Kanal

MK dalam Cengkeraman Politisi, Tidak Heran Konstitusi ‘Digagahi’


Tahun 2023 segera berakhir dengan berbagai macam catatan dan kontroversi. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi salah satu sorotan masyarakat di tahun ini, karena dianggap sebagai praktik politik dinasti, manuver memuluskan Gibran Rakabuming Raka, keponakan eks Ketua MK Anwar Usman sekaligus putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi cawapres.

Muruah MK sebagai penjaga konstitusi runtuh. Tak heran bila muncul anggapan bahwa MK di bawah kepemimpinan Anwar Usman telah ‘memperkosa’ dan melahirkan ‘anak haram’ konstitusi. Begitu kesalnya publik pun memplesetkan Mahkamah Konstitusi menjadi Mahkamah Keluarga.

Latar belakang didirikannya MK, sejatinya ingin menghadirkan penjaga konstitusi bukan penjaga kepentingan keluarga. Agar amanat UUD 1945 bisa diimplementasikan secara adil, menjaga pembentuk undang-undang—dalam hal ini DPR dan Presiden—tidak sewenang-wenang menciptakan undang-undang tanpa melibatkan partisipasi masyarakat.

Tapi kesalahan dimulai dari awal, proses seleksi atau rekrutmennya malah melibatkan para pembentuk undang-undang. Maka sudah hampir dipastikan membuka peluang bagi para politisi untuk menitipkan kepentingannya melalui hakim yang terpilih. Jadi jangan heran dari sejak awal dibentuk pada Agustus 2003, problematika kerap mewarnai perjalanan MK. Sebut saja mantan Ketua MK Akil Mochtar yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena suap penanganan sejumlah perkara sengketa Pilkada.

Bila ditelisik lebih jauh, Akil ini memiliki latar belakang sebagai politikus. Pada 1998, Akil bergabung dengan Partai Golongan Karya dan terpilih sebagai anggota DPR RI periode 1999–2004 mewakili daerah pemilihan Kabupaten Kapuas Hulu. Bukan cuma Akil, ada juga mantan hakim konstitusi Patrialis Akbar yang diciduk lembaga antirasuah terkait kasus suap uji materiil UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Sama seperti Akil, latar belakang Patrialis juga politikus, ia pernah menjadi menjabat anggota DPR RI dari Partai Amanat Nasional (PAN) selama dua periode, 1999-2009.

post-cover
Ketua Majelis Hakim Konsitusi Anwar Usman (tengah) didampingi Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna (kiri) dan Patrialis Akbar (kanan) memimpin sidang pengujian aturan pembatasan calon tunggal Pilkada di Mahkamah Konstitusi, Jakarta. (Foto: Antara)

Tapi—meminjam istilah standup comedy—punchline yang paling gerr adalah saat MK berada di tangan Anwar Usman. Publik dikejutkan dengan putusan MK atas perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 pada Oktober 2023. MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yang diajukan seorang mahasiswa asal Surakarta, Almas Tsaqibbirru.

“Intinya, periode terparah MK sepanjang kelahirannya, terjadi di tahun ini. MK dipolitisasi sedemikian rupa untuk kepentingan politik kekuasaan. Ini yang kita sebut dengan istilah politization of judiciary. Hal ini secara nyata ditunjukkan dalam putusan MK 90 itu,” ucap pakar hukum dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah atau yang akrab disapa Castro kepada Inilah.com, Kamis (21/12/2023).

MK memutuskan bahwa pasal yang mengatur batas minimal usia capres-cawapres adalah 40 tahun itu inkonstitusional bersyarat, dengan memberikan klausul pengecualian sepanjang capres atau cawapres telah menjabat sebagai penyelenggara negara. Artinya, warga negara yang berada di bawah 40 tahun bisa maju sebagai capres dan cawapres selama memiliki pengalaman sebagai kepala daerah atau penyelenggara negara.

Putusan ini disahkan oleh Ketua MK saat itu, Anwar Usman. Dirinya merupakan ipar dari Presiden Joko Widodo (Jokowi), sekaligus paman dari Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka. Usai putusan tersebut, Gibran memang melenggang sebagai calon wakil presiden (cawapres) untuk kontestasi Pilpres 2024. Dia diusung oleh capres Koalisi Indonesia Maju (KIM) Prabowo Subianto, yang mengatakan keputusan itu hasil dari persamuhan bersama dengan delapan partai pengusung yang tergabung dalam KIM. 

Setelahnya, MK menerima banyak laporan terkait dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim. MK akhirnya membentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) sebagai bagian dari kelembagaan untuk kemudian memeriksa dan mengadili jika terjadi persoalan yang terkait dengan laporan dugaan pelanggaran hakim konstitusi. Sosok Jimly Asshiddiqie dan Bintan Saragih ditunjuk sebagai anggota MKMK, bersama Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams. 

post-cover

Seluruh hakim MK yaitu Anwar Usman, Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, Saldi Isra, Manahan Sitompul, Suhartoyo, Daniel Yusmic, M. Guntur Hamzah, serta Wahiduddin Adams menjadi pihak yang dilaporkan. Anwar Usman diperkarakan dalam 15 kasus, baik dilaporkan secara tunggal maupun bersama nama hakim lainnya. Sementara itu, nama Saldi Isra dan Arief Hidayat juga dilaporkan buntut dari dissenting opinion yang dianggap membocorkan hasil rapat permusyawaratan hakim (RPH) kepada publik.

