Kanal

Syekh Nawawi Al-Bantani, Lelaki Sangat Sederhana untuk Penghulu Ulama Tanah Hijaz

Pakaiannya, yang sudah kehilangan warna aslinya, tampak makin lusuh di waktu ia mengajar lantaran campuran keringat. Di malam hari dia mengarang, dengan hanya diterangi lampu minyak sangat kecil, disebut misrayah, yang biasanya hanya dipakai mengantar orang mencari pintu keluar rumah.

Badannya yang bungkuk berjalan seolah seluruh dunia sebuah kitab besar yang asyik dia baca. Orang yang belum mengenalnya mungkin bisa tinggal satu malam di rumahnya tanpa memperhatikan bahwa dia seorang ulama yang menghasilkan puluhan karangan, dalam bahasa Arab, yang enak dibaca.

Istrinya “lebih duniawi’. Berkat usaha dagang wanita inilah para tamu syekh mendapat hidangan yang baik, walaupun si mahaguru berbuat seolah berada di rumah orang lain. Dia memang tidak berbakat mencari uang.

Walau ia menerima banyak hadiah, cara hidupnya terlalu sederhana, lebih-lebih untuk seorang yang diberi gelar Sayyid Ulama’il Hijaz. Sayyid adalah penghulu, sedangkan Hijaz wilayah Saudi yang ke dalamnya termasuk antara lain Mekkah dan Madinah.

Dialah Syekh Muhammad Nawawi, yang lebih dikenal orang Mekkah sebagai Nawawi Al-Bantani, atau Nawawi Al-Jawi seperti tercantum dalam kitab-kitabnya. Kalangan pesantren sekarang menyebutnya Nawawi Banten. Ia lahir pada 1230 H (1815 M) di Tanara, sekitar 25 km arah utara Kota Serang, Jawa Barat. Ayahnya, Umar Ibnu Arabi, adalah penghulu setempat. Ia sendiri yang mengajar putra-putranya (Nawawi, Tamim, dan Ahmad) pengetahuan dasar bahasa Arab, fikih, dan tafsir.

Kemudian mereka melanjutkan pelajaran ke Kiai Sahal, masih di Banten, dan setelah itu masantren di Purwakarta kepada Kiai Yusuf yang banyak santrinya dari seluruh Jawa. Masih remaja ketika mereka menunaikan ibadah haji, Nawawi masih 15 tahun, dan tinggal selama tiga tahun di Mekah. Tapi kehidupan intelektual Kota Suci itu rupanya mengiang-ngiang dalam diri si sulung, sehingga tidak lama setelah tiba di Banten ia mohon dikembalikan lagi ke Mekah. Dan di sanalah ia tinggal sampai akhir hayatnya, 1897. Kabar lain menyebutkan: kembalinya ke Tanah Suci, setelah setahun di Tanara meneruskan pengajaran ayahnya, disebabkan situasi politik yang tidak menguntungkan. Agaknya kedua-duanya benar.

Dari tiga bersaudara memang hanya Nawawi yang meneruskan memperdalam studi keulamaan. Tamim, meski lebih fasih bahasa Arabnya, lebih suka menjadi syekh haji di Mekkah, sebelum menjadi agen jamaah di Singapura. Konon lantaran dilarang menetap di Banten. Adapun Ahmad mengikuti jejak ayahnya sebagai penghulu.

Di Mekkah, Nawawi belajar antara lain pada Khatib Sambas, pemimpin tarekat Qadiriah-Naqsyabandiah, penulis kitab “Fat-hul ’Arifin”, bacaan pengamal tarekat di Asia Tenggara. Sambas juga merupakan guru tokoh di balik pemberontakan petani Banten (1888), KH Abdul Karim alias Kiai Agung, yang menjelang ajal sang guru dipanggil kembali ke Mekkah untuk menggantikan kedudukannya. Menurut Zamakhsyari Dhofier (“Tradisi Pesantren”, 1982), lima organisasi tarekat di Jawa (di pesantren-pesantren Pagentongan, Bogor, Suralaya, Tasikmalaya, Mranggen, Semarang, Bejosa, dan Tebuireng, keduanya di Jombang), yang paling berpengaruh dan memiliki puluhan ribu pengikut, menyambungkan silsilah mereka ke Abdul Karim.

Nawawi sendiri tidak mengikuti gurunya memimpin tarekat. Bukan karena ia menolak tarekat yang “bersih’. Seperti para mahaguru Masjidil Haram lainnya, Nawawi hanya menjelaskan karya-karya ahli tasawuf yang unsur etikanya lebih dipentingkan ketimbang hal-hal gaib. Dia menerima cium tangan dari hampir semua orang di Mekkah, khasnya orang “Jawa” (ia punya pengaruh luas di kalangan orang Nusantara yang belajar di sana), tapi itu hanya sebagai penghormatan kepada ilmu. Adapun dalam pergaulan sehari-hari dia ikut saja, tanpa mendominasi percakapan. Jangan mengharapkan ia yang memulai diskusi

Tulisan-tulisan Nawawi meliputi karya pendek, berupa berbagai pedoman ibadah praktis, sampai tafsir Al-Qur’an —sebagian besarnya merupakan syarah kitab-kitab para pengarang besar terdahulu. Y.A. Sarkis menyebut 38 karya Nawawi yang penting, yang sebagiannya diterbitkan di Mesir. Misalnya “Tafsir Marah Labib”, yang juga dikenal sebagai “Al-Munir”. Sampai sekarang tulisan-tulisan Nawawi dipelajari di pesantren-pesantren di Jawa, selain di lembaga-lembaga tradisional di Timur Tengah.

Nawawi sudah cukup merasa bersyukur ketika mendengar betapa Belanda menghadapi banyak kesulitan di Aceh. Dalam pembicaraannya dengan Snouck Hurgronje, dia tidak menyetujui pendapat bahwa Tanah Jawa harus diperintah oleh orang Eropa. “Andaikata Kesultanan Banten akan dihidupkan kembali, atau andaikata sebuah negara Islam independen akan didirikan di sana, pastilah dia akan menerima berita itu dengan gembira, tanpa mempersoalkan apakah pemberontakan itu betul-betul merupakan kegiatan suatu kelompok orang fanatik yang tidak teratur,” kata Hurgronje, yang pernah menetap menyamar selama enam bulan di Mekkah, 1884—1885.

Tetapi Nawawi tidak menghendaki peranan politik untuk dirinya. Ambisi pribadinya, seperti dikatakan Hurgronje, memang terbatas hanya di bidang mengarang. Dan satu hal yang mustahil baginya: menjadi pegawai pemerintah kafir, seperti ayahnya dan saudaranya Haji Ahmad yang penghulu itu. Tidak dengan sendirinya Nawawi antikafir. Kepada mereka yang tidak menjajah, dia membolehkan kaum muslimin bekerja sama dengan tujuan kebaikan dunia. [  ]

Sumber  : “Tasawuf dan Politik”, A. Suryana Sudrajat, editor : Syu’bah Asa

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button