakan tebang pilih dan politisasi hukum sendiri. Mengapa Bang Surya Paloh dan Partai Nasdem baru mempertanyakannya kali ini, manakala “untung” sudah tak lagi berpihak pada mereka?

Bukankah kita pun tahu bahwa tengara urgennya pemeriksaan terhadap Menteri Johnny itu sudah ‘menyala’ sejak awal Januari lalu? Segera setelah adanya penetapan tersangka kasus itu, publik mulai ramai mempertanyakan mengapa penyelidikan belum juga mencapai para dirjen, yang tentu memiliki tanggung jawab langsung? Mengapa belum juga menyentuh Menkominfo Johnny G Plate, yang nyata-nyata memiliki fungsi pengawasan dalam setiap program yang dijalankan kementeriannya?

Cobalah googling, saat itu saja Kejaksaan sudah selesai memeriksa lebih dari 60 orang saksi, termasuk Inspektur Jenderal Kominfo, Doddy Setiyadi; Sekretaris Jenderal Kominfo, Mira Tayyiba; Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kominfo, Semuel Abrijani Pengerapan; dan Dirjen Informasi Komunikasi Publik (IKP), Usman Kansong. Tak tanggung, Kejagung pun telah melakukan upaya paksa penggeledahan di kantor Kominfo dan kantor PT Adyawinsa Telecommunication & Electrical, tempat tim  menyita sejumlah dokumen dan barang elektronik sebagai bukti.

Jika baru setelah sekian lama—sekitar Februari– Menteri Johnny akhirnya diperiksa, tidakkah lamanya waktu itu pun sebuah ’tebang pilih’ dan politisasi hukum pula? Hanya saat itu, kondisi tersebut masih menguntungkan Partai Nasdem.

Apakah kemungkinan ‘mengendapnya’ kasus ini berkaitan dengan keberadaan kader Partai Nasdem yang selama lima tahun menjadi Jaksa Agung, HM Prasetyo, kini tak terlalu penting untuk diangkat. Hanya kabarnya, di masa-masa itu Kejaksaan dikenal tajam kepada para politisi di luar Nasdem.

Yang saya sebut fatsoen yang alpa dilakukan Nasdem itu adalah keluar dari koalisi partai penyokong pemerintah dengan memanggil para menterinya pulang ke rumah partai. Benar bahwa hak untuk mencopot menteri itu sepenuhnya ada pada tangan Presiden Jokowi. Tetapi sikap untuk segera menarik para kader di kabinet, menurut saya, membuat Nasdem lebih elegan dan terhormat saat mengambil sikap politik yang tidak sejalan dengan Presiden, apa pun bentuknya. Selain itu, sikap tersebut juga menegaskan kepada publik tentang keseriusan sikap politik yang diambil Nasdem ke depan.

Kita bukan tak punya—katakanlah, contoh– peristiwa sejenis dalam hal itu. Bahkan masih dalam pemerintahan Jokowi, Agustus 2018, beberapa waktu sebelum Pilpres 2019. Saat itu Menpan RB, Asman Abnur, dari Partai Amanat Nasional (PAN) menyatakan mundur dari kabinet. Penyebabnya, PAN saat itu berbeda jalan dengan pemerintahan Jokowi. Di saat Jokowi hendak kembali berkuasa di periode kedua, PAN memilih berada dalam kapal besar para pendukung Prabowo Subianto. Mungkin saja sikap elegan PAN itu yang membuat Jokowi masih meliriknya di periode kedua pemerintahannya, dengan mengambil Zulkifli Hasan sebagai menteri perdagangan sejak Juni tahun lalu.

Apakabar restorasi Partai Nasdem?

Pada saat pendiriannya, Partai Nasdem mampu menghentak kesadaran dan membuat perhatian publik menoleh ke partai baru itu. Hanya tiga tahun sejak berdirinya, 26 Juli 2011, pada Pemilu 2014 Partai Nasdem langsung menohok perolehan suara Pemilu 2014 di posisi ke-9 dengan total suara 8.402.812 (6,72 persen). Partai ini pun segera masuk DPR, setara dengan partai-partai politik lain, bahkan yang telah bercokol puluhan tahun sejak era Orde Baru!

Tentu saja cita-cita perubahan yang diusung partai sebagai misi utama, dalam terma “Gerakan Perubahan Restorasi Indonesia”, memberi andil besar dalam prestasi fenomenal Partai Nasdem tersebut. Gerakan perubahan itu, menurut Nasdem, harus dilakukan untuk memulihkan, mengembalikan, dan memajukan fungsi pemerintahan Indonesia pada cita-cita proklamasi 1945.