“Ini perlu diketahui, ini perkara belum pernah terjadi dalam sejarah umat manusia. Seluruh dunia, semua hakim dilaporkan melanggar kode etik, baru kali ini,” kata Jimly dalam rapat klarifikasi MKMK kepada pelapor di Gedung MK, Jakarta Pusat pada Kamis (26/10/2023).

MKMK akhirnya memeriksa seluruh pelapor, panitera MK, dan masing-masing hakim konstitusi sejak Selasa (31/10/2023) hingga Jumat (3/11/2023). Dalam pembacaan putusan pada Selasa (7/11/2023), MKMK menjatuhkan sanksi pemberhentian sebagai Ketua MK terhadap Anwar Usman, karena terbukti melanggar kode etik ketika memutus perkara yang berkaitan dengan keluarganya. Namun demikian, putusan MK mengenai batas usia capres-cawapres tetap sah. Jimly menyebut bahwa MKMK tidak berwenang menilai putusan MK. Pasal tentang 17 ayat 6 dan 7 UU No.48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tidak berlaku dalam putusan pengujian undang-undang.

Sejarah Sengketa Pilpres di MK

Di tahun politik seperti sekarang ini, MK masih akan jadi sorotan. Pemilu 2024 di depan mata, sengketa dari hajat politik tak bisa dihindarkan. Utamanya sengketa hasil Pilpres. Pakar hukum tata negara, Feri Amsari kepada Inilah.com, mengatakan, pesta demokrasi harus dijadikan momentum untuk mengembalikan muruah MK di mata publik.

Meski mencoba optimistis, tapi bukan berarti tidak ada keraguan. Ke depan, tentu akan tetap ada upaya dari para politisi untuk memuluskan kepentingannya melalui MK. Kekhawatiran Feri beralasan mengingat dalam sejarahnya tidak pernah ada pengaju permohonan sengketa Pilpres dimenangkan oleh MK.

“Harus diingat Anwar Usman masih ada di MK dan dia punya kepentingan yang signifikan untuk posisi di MK, meskipun secara langsung tidak boleh lagi menyidangkan perkara-perkara konstitusional dan berkaitan dengan perselisihan hasil pemilu dan keluarganya,” ucap Feri.

Sejak 2004 atau pilpres pertama dalam sejarah pemilu di Indonesia, kemudian tahun 2009, 2014, serta 2019, selalu ada gugatan yang diajukan ke MK. Pada 2004, Pasangan Wiranto-Gus Sholah yang tersingkir di putaran pertama menggugat KPU ke MK dengan mengajukan setidaknya 9 poin keberatan. Kubu Wiranto-Gus Sholah meyakini jebloknya perolehan suara mereka di beberapa daerah karena adanya praktik kecurangan. Namun, MK yang kala itu dipimpin Jimly Asshiddiqie tidak mengabulkan gugatan tersebut. Peraih suara terbanyak di Pilpres 2004, SBY-JK, pun ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI pertama yang dipilih langsung oleh rakyat.

post-cover
Sidang gugatan Pilpres 2019. (Foto: Antara).

Begitu juga di Pilpres 2009. Pasangan Megawati-Prabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto menggugat hasil Pilpres ke MK. Majelis Hakim Konstitusi yang dipimpin Mahfud MD menolak gugatan kedua paslon capres-cawapres itu karena tudingan bahwa telah terjadi kecurangan di Pilpres 2009 tidak terbukti. Pun demikian dengan Pilpres 2014.

Kala itu kubu Prabowo-Hatta Rajasa menarik diri dan menolak hasil Pilpres 2014 yang dimenangkan Jokowi-Jusuf Kalla. Tanggal 21 Agustus 2014, MK memutuskan menolak secara keseluruhan seluruh gugatan tim hukum Prabowo-Hatta. Jokowi pun dilantik sebagai Presiden RI ke-7 dengan Jusuf Kalla sebagai wakilnya.

Fenomena yang nyaris mirip terjadi lagi pada Pilpres 2019. Prabowo yang kali ini berpasangan dengan Sandiaga Uno kembali menghadapi Jokowi yang menggandeng KH Ma’ruf Amin. Dan lagi-lagi MK tidak memenangkan gugatan pemohon. 

Melihat dari rentetan sejarah gugatan ini, maka apa yang dikhawatirkan soal ketidakadilan saat pengurusan sengketa Pemilu 2024 jadi beralasan. Apalagi saat ini putra presiden sedang maju ke kontestasi, maka bukan mustahil jika nanti MK disusupi lagi untuk menjaga kepentingan memenangkan salah satu paslon. Kita lihat saja nanti. [Rez/Diana]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button