News

Kurang Literasi Sebabkan Minimnya Keterwakilan Perempuan di Parlemen

Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Idham Holik meminta pemerintah untuk lebih menggalakkan literasi tentang kesetaraan politik, demi bisa memenuhi urgensi ambang batas keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif di Pemilu 2024.

“Pentingnya keterwakilan perempuan di lembaga legislatif karena kita menyadari tidak semua kebijakan berkaitan dengan pemberdayaan perempuan atau advokasi perempuan dapat dipahami oleh laki-laki, tetapi hanya dipahami oleh perempuan itu sendiri,” tegasnya dalam diskusi virtual di Jakarta, dikutip Minggu (9/4/2023).

Ia menjelaskan, berdasarkan data bakal calon DPD RI untuk pemilu 2024 dari 38 provinsi keterwakilan perempuan masih dibawah rata-rata. pihaknya mendorong agar perempuan bisa berpartisipasi sebagai calon legislatif dalam politik. “Dari 771 (jumlah bacalon), hanya 19,84 persen keterwakilan perempuan atau Caleg DPD perempuan,” ungkap dia.

Berkaca pada pemilu 2019 menurutnya keterwakilan perempuan masih perlu diperjuangkan melalui penggalakkan literasi. Sebab dari tahun ke tahun, keterwakilan perempuan belum mencapai 30 persen. “Untuk DPRD provinsi seluruh Indonesia di 34 provinsi kemarin hanya 18,03 persen. Untuk DPRD kabupaten/kota di 508 kabupaten/kota rata-rata hanya 15,25 persen,” lanjutnya.

Sementara itu, dosen ilmu politik dan kepemiluan dari Universitas Sam Ratulangi Ferry Daud Liando mengatakan, banyak dari keterwakilan perempuan dalam legislatif tidak merepresentasikan kebijakan publik.

“Banyak partai politik mengajukan 30 persen perempuan di dapil (daerah pemilihan), tapi kebanyakan 30 persen perempuan itu bukan perempuan yang memang memiliki kemampuan dalam hal memengaruhi kebijakan publik dan mempengaruhi kepentingan publik,” kata Ferry.

Ferry bahkan berani menyebut keterwakilan perempuan di parlemen hanya diisi oleh para istri pejabat. Denga kata lain, bukan perempuan yang memperjuangkan kepentingan publik. “Kebanyakan 30 persen itu adalah perempuan karena memang dia istri ketua pejabat, anak istri (ketua) parpol. Memang identitas perempuan (di parlemen) terisi 30 persen. Namun, bukan perempuan-perempuan pejuang, bukan perempuan yang memiliki kemampuan dalam rangka untuk memperjuangkan kepentingan publik,” ujar Ferry.

“Ini juga perlu menjadi catatan.Bukan hanya perempuan dari segi jenis kelamin. Tapi juga perempuan yang memang betul-betul dinilai publik bahwa dia betul sering memperjuangkan atau mengadvokasi kepentingan publik,” kata dia menambahkan.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button