Restorasi Indonesia sendiri terdiri dari empat cakupan, yakni memperbaiki, mengembalikan, memulihkan, dan mencerahkan. Dan memang Nasdem datang dengan membawa harapan baru pada kata “politik” yang di tengah masyarakat Indonesia terasa kian degradatif. Datang ketika sebagian masyarakat kian apatis bahkan tak jarang memilih mendaku “Golput” sebagaimana gerakan yang diusung mendiang Arief Budiman di awal 1970-an. Sebagai rakyat, mereka merasa (di)jadi (kan) kaum “wujuduhu ka adamihi”, yang ada tidaknya tidak memberi arti apa pun bagi politik Indonesia yang lebih baik.

Bayangkan, di tengah budaya “mahar politik” yang terasa biadab di mata hati orang beradab, partai besutan Surya Paloh itu menawarkan hal yang lebih beradab dengan karakter “Politik Tanpa Mahar dan Tanpa Syarat”. Konsistensi soal itu telah kita lihat dengan pembuktian Partai Nasdem saat menyatakan mendukung Anies untuk menjadi calon presiden. Kita tahu, tak ada ‘mahar’ politik yang dimintakan partai tersebut kepada Anies, secara tertutup, apalagi terbuka.

Saat itu pun tak kurang dari Ketua Umum PBNU (saat itu), KH. Hasyim Muzadi, pernah menyampaikan rasa kagumnya terhadap Partai NasDem. Almarhum menyebut partai itu memiliki sekian banyak keunggulan kompetitif, yang di partai lain hanya samar-samar terasa, atau “sayup-sayup sampai” dalam wacana. Tema besar yang diusung Nasdem itu, menurut KH Hasyim, bersifat universal, menembus batas-batas keberagaman, baik dari sisi agama, suku, ideologi dan perbedaan lainnya.

Sayangnya, belum lagi mencapai usia dua windu, cita-cita tersebut telah terkesan masuk angin, dan sebagian kader Partai Nasdem pun seperti tak pernah minum Jamu Tolak Angin. Dua petinggi penting partai itu, keduanya sekretaris jenderal partai, Patrice Rio Capella dan kini Menteri Johnny. Rio Capella tersandung batu ujian berupa gratifikasi Rp 200 juta, terkait proses bantuan penanganan perkara daerah, tunggakan dana bagi hasil, dan penyertaan modal sejumlah BUMD di Sumatera Utara oleh Kejaksaan. Sementara Menteri Johnny secara nominal ‘naik kelas’, di saat Rabu siang lalu Kejaksaan Agung menetapkannya sebagai tersangka dalam kasus korupsi penyediaan menara BTS 4G dan infrastruktur pendukung paket 1, 2, 3, 4, dan 5 Badan Aksesabilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) Kominfo tahun 2020-2022.Besaran kerugian negaranya disebut-sebut menyentuh angka Rp 8 triliun.

“Kita tetap menganut asas praduga tidak bersalah. Tidak ada di antara kita yang memastikan diri kita ini terlepas dari kesalahan, kekhilafan, kebodohan bahkan dosa, itulah arti kehadiran kita sebagai manusia biasa,”kata Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh, Kamis (18/5). Suaranya dalam dan terkesan menelan pahit. Bang Surya sendiri mengatakan, dirinya bukan tak pernah menanyakan langsung persoalan tersebut kepada Menteri Johnny. “Dalami ini satu kali, dua kali, tiga kali, dia (Johnny G Plate) menyatakan tidak ada, itu yang pertama,” kata Bang Surya.

Kejadian mutakhir yang melibatkan Menteri Johnny itu bahkan sampai membuat publik menyoal keberadaan Partai Nasdem dan cita-cita Restorasi yang mereka usung. Termasuk, misalnya, yang mempertanyakan konsistensi Surya Paloh, yang konon sempat menyinggung tidak ingin mempertahankan partai jika ada (kadernya) yang terlibat kasus korupsi. Menurut Viva News, itu dikatakannya saat pembekalan calon legislatif Nasdem, 3 Juni 2015.

Saat itu, menurut Viva, Bang Surya mengatakan (bila itu terjadi), “Tidak layak Partai Nasdem dipertahankan.”

Tentu saja kita semua prihatin. Selama ini Partai Nasdem tergolong partai politik yang kreatif dan banyak membawa suara baru untuk perubahan menuju Indonesia yang lebih baik. Kita tidak pernah berharap partai seperti itu mati muda, meski kata—konon–Sopochles sang dramawan era Yunani kuno, yang terbaik dalam hidup adalah mati muda, dan seterusnya dan seterusnya.   Tidak adil, bahkan pikiran yang kerdil untuk menerapkan gaya-gaya pars pro toto, alias melakukan over-generalisasi, dengan menganggap kader-kader Nasdem identik dengan dua atau beberapa petingginya yang terjaring kasus hukum.

Nasdem berhasil mengamputasi sekjen lamanya ketika kisruh gratifikasi itu muncul. Demi kemaslahatan orang banyak, Nasdem akan bisa memilih putusan terbaik pada saatnya, tentu. [  ]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button